Powered By Blogger

Jumat, 31 Desember 2010

makalah filsafat tentang fakta dan kenyataan " kehidupan manusia modern"

ABab I
Pendahuluan

A. Latar belakang masalah
Sejak zaman Renaisance di abad 17 lalu, manusia memasuki “dunia baru”, dunia yang begitu berbeda dengan tatanan dunia sebelumnya. Alfin Tovler, futurolog yang membagi tiga tahapan perkembangan peradaban manusia, menyatakan bahwa manusia saat ini hidup di tengah periode masyarakat komunikasi yang berlangsung sejak 1970 hingga sekarang. Dalam kehidupan di dunia baru ini manusia mengalami proses transformasi – untuk tidak mengatakan revolusi seperti yang diistilahkan oleh Franz Magnis – yang begitu cepat dan mencengangkan. Hasil olah sains dan teknologi canggih yang diciptakan manusia membuat sesuatu menjadi mudah, tidak berjarak dan tidak tersekat oleh waktu dan tempat. Semuanya dapat dilampaui oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hikmat Budiman dengan sinis menyatakan, bahwa canggihnya kehidupan modern belum, bahkan tidak terjangkau oleh mimpi-mimpi paling liar sekalipun pada masyarakat primitif (1997).
Kecanggihan ilmu pengetahuan sekarang ini membuka ruang dan cakrawala baru dalam tatanan peradaban kehidupan manusia. Betapa tidak, sesuatu yang dahulunya dianggap tabu, misteri dan merupakan wilayah metafisis bahkan teologis, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi riil dan lumrah. Sebagai contoh, sebut saja tentang penjelajahan manusia ke semesta lain, seperti perjalanan ke bulan dengan hanya menggunakan pesawat ulang alik baik yang berawak maupun yang tidak; rekayasa genetika; teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Akan tetapi, betapapun manusia telah berhasil dan terus berhasrat melakukan eksplorasi dan menguak tabir misteri cosmic, termasuk dirinya, namun keberadaan manusia itu sendiri tetap saja menjadi misteri yang hingga kini, bahkan entah sampai kapan perlu diuangkap.
Berbagai penemuan baru super canggih produk ratio telah mampu merubah tatanan dan pola hidup yang dilakonkan manusia, termasuk paradigma kehidupannya. Perubahan dimaksud sekaligus telah menjadi pertanda keberhasilan manusia mengganti peran alam yang awalnya hadir sebagai mitra dalam kehidupan di semeta ini kini menjadi objek eksploitasi hanya dengan mengedepankan dalih demi kelangsungan hidup manusia dan demi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
B. Pembatasan Masalah
Agar lebih fokos dan lebih efesien dalam pembahasan ini maka kami membatasi permasalahan ini menjadi bebrapa sub pokok pembahaan yang meliputi: Keniscayaan Modernitas,Relevansi Spiritualitas Agama,Anomali Modernitas
C. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis mencoba mengidentifikasikan beberapa pertanyaan yang akan dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan dan penyelesaian makalah. Diantaranya yaitu :
1. Apa yang dimaksud modernitas?
2. Bagaimana relevansi spritualitas agama ?
3. Apa yang dimaksud dengan anomaly modernitas ?
D. Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah filsafat ilmu, tapi juga bertujuan diantaranya untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian modernitas
2. Untuk mengetahui relevansi spritualitas agama
3. Untuk mengetahui anomaly modernitas
E. Metode Penulisan
dalam pembahasan filsafat ilmu ini saya menggunakan metode analisis deskriftif dari sumber-sumber yang saya peroleh
F. istematika Penulisan
makalah ini di buat 3 bab yang masing-msing bab di lengkapi sub-sub bab dengan sistemaitka sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
perusmusan masalahan, pembatasan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : pembahsan yang menguraikan tentang Keniscayaan
Modernitas,Relevansi Spiritualitas Agama,Anomali
Modernitas
Bab III : penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-
saran
Bab II
Pembahasan
Kehidupan manusia modern dalam pandangan filsafat

Seiring dengan perjalanan waktu, manusia semakin terpesona dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk kerja ratio. Bahkan ironisnya, hanya dikarenakan berbagai kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan sebagai tawaran dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian hari kian berkembang, manusia telah berani meniscayakan “ratio” yang terbukti telah berhasil menghadirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tanpa disadari seiring dengan itu pula ia telah mereduksi keniscayaan realitas lainnya termasuk agama dengan berbagai elemen spiritual yang terkandung di dalamnya.
Keterpesonaan akan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakhir pada peniscayaan terhadap ratio membuat manusia memandang dan menghadirkan dunia dengan segala persoalannya sebagai realitas yang sederhana. Oleh Yasraf Amir Pilliang dunia seperti itu diistilahkan dengan dunia yang telah dilipat (2004). Hal ini disebabkan oleh kenyataan betapa kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat aktivitas hidup manusia semakin efektif dan efisien.
Dunia yang telah dilipat muncul sebagai konsekwensi dari kehadiran berbagai penemuan teknologi mutakhir terutama transportasi, telekomunikasi dan informasi, jarak-ruang semakin kecil dan semakin sedikit waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya, inilah pelipatan ruang-waktu. Adalagi pelipatan waktu-tindakan, yakni pemadatan tindakan ke dalam satuan waktu tertentu dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan, dengan tujuan mencapai efisiensi waktu. Dahulu manusia melakukan satu hal dalam satu waktu tertentu, seperti memasak, menyetir, membaca, menelepon dan lain-lain. Kini, manusia dapat melakukan banyak hal dalam satu waktu bersamaan, menyetir mobil sambil menelepon, mendengar musik, makan dan sambil bicara.
Pada bagian lain ada pula miniaturisasi ruang-waktu, dimana sesuatu dikerdilkan dalam berbagai dimensi, aspek, sifat dan bentuk lainnya. Realitas ditampilkan melalui media gambar, fotografi, televisi, film, video, dan internet. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Virilio yang dikutip Yasraf Amir Pilliang, bahwa ruang saat ini tidak lagi meluas, tetapi mengerut di dalam sebuah layar elektronik. Jika ingin mengetahui sesuatu yang riil, manusia dapat mencari dan menyaksikan melalui video, film, televisi. Ingin tahu mendetail tentang sang bintang idola, maka orang tinggal mengklik satu situs dalam internet, kemudian tampillah sang bintang dengan ragam tentang dirinya, dan seterusnya. Demikianlah di antara beberapa gambaran tentang pelipatan dunia oleh perkembangan teknologi mutakhir di bidang transportasi, komunikasi dan informasi.
A. Keniscayaan Modernitas
Modernisasi adalah sebuah keniscayaan sejarah yang pasti ada menyambangi sebuah peradaban manusia, tak perduli apakah ia menghendakinya atau tidak. Menurut Franz Magnis, modernisasi adalah satu revolusi kebudayaan paling dahsyat yang dialami manusia sesudah belajar bercocok tanam dan membangun rumah. Modernitas bagaikan air bah yang terus menerjang benteng-benteng kokoh mitologis masyarakat primitif dan menggantinya dengan bangunan baru yang lebih rasional, kritis dan liberal. Modernisasi merupakan suatu proses raksasa menyeluruh dan global. Tak ada bangsa atau masyarakat yang dapat mengelak dari padanya.
Zaman Modern sendiri, masih menurut Franz Magnis, diawali dengan ditemukannya 3 hal penting yaitu penemuan dan pemakaian bubuk mesiu, mesin cetak dan kompas pada abad ke-15 M di Eropa. Ketiga hal inilah yang menjadi pra-syarat terciptanya masyarakat modern berikutnya yang dimulai dari belahan dunia Eropa. Penemuan dan pemakain bubuk mesiu berarti titik akhir kekuasaan feodal yang dipusatkan dalam benteng-benteng feodalisme. Penemuan mesin cetak menandakan telah dimulainya proses transformasi ilmu pengetahuan sehingga dapat dikonsumsi oleh khalayak ramai, sehingga pengetahuan dan interprtasi kebenaran tidak lagi menjadi hak monopoli satu golongan tertentu. Dengan mesin cetak, pengetahuan baru yang ditemukan dari hasil eksplorasi para saintis dapat dipublikasikan secara lebih luas, dengan demikian pengetahuan menjadi inklusif karena dapat diakses oleh siapa saja. Kondisi ini memungkinkan percepatan perubahan dalam satu komunitas peradaban karena telah terjadi dinamisasi khususnya pada aspek peradaban intetektual. Di bagian lain, penemuan kompas mengisyaratkan bahwa navigasi mulai aman, sehingga dimungkinkan melakukan perjalanan jauh guna menemukan, membuka dan menjelajah dunia baru.
Tiga penemuan inilah yang menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia selanjutnya menjadi semakin dahsyat juga liar. Karena tiga penemuan ini jugalah kemudian lahir tiga gerakan yang menjadi landasan pembuka jalan ke dunia modern. Ketiga gerakan itu adalah gerakan kapitalisme dengan teknik modern yang memungkinkan industrialisasi, subjektivitas manusia modern dan rasionalisme.
Dari ketiga gerakan di atas kemudian lahirlah modernisme sebagai anak dari karya intelektual manusia. Ia menggurita dalam tiap aspek kehidupan manusia. Banyak penemuan-penemuan ilmiah baru yang mencengangkan dan membelalakkan mata manusia awam. Dimulai dari penemuan Nicolaus Copernicus (1473-1543), seorang ilmuan yang mengumandangkan teori bahwa matahari sebagai pusat tata surya (helio sentris), Johanes Kepler (1571-1630) yang menemukan hukum gerak planet, Galileo Galilei (1564-1626), dan sederet nama-nama lainnya. Sejak abad ini, dimulailah satu proyek besar ambisius oleh masyarakat barat, yaitu apa yang mereka sebut dengan modernisasi.
Menurut Lawrence, secara terminologi kemoderenan dapat dipahami sebagai sebuah kondisi atau keadaan dimana muncul serangkaian perubahan dan peningkatan dalam kehidupan manusia, mulai dari sistem birokrasi, rasionalisasi, kemajuan dalam bidang teknis dan pertukaran global yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia era pra-modern. Lawrence berupaya mengambarkan modernisme sebagai “pencaharian otonomi individu, menekankan pada perubahan nilai secara kuantitas, efisiensi dalam produksi, dan kekuatan serta keuntungan di atas simpati terhadap nilai-nilai tradisional atau lapangan pekerjaan dalam ruang publik maupun pribadi. Keberhasilan tersebut –technical capacities dan global exchange—merupakan konsekuensi material dari ideologi modernisme, yang kemudian memarginalisasikan peran agama. Dari sini kemudian muncul perdebatan dimana orang banyak mendudukkan modernisasi vis-a-vis agama.
B. Anomali Modernitas
Adalah hal yang tak terbantahkan, bahwa sains dengan penemuan-penemuan spektakulernya membawa berkah bagi kehidupan manusia berupa kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Saat ini kita dapat merasakan bahwa hampir semua pekerjaan dapat dikerjakan oleh mesin mulai dari yang paling berat, rumit dan sulit hingga yang paling sederhana, gampang dan mudah. Dalam tiap ritme kehidupan, kita selalu dikelilingi oleh mesin, seolah kita tidak bisa hidup tanpanya sebagaimana sebagai makhluk seorang makhluk sosial, kita tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya di sekeliling. Demikian adanya bahwa mesin memudahkan, membuai dan memanjakan kehidupan kita. Tetapi sekali lagi kita mesti ingat bahwa modernitas adalah produk ambigu manusia yang menghadirkan dua sisi berhadap-hadapan.
Di satu sisi, modernitas menghadirkan dampak positif dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga tidak dapat ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menimbulkan akses negatif yang sangat bias. Dampak paling krusial dari modernitas menurut Budi Munawar Rahman, adalah terpinggirkannya manusia dari lingkar eksistensi (Komarudin Hidayat & Wahyu Nafis,1995). Menurutnya, manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya, terpinggirkan. Makanya, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan. Dengan mengutip Schumacher dalam bukunya “A Guide for the perplexed”, manusia kemudian disadarkan melalui wahana krisis lingkungan, bahan bakar, ancaman terhadap bahan pangan dan kemungkinan krisis kesehatan.
Awal mula krisis eksistensial ini sebagaimana yang pernah ditulis oleh Huston Smith dalam bukunya “Kebenaran yang Terlupakan” adalah saat seorang filsuf Perancis Rene Descartes (1596-1650) mempublikasikan karyanya yang berjudul “Discourse on Method of Rightly Conducting the Reason and Seeking the Truth in the Science“. Dalam karyanya ini Descartes dengan jargon Cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada) ingin mengungkapkan bahwa alam adalah sesuatu yang terpisah dari manusia sebagai subjek berpikir. Tidak ada yang tidak dapat diketahui manusia jika ia mau menggunakan pikirannya. Menurut Hikmat Budiman, filsafat Descartes ini dipandang sebagai penghulu terjadinya cara berpikir dualisme, dimana ia telah menghadirkan sebuah distinksi atau perbedaan atau pemisahan antara subjek (res cogitant) sebagai yang berpikir dan objek (res extensa) yang berada di luar. Di antara keduanya dijembatani dengan ilmu pengetahuan alam atau wacana (ergo). Hal ini berkonsekuensi pada terjadinya superioritas subjek terhadap objek, sesuatu dikatakan ada atau tidak ada, tergantung pada dipikirkan atau tidak dipikirkannya oleh subjek. Jika sebelumnya alam dikaitkan dengan eksistensi kekuasaan Yang Maha Agung (Tuhan) yang kemudian termanifestasi dalam figur totem, taboo, animisme, dinamisme bahkan agama, maka metodologi eklektis Cartesian kemudian menjadikan akal sebagai avant-garde eksistensi manusia di hadapan alamnya. Manusia dengan akalnya merasa mampu membedah alam, untuk kemudian menundukkannnya, sehingga alam hanya dijadikan sebagai objek yang dipikirkan (res extansa). Ini kemudiaan disebut oleh Imanuel Levinas, dijuluki sebagai egologi, yaitu ilmu pengetahuan yang berkutat dengan ego manusia.
Kerangka filosofis tersebut yang kemudian mendudukkan alam (nature) sebagai subordinasi dari manusia atau inferior vis a vis manusia (res cogitant). Supremasi ilmu pengetahuan alam dan semangat aufklarung ini yang kemudian memunculkan semangat kapitalisme dan kemudian imperialisme. Hal tersebut dapat kita pahami melalui persfektif teori sistem dunia dan teori ketergantungan.
Pada persoalan lain, secara ekstrem sebenarnya modernitas mengancam eksistensi kemanusiaan. Betapa tidak, dengan ditemukan dan dipakainya bubuk mesiu pada akhir abad ke-15 lalu di Eropa, maka bermunculan senjata-senjata canggih pemusnah massal. Beberapa tragedi dalam lintasan sejarah seperti pengeboman oleh tentara Amerika dengan bom atom di Nagashaki dan Hirosima, penggunaan gas sarin oleh sekte Aom Shinrikyu di stasiun kereta api bawah tanah yang menewaskan banyak orang, tragedi WTC dan masih banyak lagi peristiwa lainnya, ini adalah ciri peperangan pada abad modern yaitu memusnahkan secara massal. Mungkin kita juga masih diingatkan dengan peristiwa ledakan pabrik kimia di Bhopal, India, pada bulan September 1984, atau yang terjadi pada perusahaan nuklir di Chernobyl, di bekas Uni Soviet, pada bulan April 1986, semua menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Pada aspek lingkungan, kita juga mencatat betapa teknologi sangat tidak bersahabat dan mempunyai konstribusi signifikan terhadap kerusakan lingkungan. Lapisan ozon yang telah menipis akibat efek dari banyaknya rumah kaca dan polusi udara yang dihasilkan oleh pabrik serta kendaraan bermotor, hutan yang gundul, pantai yang mengalami abrasi, air sungai yang terkontaminasi dan lain sebagainya adalah akibat logis dari modernitas. Pada ranah ini, tidak hanya eksistensi manusia yang terancam tetapi juga alam secara makro. Sederhananya bahwa alam telah terekploitasi sedemikian bejadnya oleh interest rakus para individu penjelajah harapan dengan mengatasnamakan kepentingan kemanusiaan. Eksploitasi yang tidak logis dan berimbangan ini sejatinya telah merusak relasi arif antara meta cosmic, makro cosmic dan mikro kosmic yang dahulunya saling berdialektika dalam satu relasi interdependensi.
Lain lagi menurut Erich From dalam bukunya “The Revolution of Hop” bahwa dalam kehidupan manusia modern di tengah-tengahnya ada “hantu”. Terma hantu yang dipakai dan dimaksudkannya di sini adalah ilustrasi terhadap pola masyarakat yang dimesinkan secara total, manusia adalah mesin yang mekanis. Totalitas kehidupannya dicurahkan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi material, yang dalam prosesnya -lebih ironis- bahwa ia diarahkan oleh komputer-komputer (baca: mesin). Manusia tidak lagi berfungsi sebagai manusia yang utuh. Dalam proses sosial semacam ini manusia menjadi bagian dari mesin, diberi makan dan hiburan yang cukup, tetapi pasif, tidak hidup dan nyaris tanpa perasaan. Semua persoalan dalam konteks ini ditinjau dari perspektif material, padahal menurut Plato, seorang filosof Yunani, manusia adalah konfigurasi dari dua realitas tak terpisahkan yakni fisik yang mengambil bentuk material dan psikis yang mengambil bentuk jiwa atau spirit. Artinya, mengabaikan atau memprioritaskan salah satunya sama artinya dengan menjadikan manusia bukan manusia sebenarnya.
Hal lain yang juga telah menjadi karakter manusia modern yang materialistik oriented adalah budaya pragmatisme dan hedonisme. Pragmatisme adalah cara pandang yang melihat sesuatu dari nilai manfaat yang dapat dihasil dari sesuatu. Jika ia bermanfaat secara praktis material, maka ia dianggap kebenaran yang bernilai. Demikian juga dengan budaya hedonisme, totalitas kehidupan semuanya diorientasikan untuk sebuah kenikmatan. Kebahagiaan tertinggi adalah karena akumulasi yang banyak dari kenikmatan material, dan sebaliknya kesengsaraan adalah disebabkan manusia tidak menemukan kenikmatan. Motto yang paling terkenal dari kaum hedonis adalah “hidup untuk hari ini”. Dari sini dapat diasumsikan bahwa apa saja menjadi legal dan pantas demi sebuah kenikmatan. Pada proses selanjutnya dapat dipastikan bahwa akan terjadi peminggiran terhadap beberapa sisi dari kemanusian itu sendiri, terutama persoalan moralitas juga etika.
Dalam ranah empiris kemudian dapat kita temukan betapa banyak hari ini penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obat terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itulah di antara beberapa anomali yang include dalam modernitas itu sendiri dimana kesemuanya ternyata sangat potensial untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan, bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet anomalinya tersebut sedikit banyak telah mengabsurdkan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Absurditas inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.
C. Relevansi Spiritualitas Agama
Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Terhadap dampak negatif ini, pertanyaan kita selanjutnya adalah apa yang seyogyanya kita lakukan, sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000“ mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern. Dalam tesisnya ia mengatakan bahwa era milenium seperti sekarang merupakan era kebangkitan agama dan nilai-nilai esoteric. Bagi manusia modern, akses-akses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi akan mampu di proteksi oleh kearifan esoteric sebuah relegiusitas. Tetapi yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa kecendrungan sikap dan pilihan beragama kaum modernis adalah model beragama yang mengedepankan spirit relegiusitas ketimbang formalitas agama konvensional. Slogan mereka yang cukup terkenal itu adalah “Spirituality yes, organized relegion no” (Naisbitt,1990). Hal ini jika kita simak secara mendalam lebih disebabkan oleh adanya pengaruh dari karakteristik modernisasi yang mengdepankan rasio dan daya kritis terhadap sebuah kebenaran.
Terdapat alasan ontologis-teologis mengapa sisi spiritualitas tetap menjadi kebutuhan perenial manusia; seprimitif dan semoderen apapun dia. Ia menganalogikan kebutuhan perenial itu dengan memetaforakan seperti sebuah cerita film (Yasraf Amir Pilliang, 2004). Bila di dalam segala sesuatu telah diketahui sebelumnya, artinya tidak ada lagi misteri dan pertanyaan yang perlu dijawab, enigma yang harus diselesaikan dan lain-lain, maka tidak ada makna baru yang penting dicari karena semuanya telah terbuka dan tersibak. Apa yang menarik dari sebuah film tersebut untuk kita tonton hingga menghabiskan waktu berjam-jam, toh kita telah tahu semuanya, seperti apa ending dari ceritanya. Film baru akan menarik manakala ia menghadirkan rasa penasaran, karena ia menyimpan misteri, pertanyaan dan enigma sehingga ia akan menghadirkan pengalaman baru bagi penontonnnya.
Demikian pula kehidupan ini, manakala saat kita berada di atas dunia semuanya telah menjadi nyata, semua membentangkan realitas sebenarnya, tidak ada lagi ruang suci tak tersentuh yang kemudian menjadikan kita tidak lagi mempunyai pekerjaan untuk memimpikan, mengilusikan, menghayalkan, dan menafsirkan, sesungguhnya tidak ada lagi yang namanya kehidupan di dunia. Dunia akan hidup manakala masih ada realitas tak tersentuh yang kemudian menghadirkan energi bagi manusia untuk berikhtiar mengungkapnya baik melalui penalaran, perenungan, pengembaraan jiwa dan lain-lain. Yang jelas bahwa Realitas Tak Tersentuh ini sebagai sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia, di luar pengalaman manusia dan mungkin di luar kemampuan akal manusia pula. Oleh manusia, Ia disebut secara beragam: Penggerak yang Tak Tergerak (Un-moved mover), Transendental, Tuhan dan lain-lain. Maka, selama Realitas Tak Tersentuh Yang Tak Terbatas ini masih ada, maka masih ada kekuatan lain yang berada di atas kekuatan manusia dan di sinilah spiritualitas menemukan ruangnya.
Prof. Zakiah Darajat, dalam bukunya “Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental”, menyatakan bahwa fungsi agama adalah :
1. Agama memberikan bimbingan bagi manusia dalam mengendalikan dorongan-dorongan sebagai konsekwensi dari pertumbuhan fisik dan psikis seseorang.
2. Agama dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Seperti pada saat menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang dapat menggelisahkan bathin dan dapat membuat orang putus asa. Disini agama berperan mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
3. Agama sebagai pengendali moral, terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika etis, seperti prilaku sex bebas (untuk konteks sekarang Narkoba dan yang paling mutakhir syndrom politic, ekonomi dan budaya, Pen) (Lih. Zakiah Deradjat : 1982)
Zakiah lebih menekankan fungsi psikis dari agama, sedangkan Nico Syukur Dister disamping mengemukakan fungsi emotif-afektif dan fungsi sosio-moral dari agama, juga menambahkan fungsi intelektual-kognitif, yaitu Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelek manusia manakala manusia diliputi pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya fundamental. Sebagai misal, ketika manusia bertanya tentang hakikat penciptaan dan tujuan keberadaan mereka di muka bumi ini. Nico menjelaskan ada dua sumber kepuasan dapat ditemukan dalam agama oleh intelek, yaitu : pertama, agama dapat menyajikan pengetahuan yang sifatnya rahasia; Kedua, memberikan kepuasan dalam pertanyaan-pertanyaan etis.
Dalam konteks ini, asumsi awal yang dapat kita berikan bahwa semoderen apapun sebuah komunitas, agama tetap akan eksis, dibutuhkan dan tetap dapat menjadi tawaran solutif terhadap penyakit sebagai darivasi dari peradaban yang dimunculkan. Agama diperlukan guna menjelaskan makna dan tujuan hidup manusia. Agamalah yang mengisi sisi spiritual manusia yang tidak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan menurut William James, agama akan selalu ada selagi manusia memiliki rasa cemas.
Robert N. Bellah di dalam Beyond Belief, memerikan bahwa mayoritas masyarakat Amerika – masyarakat yang biasanya diidentikkan dengan masyarakat sekular – ternyata masih membutuhkan keyakinan akan Tuhan, agama atau spiritualitas, meskipun interpretasi dari Tuhan dan agama ini sangat berbeda dari pengertian Tuhan dan agama sebagaimana yang ada pada agama konvensional. Bellah mengistilahkan spiritualitas seperti ini dengan agama civil (civil relegion), karena para penganutnya memasukkan kesadaran spiritualitasnya ke dalam ruang yang lebih umum, konsep Tuhan digeneralisir, dalam pengertian bahwa meskipun orang berbeda agama, akan tetapi mereka dapat mempunyai konsep Tuhan yang sama.
Dalam pengungkapan berbeda, George M. Marsden menyatakan bahwa agama bagi sebagian masyarakat modern telah kehilangan semangat komunalnya. Agama menjadi sangat pribadi dan individualistik. Kearifan nilai agama ditafsirkan secara subjektif sesuai dengan kepentingan masing-masing. Termasuk interpretasi tentang konsep ke-Tuhan-an, walau mereka yakin mempunyai Tuhan yang sama tetapi mereka ingin Tuhan yang mereka yakini itu adalah sebagaimana yang mereka interpretasikan.
Namun demikian tidak semua agama dapat menjawab persoalan kemanusiaan. Hanya agama yang menjamin pemenuhan spritualitas dan tidak bertentangan dengan sains dan teknologilah yang dapat bertahan. Selain itu pendekatan beragama yang cenderung ekslusif juga tidaklah cocok untuk ditawarkan pada hari ini dan masa yang akan datang karena pada masyarakat yang terbuka semacam ini agama semacam itu cenderung menyulut konflik. Agama masa depan yang akan muncul adalah agama yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama. Teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat mistis (Komarudin Hidayat & Nafis,1995).
Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham absolutisme dan akan memilih apa yang oleh Swidler disebut deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan sebagai relatively absolute. Dikatakan absolut karena setiap agama mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah. Tetapi tidak pula kita lantas sepakat dengan kecendrungan spiritualitas sekular dimana manusia menuhankan sesuatu yang mendunia (worldly), khususnya objek konkret maupun abstrak. Spiritualitas semacam ini adalah spiritualitas penuh paradoks, yang didalamnya manusia menuhankan sesuatu yang sama derajatnya dengan manusia itu sendiri. Karena objek-objek tersebut adalah ciptaannya sendiri atau setidaknya hasil proyeksi hayalnya, maka sangat tidak layak ia dituhankan. Sesuatu pantas dianggap Tuhan apabila sesuatu itu adalah yang benar-benar melampaui dirinya sebagai Yang Tak Terbatas, Tak Berhingga dan Tak Terjangkau.


Bab III
Penutup
A. Simpulan
Sebagai akhir dari bentangan ini, penulis mencoba merefleksikan apa yang pernah ditawarkan oleh seorang filsuf berkebangsaan Swiss Jean Jacques Rousseau (1712-1778) saat ia menjawab sebuah pertanyaan “Apakah kemajuan seni dan ilmu pengetahuan memberikan konstribusi terhadap pemurnian moralitas manusia?” Pertanyaan dalam sebuah sayembara ini ternyata bagi Rousseau membukakan kesadaran nalarnya bahwa terlalu banyak keganjilan yang terjadi dalam tata kehidupan masyarakat pada waktu itu. Hasil perenungannya di bawah pohon ternyata sangat mengejutkan banyak pihak. Ia katakan bahwa kemajuan dalam bidang seni juga ilmu pengetahuan sesungguhnya tidak membuat manusia semakin beradab alias tidak membuat moralitas manusia semakin murni (Russel,2004). Justru sebaliknya, bahwa kemajuan peradaban akal budi semakin membuat kehidupan manusia tercerabut dari keharmonisan yang sungguh merupakan watak awalnya. Dalam tulisan panjangnya ia mengatakan, bahwa klaim kemajuan peradaban bangsa Prancis saat itu semu belaka karena hanya kemajuan pada ranah material kuantitatif yang terjadi, tetapi tidak pada ranah kualitatif. Di antara indikatornya adalah bahwa raja (penguasa) semakin bar-bar melakukan eksploitasi pada rakyat dengan melakukan penarikan pajak secara semena-mena, sementara kalangan mereka sendiri terbebas dari beban tersebut. Wal hasil, kemajuan hanya dapat dinikmati segelintir kelompok saja yakni bagi mereka yang mempunyai akses kekuasaan juga kekayaan. Kesimpulannya bahwa kemajuan hanya membuat manusia semakin terperosok dalam keterasingan akan diri mereka yang sebenarnya.
Menurutnya, sebelum manusia membentuk komunitas dengan perangkat-perangkat yang terlembaga, kehidupan manusia berjalan sangat harmoni. Terjadi relasi yang saling ketergantungan antara manusia, alam dan Yang Kuasa. Pada dasarnya watak manusia secara alamiah adalah baik. Ia mempunyai sifat-sifat yang lugu, jujur, toleran dan bersahaja sebagai sifat yang tidak dibuat-buat. Tetapi kemudian karena muncul pelembagaan, mulailah secara perlahan klaim-klaim. Klaim hak milik, klaim kelompok paling benar, paling superior dan seterusnya. Di sinilah kemajuan menjadi tersangka sebagai biangkerok tercerabutnya sifat alamiah manusia yang adi luhung. Sebagai tawarannya, Rousseau mengajak untuk kembali ke alam (retoyr a la nature).
Dalam konteks kenestapaan manusia modern terhadap absurditas yang mereka rasakan, rasanya masih sangat relevan apa yang ditawarkan oleh Rousseau tersebut. Hanya saja, jika 257 tahun yang lalu Rousseau mengajak kembali ke alam, maka tawaran agar manusia berubah dalam rangka mengembalikan citra kemanusiaanya melalui kearifan nilai relegiusitas (spiritual) adalah konteks tawaran yang tepat terhadap masalah keterpinggiran manusia moderen dalam lingkaran eksistensinya. Kembali kepada spiritualitas di tengah kepongahan modernitas adalah mengembalikan rasa kehadiran Yang Suci di tengah-tengah moralitas manusia yang sejatinya memang telah dititipkan oleh Yang Suci pada tiap diri manusia. Spiritualitas adalah infinite idea yang inheren dalam totalitas kemanusiaan manusia. Mengingkarinya berarti mengingkari kedirian sebagai seorang manusia.
Sejarah membuktikan tentang hal ini, bahwa manusia mustahil hidup tanpa nilai spiritual yang ia akui sebagai Yang Maha Agung, dan yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual manusia itu hanya agama. Sistem ideologi apapun yang ditegakkan oleh manusia seraya menafikan kenyataan bahwa manusia tidak melulu materi pasti akan mengalami krisis bahkan kehancuran. Manusia mungkin dapat hidup dalam sistem yang baru, namun jiwanya tetap dikendalikan oleh fitrah-fitrah yang tidak dapat dijelaskan dan dipuaskan secara materialistik. Hanya agamalah yang dapat menjelaskan dan memuaskannya. Alih-alih berkehendak untuk tidak bertuhan dan tidak mengakui nilai-nilai metafisik, justru hal ini akan memunculkan satu sistem agama baru dimana sang penggagas menjadikan diri dan konsepnya sebagai tuhan. Tentu kita berpikir betapa primitif dan tidak jelasnnya ide ketuhan seperti ini. Tetapi seprimitif dan tidak jelas bagaimanapun ide tersebut, bahwa manusia tidak dapat menghindar dari ide tentang Tuhan.
Namun tidak semua agama relevan untuk ditawarkan pada masyarakat modern, hal ini disebabkan karena manusia modern yang sangat mengagungkan hasil pengembaraan intelektual tidak akan mudah menerima begitu saja suatu sistem kepercayaan. Hanya agama yang tidak menafikan peran rasiolah yang akan bertahan disamping kemampuannya memenuhi kebutuhan spiritualitas yang tidak diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu watak masyarakat modern yang tanpa batas mengharuskan sebuah sistem ideologi – termasuk agama – yang dapat bertahan hanyalah yang dapat menghargai berbagai sistem ideologi lain yang berbeda. Inilah barangkali model keberagamaan masa akan datang yang menghadirkan sisi spiritualitas lebih dalam. Spiritualitas seperti inilah yang sejatinya memberikan bingkai secara idiologis kejatidirian manusia dari serangan kehampaan dan keterasingan yang ditawarkan oleh nilai modernitas. Tetapi manusia modern mesti hati-hati dan arif, karena tidak semua tawaran spiritualitas baru memuarakan pada puncak spiritualitas sebenarnya. Spiritualitas sekular misalnya, spiritualitas ini mengandung kesalahkaprahan karena menyandarkan rasa spiritual kepada sesuatu yang tidak pantas memberikan sandaran. Sesuatu yang Tak Terbatas, Tak Berhingga, Tak Terjangkau, Transenden, Wajah Suci dan lain sebagainya adalah beberapa simbol yang sebenarnya layak untuk itu.
Menghadirkan yang Transenden adalah kemestian di saat kenestapaan sedang kita alami. Persoalannya kemudian adalah apakah kita mau jujur menghadirkan spirit yang Transenden tersebut, karena ia sungguh telah hadir dengan sendirinya disaat bersaman kita menjadi manusia. Wallahu’alam bi al-sawab.
B. Saran
Kehidupan modern yang kaya akan teknologi yang mutakhir ini, harus di dasari oleh penopong yang mendukung, baik daya fikir manusianya, maupun gaya hidup manusianya. dan harus berpijak pada agama yang diyakininya, serta tidak dari keluar apa yang sudah dilarang oleh agama dalam aturanya.


DAFTAR PUSTAKA

 Hikmat Budiman, 1997, “Pembunuhan yang selalu gagal”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
 Komaruddin Hidayat & Wahyuni Nafis, 1995, “Agama Masa Depan, perspektif filsafat perennial”, Jakarta : Paramadina.
 SMITH, Huston, 2001, Kebenaran yang Terlupakan Kiritik atas Sains dan Modernitas, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Yogyakarta : IRCiSoD.
 Yasraf Amir Pilliang, 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta : Jalasutra.
 Zakiyah Darajad, 1976, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang.

makalah filsafat ilmu tentang fakta dan kenyataan "kemiskinan dalam presfektif filsafat

Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Negara Indonesia secara geografis dan klimatalogis merupakan negara yang mempunyai potensi ekonomi yang sangat tinggi. Dengan garis pantai yang terluas di dunia, iklim yang memungkinkan untuk pendaya gunaan lahan sepanjang tahun, hutan dan kandungan bumi yang sangat kaya, merupakan bahan (ingredient) yang utama untuk membuat negara Indonesia menjadi negara yang kaya. Suatu perencanaan yang bagus yang mampu memanfaatkan semua bahan baku tersebut secara optimal, akan mampu mengantarkan negara Indonesia menjadi negara yang makmur. Ini terlihat pada hasil hasil Pelita III s/d Pelita V yang dengan pertumbuhan ekonomi rata rata 6% - 7% membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan penduduk yang tertinggi di dunia. Dan Indonesia menjadi salah satu negara yang mendapat julukan “Macan Asia”.
Namun ternyata semua pertumbuhan ekonomi dan pendapatan tersebut ternyata tidak memberikan dampak yang cukup berarti pada usaha pengentasan kemiskinan. Pola kemiskinan di Indonesia selama 16 tahun tidak banyak mengalami penurunan. Kalau Gini Ratio dijadikan sebagai indikator kemiskinan yang dominan, maka selama 30 tahun Gini Ratio Indonesia hanya turun 0,07 atau 7%, padahal pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar rata rata 7%. Kenyataan ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan data data dari beberapa negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang hampir sama (misal: Malaysia, Thailand, Philipina), dimana tingkat Gini ratio menunjukan tingkat penurunan yang cukup berarti.
Beberapa study empiris , dengan pendekatan time series yang bersifat cross-section study memberikan kesimpulan yang beragam. Deininger dan Squire (1995 , 1996) menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan peningkatan angka kemiskinan. Namun studi yang dilakukan oleh World Bank (1990), Fields dan Jakobson (1989) dan Ravallion (1995), menunjukan tidak ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Kajian kajian empiris di atas pada hakekatnya adalah menguji hipotesis Kuznets di mana hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan hubungan negatif, sebaliknya hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesenjangan ekonomi adalah hubungan positif. Hubungan ini sangat terkenal dengan nama kurva U terbalik dari kuznets. Maka kedua studi yang mempunyai hasil bertolak belakang tersebut, justru menguatkan hipotesis dari Kuznets dengan kurva U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pola hubungan yang positif kemudian menjadi negatif, menunjukkan terjadi proses evolusi dari distribusi pendapatan dari masa transisi suatu ekonomi pedesaan (rural) ke suatu ekonomi perkotaan (urban) atau ekonomi industri.
Pertanyaannya adalah; mengapa pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang tinggi di Indonesia tidak diikuti dengan penurunan kemiskinan yang signifikan ?
Mengapa di Indonesia terdapat korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan kesenjangan pendapatan antara kaya dan miskin yang semakin tinggi ?
Mengapa fenomena tersebut tidak terjadi di beberapa negara lainnya ?
Faktor apa yang mempengaruhi ?
Faktor faktor apa yang membuat pola pemiskinan di Indonesia mengikuti kurva U terbalik dari Kuznets ?

Dapat disimpulkan bahwa, di samping variable pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, ada variables dominan lainnya , yang berperann dalam mempengaruhi pola kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan serta variabel lainnya sangat mempengaruhi pola kemiskinan di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan adalah kondisi yang utama (necessary condition) tetapi perlu variabel-variabel pendukung lainnya (sufficient conditions) untuk menekan angka kemiskinan.
Tujuan penulisan ini adalah melakukan identifikasi terhadap sufficient conditions sehingga bisa disusun model ekonomi yang lebih akurat untuk kasus di Indonesia. Dengan teridentifikasikannya necessary conditions dan sufficient conditions pengambil keputusan lebih mudah untuk membuat kebijakan, membuat analisa, atau peramalan yang dapat menjadi acuan dalam pembuatan kebijakan yang terkait dengan usaha untuk menekan kemiskinan.

B. Pembatasan Masalah
Agar lebih fokos dan lebih efesien dalam pembahasan ini maka kami membatasi permasalahan ini menjadi bebrapa sub pokok pembahaan yang meliputi: Definisi Kemiskinan ,Indikator-indikator Kemiskinan,Penyebab Kemiskinan,Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia,Tantangan Kemiskinan di Indonesia,Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan,Tinjauan Filsafat,Penanggulangan Kemiskikan Di Indonesia
C. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis mencoba mengidentifikasikan beberapa pertanyaan yang akan dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan dan penyelesaian makalah. Diantaranya yaitu :
1. Apa yang dimaksud kemiskinan?
2. Bagaimana indikator-indikator kemiskinan ?
3. Apa penyebab kemiskinan ?
D. Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah filsafat ilmu, tapi juga bertujuan diantaranya untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian kemiskinan
2. Untuk mengetahui indikator-indikator kemiskinan
3. Untuk mengetahui penyebab kemiskinan
E. Metode Penulisan
dalam pembahasan filsafat ilmu ini saya menggunakan metode analisis deskriftif dari sumber-sumber yang saya peroleh
F. Sistematika Penulisan
makalah ini di buat 3 bab yang masing-msing bab di lengkapi sub-sub bab dengan sistemaitka sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
perusmusan masalahan, pembatasan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : pembahsan yang menguraikan tentang Definisi Kemiskinan ,Indikator-indikator Kemiskinan,Penyebab Kemiskinan,Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia,Tantangan Kemiskinan di Indonesia,Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan,Tinjauan Filsafat,Penanggulangan Kemiskikan Di Indonesia
Bab III : penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-
saran







Bab II
Pembahasan
Fakta dan kenyataan tentang kemiskinan di indoneisa dalam pandangan filsafat
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran. Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi dilema mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya.
A. Definisi Kemiskinan
Dalam kamus ilmiah populer, kata “Miskin” mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau bokek. Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan. Senada dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih dikenal dengan kemiskinan struktural.
Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan yang mulai bergeser misal pada awal tahun 1990-an definisi kemiskinan tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an telah muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
B. Indikator-indikator Kemiskinan
Untuk menuju solusi kemiskinan penting bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-indikator kemiskinan tersebut.
Adapun indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
C. Penyebab Kemiskinan
Di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan menurut pendapat Karimah Kuraiyyim. Yang antara lain adalah:
a. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem. Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan.
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
a) Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
b) Politik ekonomi yang tidak sehat.
c) Faktor-faktor luar neger, diantaranya:
Rusaknya syarat-syarat perdagangan
Beban hutang
Kurangnya bantuan luar negeri, dan
Perang
b. Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat.
Terlihat jelas faktor ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas masyarakat harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan maksimal
c. Biaya kehidupan yang tinggi.
Melonjak tingginya biaya kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga kerja ahli, lemahnya peranan wanita di depan publik dan banyaknya pengangguran.
d. Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang merata.
Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak negara.
D. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Bagaimana perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia? Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan laporan tahunan Pembangunan manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyord scarcity; power, poverty dan the global water. Laporan ini menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu Indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade ini Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan menurun pada salah satu periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi 47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002, penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi 38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005) yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006 penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%) berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).
Adapun laporan terakhir, Badan Pusat Statistika ( BPS ) yang telah melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret 2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah 39,1 juta orang dengan kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau garis kemiskinan ketika pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
1. Penjelasan Teknis dan Sumber Data
Sebagai tinjauan kevalidan dan pemahaman data di atas secara lugas, dipaparkan penjelasan data dan sumber data yang diambil dari Berita Resmi Statistika No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai berikut:
a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Head Count Indeks (HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
b. Metode yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan per-kapita di bawah garis kemiskinan.
c. Sumber utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret 2006. Sebagai informasi tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari Pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
E. Tantangan Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan di Indonesia sarat sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat Sumber Daya Manusia (SDM). dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692. yang masih menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun yang sama sebesar 0,178. masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya.
Tantangan lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Data Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Selain itu juga tantangan yang sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).
Tantangan selanjutnya adalah otonomi daerah. di mana hal ini mempunyai peran yang sangat signifikan untuk mengentaskan atau menjerumuskan masyarakat dari kemiskinan. Sebab ketika meningkatnya peran keikutsertaan pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang relatif singkat kita akan bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan pada skala nasional terutama dalam mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat. Akan tetapi ketika pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta bisa menimbulkan bahaya laten dalam skala Nasional.
F. Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan
Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan tahunan.
Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.
Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan; (i) penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih. (ii) pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal. (iii) redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan investasi dan revitalisasi industri.
c) Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain (i) pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Di bawah ini merupakan contoh dari upaya mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Contoh dari upaya kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di Bandung dengan diadakannya Bandung Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 – 25 Februari 1998. Bandung Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama, kepercayaan, ataupun haluan politik.
Oleh karena sumbangan dari para dermawan tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan permasalahan kelaparan dan kemiskinan yang dihadapi, maka Bandung Peduli melakukan targetting dengan sasaran bahwa orang yang dibantu tinggal di Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan mereka yang tergolong fakir. Golongan fakir yang dimaksud adalah orang yang miskin sekali dan paling miskin bila diukur dengan “Ekuivalen Nilai Tukar Beras”.
G. Tinjauan Filsafat
1. Tinjauan teologi dan etika terhadap kemiskinan
Teologi adalah ilmu yang menkaji mengenai zat tertinggi atau ketuhanan. Kajian kemiskinan dari sudut teology adalah adanya suatu paham apakah kemiskinan yang menimpa seseorang merupakan suatu takdir ataukah timbul karena si manusia itu sendiri tidak berusaha untuk tidak miskin. Kajian teologi juga mempertanyakan apakah pengentasan kemiskinan tersebut menjadi kewajiban negara atau kewajiban masing masing individu untuk berusaha sendiri. Para penulis berpendapat bahwa pengentasan kemiskinan menjadi kewajiban negara, baik dilihat dari sisi moral, maupun amanat yang sudah tertera dalam Undang Undang Dasar 1945.
2. Tinjauan Ontologi
Ontologi merupakan komponen ilmu filsafat yang menkaji tentang keberadaan suatu obyek. Dalam kaitannya dengan kemiskinan, ontologi berusaha untuk menkaji definisi dari suatu obyek yang sedang diteliti, yaitu: kemiskinan.
Kajian definisi dari kemiskinan dapat dilihat dari beberapa kajian. Menurut Badan Pusat Statistik (2000) kemiskinan didefinisikan sebagai pola konsumsi yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Menurut hasil survey Susenas (1999), kemiskinan disetarakan dengan pengeluaran untuk bahan makanan dan non makanan sebesar Rp.89.845,-/kapita/bulan dan Rp.69.420,-/kapita/bulan.
3. Tinjauan Kasualitas
Kajian kasualitas adalah kajian mengenai sebab sebab terjadinya suatu kejadian. Dalam penulisan ini dikaji sebab sebab terjadinya kemiskinan. Dari data data empiris dapat diambil kesimpulan bahwa sebab sebab kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 golongan. Yang pertama, kemiskinan yang ditimbulkan oleh faktor alamiah, yaitu kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain. Yang kedua, kemiskinan yang disebabkan karena faktor non alamiah, yaitu adanya kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam dan lain lain. Kausalitas kemiskinan dalam kajian ini adalah, bahwa penyebab kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah faktor non alamiah, terutama karena adanya kesalahan dalam kebijakan ekonomi.
4. Kajian Aksiologi
Aksiologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempertanyakan nilai suatu obyek yang akan dikaji dan manfaat dari obyek yang dikaji. Tujuan dari kajian kemiskinan di Indonesia adalah untuk mengetahui gambaran atau peta kemiskinan di Indonesia, baik dilihat dari geographis, tingkat pendidikan dan peubah peubah yang mempengaruhi kemiskinan. Dengan diketahuinya peta kemiskinan tersebut maka akan memudahkan bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan.
5. Kajian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari asal mula ilmu pengetahuan, metode validitasnya dan prosedure penelitian. Dalam kajian kemiskinan , penelitian dilakukan dengan mempelajari data data empiris, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Juga dilakukan kajian banding dengan negara negara lain, terutama mengenai kebijakan kebijakan ekonomi pengentasan kemiskinan. Hasil yang diharapkan berupa model kemiskinan, dengan diketahui peubah peubah yang mempengaruhi kemiskinan. Akhirnya pemerintah dapat mengambil kebijaksanaan untuk menekan angka kemiskinan.
H. Penanggulangan Kemiskikan Di Indonesia

Model pembangunan Indonesia mengikuti pola growth model dari Rostow. Secara umum pola dari Rostow adalah memperbesar kue pembangunan baru kemudian dibagi. Karena intinya Rostow adalah pemupukan modal melalui kegiatan industri untuk menggantikan peran pemerintah dalam pembangunan. Ciri utamanya adalah strategi untuk menarik investasi dengan upah kerja yang murah, pajak yang rendah, dan monopoli serta konsentrasi pada beberapa investor dan jenis industri.
Namun pemerintah Indonesia menggabungkan model Rostow dengan pendekatan kesejahteraan. Pendekatan ini langsung dilakukan tanpa melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi langsung oleh presiden melalui Instruksi Presiden (inpres). Ada beberapa inpres yang dilakukan dengan pola pendekatan kesejahteraan, yaitu :
1. Inpres Desa Tertinggal, tujuannya adalah menciptakan kesetaraan desa dan menciptakan lapangan kerja di pesedaan
2. Inpres kesehatan, tujuannya adalah memberikan layanan kesehatan yang mudah dan murah untuk penduduk pedesaan.
3. Inpres pendidikan, tujuannya adalah memberikan layanan pendidikan yang gratis untuk pendidikan dasar sampai menengah.
4. Inpres obat obatan, tujuannya adalah untuk memberikan obat obatan yang murah kepada masyarakat miskin
5. Inpres inpres lainnya, yang prinsipnya adalah meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan.
Di samping inpres inpres tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk pedesaan, misalkan :
1. Ketentuan mengenai Kredit Usaha Tani, untuk memudahkan petani mendapatkan modal untuk mengolah tanah
2. Ketentuan mengenai kredit perbankan (KIK atau kredit candak kulak) tujuannya adalah memberikan kemudahan rakyat untuk mendapatkan modal untuk usaha diluar sektor pertanian.
3. Pembebasan pajak untuk hasil pertanian.
4. Subsidi atas pupuk dan obat obatan pertanian
5. Penetapan harga dasar gabah, untuk menjamin nilai tukar petani (padi) tidak turun, bahkan meningkat terhadap hasil produk industri lainnya.
6. Pola KKPA untuk sistim transmigrasi terpadu, tujuannya adalah menjamin para transmigran mendapatkan penghasilan yang tetap dan alat produksi.
7. dan lain lain.

Bab III
Penutup
1. Simpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masalah dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
2. Saran
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha yang lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah standar global
DAFTAR PUSTAKA
 Hardi, Slamet 2003. “ Kemiskinan Melanda Negara Berkembang” CV. Cahaya Pustaka : Baynumas
 Nugroho, Gunarso Dwi.2006. Modul Globalisasi. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka
 Santoso Slamet, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Unsoed : Purwokerto.
 Santoso, Djoko. 2007. Wawasan Kebangsaan. Yogyakarta. The Indonesian Army Press
 Riyadi, Slamet dkk. 2006. Kewarganegaraan Untuk SMA/ MA. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka.

Kamis, 30 Desember 2010

makalah menejemen pendidikan lagi nih

A. Latar Belakang
Perubahan yang begitu cepat mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dirinya. Salah satunya adalah di bidang pendidikan. Sasaran pendidikan sangat berhubungan dengan sekolah dimana sekolah berperan besar dalam kemajuan pendidikan. Sekolah menjadi tempat para siswa mengemban pendidikan untuk mendapatkan ilmu. Di sekolah, siswa juga dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan ketrampilan yang diperlukan dirinya. Oleh karena itu, di sekolah perlu memiliki individu yang bertugas sebagai pemimpin. Pemimpin tidak begitu saja menjadi sebuah symbol tetapi harus diatur atau dimanajemen. Pengaturan maksudnya adalah bagaimana kepemimpinan itu dapat direalisasikan dengan baik. Seorang guru juga dapat menjadi pemimpin yaitu memimpin siswanya ketika mengajar di kelas, memimpin siswa agar berperilaku baik dalam kesehariannya, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka manajemen kepemimpinan pendidikan penting untuk dibahas. Banyak hal yang menjadi pembicaraan dalam mengupas segala sesuatu yang berhubungan dengan manajemen kepemimpinan tersebut. Ruang lingkup yang menjadi pokok pembahasan sangat luas seperti pengertian dari manajemen dan kepemimpinan, aspek personalitas dalam kepemimpinan, peningkatan kualitas kepemimpinan, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas permasalahan ini agar sesuatu yang tidak diketahui dapat diketahui dan dipahami.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1. Apa konsep dasar dari kepemimpinan?
2. Bagaimana aspek personalitas dalam kepemimpinan?
3. Bagaimana cara memanajemen kepemimpinan pendidikan di sekolah?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah adalah untuk mengetahui:
1. Konsep dasar dan fungsi dari kepemimpinan.
2. Aspek personalitas yang menjadi salah satu kepribadian dalam kepemimpinan.
3. Cara memanajemen kepemimpinan pendidikan di sekolah.
D. Manajemen Kepemimpinan Pendidikan di Sekolah
1. Konsep Dasar Kepemimpinan
Pendidikan merupakan suatu kompleks dan dinamis. Kompleks karena melibatkan berbagai komponen dan dinamis karena pendidikan dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman ke arah yang lebih baik. Pendidikan menjadi salah satu wahana untuk mengembangkan potensi diri. Adapun tempatnya yaitu di sekolah. Di sekolah diperlukan suatu pemimpin untuk mengatur lalu lintas jalannya proses belajar mengajar. Hal ini berhubungan dengan kepemimpinan. Ada berbagai sumber yang memberikan definisi tentang kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk meyakinkan orang lain agar orang lain itu dengan sukarela mau diajak untuk melaksanakan kehendaknya atau gagasannya. Pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah memikirkan visi dan misi organisasi, mendefinisikan, dan menegakkannya secara jelas dan nyata. Pemimpin menetapkan tujuan, menentukan prioritas, serta menetapkan dan memonitor standar. Selain itu ada definisi yang lain, kepemimpinan merupakan suatu kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mempengaruhi, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan orang-orang lain agar mereka mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Menurut Atmosudirdjo (dalam Purwanto, 1990: 25), Kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu kepribadian seseorang yang mendatangkan keinginan pada kelompok orang-orang untuk mencontohnya atau mengikutinya, atau yang memancarkan suatu pengaruh yang tertentu, suatu kekuatan yang sedemikian rupa sehingga membuat sekelompok orang-orang mau melakukan apa yang dikehendakinya. Dari beberapa definisi di atas, kepemimpinan pada intinya mengandung unsur kemampuan seseorang, mampu mempengaruhi orang, dan mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan merupakan salah satu hal yang penting untuk diterapkan di sekolah karena pada hakekatnya kepemimpinan sebagai penentu keberhasilan segala aktivitas. Dirawat (dalam Kusmintardjo dan Burhanuddin, 1996: 22) memberikan definisi sebagai berikut:
Kepemimpinan pendidikan adalah suatu kemampuan dan proses mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir, dan menggerakkan orang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih efisien dan efektif di dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan pengajaran.
Pemimpin mempunyai kekuasaan untuk mengatur anggotanya tetapi kekuasaan yang diberikan harus digunakan secara bertanggung jawab. Bertanggung jawab maksudnya adalah tidak menggunakan kekuasaan yang telah diberikan untuk kepentingan dirinya sendiri, tidak otoriter, dan kekuasaan itu digunakan agar dapat mengatur orang dengan cara yang baik. Ciri-ciri pemimpin yang baik dapat dilihat dari intelektualnya, hubungan sosialnya dengan anggota, kemampuan emosional, keadaan fisik, imajinasi, kemampuan penalaran, kesabaran, dan kemauan bekerja keras. Semua itu menjadi hal yang sangat penting untuk keberhasilan kepemimpinan.
Kepemimpinan dapat dipelajari dari bagaimana pemimpin mampu mengatur dan mempengaruhi anggotanya untuk melakukan suatu pekerjaan. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang mungkin tidak sama atau mungkin sama antara pemimpin yang satu dengan yang lain. Gaya kepemimpinan yang baik adalah perpaduan yang seimbang antara suatu gaya dengan struktur tugas dan kekuatan sosial. Artinya tiga kekuatan yang harus dipertimbangkan yaitu kekuatan pada diri pimpinan, kekuatan pada bawahan, dan kekuatan pada situasi. Kekuatan situasi yang harus dipertimbangkan yaitu iklim organisasi, sifat tugas, tekanan waktu, sikap anggota terhadap kekuasaan, dan faktor lingkungan organisasi. Adapun fungsi dari kepemimpinan pendidikan di sekolah adalah:
1. Membantu guru-guru memahami, memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai.
2) Menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat untuk mensukseskan program-program pendidikan di sekolah.
1. Menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Adapun fungsi kepemimpinan pendidikan menurut Indrafachrudi (dalam Kusmintardjo dan Burhanuddin, 1996: 33) adalah pada dasarnya dapat dibagai menjadi dua yaitu:
a. Fungsi yang bertalian dengan tujuan yang hendak dicapai
• Pemimpin berfungsi memikirkan dan merumuskan dengan teliti tujuan kelompok.
• Pemimpin berfungsi memberi dorongan kepada anggota-anggota kelompok untuk menganalisis situasi supaya dapat dirumuskan rencana kegiatan kepemimpinan yang dapat memberi harapan baik.
• Pemimpin berfungsi menggunakan kesempatan dan minat khusus anggota kelompok.
b. Fungsi yang bertalian dengan suasana pekerjaan yang sehat dan menyenangkan
• Pemimpin berfungsi memupuk dan memelihara kebersamaan di dalam kelompok.
• Pemimpin berfungsi mengusahakan suatu tempat bekerja yang menyenangkan, sehingga dapat dipupuk kegembiraan dan semangat bekerja dalam pelaksanaan tugas.
• Pemimpin dapat menanamkan dan memupuk perasaan para anggota bahwa mereka termasuk dalam kelompok dan merupakan bagian dari kelompok.
2. Aspek Personalitas dalam Kepemimpinan
Aspek personalitas menjadi salah satu kepribadian dalam kepemimpinan. Personalitas dapat diartikan sebagai totalitas karakteristik-karakteristik individu. Elsbree (dalam Kusmintardjo dan Burhanuddin, 1996: menyatakan bahwa aspek yang perlu dipehatikan dalam kemampuan kepemimpinan pendidikan yaitu kepribadian, tujuan organisasi, pengetahuan yang dimiliki pemimpin, dan ketrampilan profesional. Salah satu contoh pemimpin yang ada di sekolah yaitu kepala sekolah. Kepala sekolah sebagai pemimipin pendidikan perannya sangat penting untuk membantu guru dan muridnya.
Di dalam kepemimpinannya kepala sekolah harus dapat memahami, mengatasi dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi di lingkungan sekolah.Kepala sekolah sebagai pemimpin yang mempunyai pengaruh maka harus berusaha agar nasehat, saran dan perintahnya agar diikuti oleh guru-guru. Dengan demikian ia dapat mengadakan perubahan-perubahan dalam cara berpikir, sikap, tingkah laku yang dipimpinnya. Dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya, kepala sekolah harus melakukan pengelolaan dan pembinaan sekolah melalui kegiatan administrasi, manajemen dan kepemimpinan. Adapun sifat yang mendukung keberhasilan kepala sekolah dalam hubungannya dengan anggotanya adalah:
1. Ramah
2. Responsif
3. Periang
4. Antusias
5. Berani
6. Mempunyai intelektual baik
7. Percaya diri
8. Mau menerima kritik dan saran dari orang-orang yang dipimpinnya
9. Bebas dari rasa takut
Pada umumnya, para kepala sekolah yang sangat efektif dalam memelihara hubungan baik dalam organisasi adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik.
Ghiselli (dalam Kusmintardjo dan Burhanuddin, 1996: 10) menyatakan bahwa ada enam kemampuan dalam personal dalam kepemimpinan, yaitu:
1. Kemampuan pengawasan
2. Keinginan yang tinggi untuk sukses
3. Kemampuan intelektual
4. Kemampuan mengambil keputusan
5. Keyakinan akan diri sendiri
6. Inisiatif
3. Cara Memanajemen Kepemimpinan Pendidikan di Sekolah
Manajemen didefinisikan sebagai kemampuan atau ketrampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan tertentu melalui cara menggerakkan orang lain. Manajemen merupakan suatu proses dimana sumber-sumber yang semula tidak berhubungan satu dengan yang lainnya lalu diintegerasikan menjadi suatu sistem menyeluruh untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Manajemen dan kepemimpinan sebenarnya memiliki kajian yang berbeda. Tetapi keduanya memiliki hubungan yang dekat. Memimpin terkait dengan menggerakkan dan mengarahkan kegiatan orang, sedangkan “memanage” terkait dengan kegiatan mengatur orang. Mengatur bisa dimaknai secara luas, misalnya menempatkan, memberi tugas, membagi-bagi, mencarikan jalan keluar, memperlancar dan mengubah-ubah tugas yang diberikan. Mengelola pendidikan bukanlah hal hal yang mudah untuk dilakukan karena mengelola pendidikan sangat rumit. Di sekolah, diperlukan adanya manajemen yang efektif agar pekerjaan dapat berjalan lancar.
Dalam pelaksanaan manajemen diperlukan adanya teknik. Teknik-teknik manajemen kepemimpinan pendidikan di sekolah, yaitu:
1. Teknik Manajemen Konvensional
Teknik manajemen konvensional banyak menekankan pada aspek mekanisasi dan dekat dengan hubungan kemanusiaan.
1. Management by personality
Teknik ini dilaksanakan dengan diwarnai oleh pengakuan akan kewibawaan seseorang mengelola organisasi
1. Management by reward
Teknik ini memunculkan dorongan kerja dengan motivasi ekstrinsik. Orang dianggap mau bekerja apabila diberi hadiah-hadiah atau pujian.
1. Teknik Manajemen Modern
Pada zaman sekarang, falsafah dasar demokrasi sudah berkembang dan kemudian muncul upaya baru dalam memanajemen proses pendidikan.
1. Management by delegation
Teknik ini dilaksanakan dengan memberikan kepercayaan dan pengakuan atas prestasi dan kemampuan anggota
1. Management by system
Teknik ini dilaksanakan dengan melihat komponen-komponen yang ada dalam organisasi pendidikan sebagai kesatuan yang utuh. Misalnya, sekolah.
Sekolah akan menjadi baik apabila ada manajemen kepemimpinan pendidikan yang baik pula. Manajemen kepemimpinan ini salah satunya sangat tergantung kepada kepala sekolah. Oleh karena itu, kunci keberhasilan suatu sekolah terletak pada efisiensi dan bagaimana kepala sekolah mengelola sekolahnya. Peran kepala sekolah merupakan peran yang menuntut persyaratan kualitas kepemimpinan yang kuat. Ada tiga hal agar manajemen kepemimpinan pendidikan berhasil yaitu adanya keahlian kepala sekolah, kemampuan hubungan dengan masyarakat, dan keahlian teknik.
1. Kesimpulan
Perubahan yang begitu cepat mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dirinya. Salah satunya adalah di bidang pendidikan. Sasaran pendidikan sangat berhubungan dengan sekolah dimana sekolah berperan besar dalam kemajuan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu kompleks dan dinamis. Kompleks karena melibatkan berbagai komponen dan dinamis karena pendidikan dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman ke arah yang lebih baik. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk meyakinkan orang lain agar orang lain itu dengan sukarela mau diajak untuk melaksanakan kehendaknya atau gagasannya. Pondasi dari kepemimpinan yang efektif adalah memikirkan visi dan misi organisasi, mendefinisikan, dan menegakannya secara jelas dan nyata. Pemimpin menetapkan tujuan, menentukan prioritas, serta menetapkan dan memonitor standar.
Aspek personalitas menjadi salah satu kepribadian dalam kepemimpinan. Personalitas dapat diartikan sebagai totalitas karakteristik-karakteristik individu. Pada umumnya, para kepala sekolah yang sangat efektif dalam memelihara hubungan baik dalam organisasi adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kepribadian yang baik. Manajemen merupakan suatu proses dimana sumber-sumber yang semula tidak berhubungan satu dengan yang lainnya lalu diintegerasikan menjadi suatu sistem menyeluruh untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. kunci keberhasilan suatu sekolah terletak pada efisiensi dan bagaimana kepala sekolah mengelola sekolahnya. Peran kepala sekolah merupakan peran yang menuntut persyaratan kualitas kepemimpinan yang kuat. Ada tiga hal agar manajemen kepemimpinan pendidikan berhasil yaitu adanya keahlian kepala sekolah, kemampuan hubungan dengan masyarakat, dan keahlian teknik.
F. Daftar Rujukan
Departemen Pendidikan Nasional.(Online), (http://eei.fe.umy.ac.id/index.php?option=page&id=105&item=276, diakses 9 November 2009).
Fattah, Nanang.2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fikrinatuna. 2009. Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Online), (http://fikrinatuna.blogspot.com/2009/01/kepemimpinan-kepala-sekoalh-sebagai.html, diakses 9 November 2009).
Ibnu. 2009. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan, (Online), (http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/10/manajemen-dan-kepemimpinan-pendidikan.html, diakses 9 November 2009 ).
Kusmintardjo dan Burhanuddin, H. 1996. Kepemimpinan Pendidikan. Malang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mustiningsih. 2004. Dinamika Kelompok Dalam Kepemimpinan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Purwanto, Ngalim. 1990. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soetopo, Hendyat. 1982. Pengantar Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Biro Administrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi.
Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

makalah menejemen pendidikan

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu cita-cita nasional yang harus terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional. Masa depan dan keunggulan bangsa kita ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia yang dimiliki, di samping sumber daya alam dan modal.
Pembangunan bidang pendidikan yang dilaksanakan pemerintah bersama masyarakat merupakan upaya mewujudkan cita-cita nasional tersebut. Namun demikian, dalam pelaksanaan/prakteknya ternyata pendidikan Indonesia belum menghasilkan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan negara lain.
Di samping itu, sampai dasawarsa terakhir pengujung abad ke-20, dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena tersebut ditandai dengan rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas atau cenderung tambal sulam, bahkan lebih berorientasi proyek. Akibatnya sering kali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Kualitas lulusan pendidikan kurang sesuai dengan pasar tenaga kerja dan pembangunan. Bahkan sumber daya manusia yang disiapkan melalui pendidikan sebagai generasi penerus belum sepenuhnya memuaskan bila dilihat dari segi akhlak, moral, dan jati diri bangsa dalam majemuknya budaya bangsa.
Kondisi tersebut menyebabkan sebagian masyarakat menjadi pesimis terhadap sekolah. Sistem pendidikan nasional harus dikelola dengan menerapkan manajemen mutu jika kita ingin membangun dan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pelanggan pendidikan).
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Jelaskan konsep dasar manajemen mutu terpadu dalam pendidikan?
2. Bagaimana penerapan manajemen mutu dalam pendidikan?

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Manajemen Mutu Terpadu
Pengertian Manajemen Mutu Terpadu
Istilah utama yang terkait dengan kajian Total Quality Management (TQM) ialah continuous improvement (perbaikan terus-menerus) dan quality improvement (perbaikan mutu). Sebagai suatu strategi manajemen, sprektum aktivitas manajemen mutu terpadu berorientasi pada upaya untuk memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan organisasi dan memperbaiki upaya dalam memenuhi kebutuhan para pemakai produk dan jasa pada masa kini dan di waktu yang akan datang. Manajemen mutu terpadu merupakan salah satu strategi manajemen untuk menjawab tantangan eksternal suatu organisasi guna memenuhi kepuasan pelanggan.
Para ahli manajemen telah banyak yang mengemukakan pengertian tentang Total Quality Management (TQM). Salah satu di antaranya ialah Edward Sallis (1993: 13) yang menyatakan bahwa manajemen mutu terpadu merupakan suatu filsafat dan metodologi yang membantu berbagai institusi, terutama industri, dalam mengelola perubahan dan menyusun agenda masing-masing untuk menanggapi tekanan-tekanan faktor eksternal.
Manajemen mutu terpadu merupakan suatu teori ilmu manajemen yang mengarahkan pimpinan organisasi dan personelnya untuk melakukan program perbaikan mutu secara berkelanjutan yang terfokus pada pencapaian kepuasan dari para pelanggan.
Jargon utama yang mendasari falsafah manajemen mutu terpadu terfokus pada pernyataan “Do the right things, first time, every time”, yang artinya kerjakan sesuatu yang benar sejak pertama kali, setiap waktu.
Hakikat Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan
Dalam aplikasinya, istilah mutu terpadu dalam pendidikan disebut pula Total Quality Education (TQE). Dalam konteks aplikasi konsep manajemen mutu terpadu terhadap pendidikan dapat saja disebutkan “mengutamakan pelajar” atau “program perbaikan sekolah” yang mungkin dilakukan secara lebih kreatif dan konstruktif. Penekanan paling penting bahwa mutu terpadu dalam programnya dapat mengubah kultur sekolah. Para pelajar dan orang tuanya menjadi tertarik terhadap perubahan yang ditimbulkan manajemen mutu terpadu melalui berbagai program perbaikan mutu.
Keuntungan yang dicapai dengan menerapkan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan di antaranya adalah:
1. memperkuat organisasi sekolah dan memberikan peta jalan atau arah bagi perusahaan
2. menolong kita untuk bekerja sebagai teman dalam kelompok kerja, bukan sebagai musuh
3. mengupayakan suatu program yang akan mengusahakan bukan hanya penanganan satu aspek saja dari pendidikan, tetapi menjadi pendekatan yang holistik dan menyebabkan semua unsur sekolah mengubah cara yang mengarahkan drinya
4. mengarahkan para orang tua dan pelajar untuk memberikan saran untuk memajukan keadaan sekolah
5. mengarahkan dan mengendalikan pengaruh segala sesuatu yang kita lakukan dan cara kita mengendalikan
B. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan
Kepemimpinan untuk Mutu Pendidikan
Kelangsungan hidup dan keberhasilan organisasi pada saat ini tergantung pada kemampuannya dalam mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal. Dalam konteks ini, organisasi harus memiliki pimpinan yang efektif dalam menjalankan manajemen untuk mengelola perubahan yang ada dan berkelanjutan. Tantangan bagi seorang manajer pendidikan (kepala sekolah/madrasah, pimpinan pesantren, rektor atau direktur) adalah bagaimana menjadi pendorong atau pelopor perubahan lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Upaya memperbaiki kualitas suatu organisasi sangat ditentukan oleh mutu kepemimpinan dan manajemen yang efektif. Dukungan dari bawahan hanya akan muncul secara berkelanjutan ketika pimpinannya benar-benar berkualitas dan unggul.
Yang dimaksud dengan pemimpin dalam pendidikan adalah semua orang yang bertanggung jawab dalam proses perbaikan yang berada pada semua level kelembagaan pendidikan. Para pemimpin pendidikan harus memiliki komitmen terhadap perbaikan mutu dalam fungsi utamanya. Oleh karena itu, fungsi dari kepemimpinan pendidikan haruslah tertuju pada mutu belajar serta semua staf lain yang mendukungnya.
Menurut Edwin A. Locke (1997), funsi utama pemimpin adalah menetapkan sebuah visi untuk organisasi dan mengkomunikasikannya kepada anggota. Sedangkan peranan kepemimpinan pada setiap level organisasi akan menentukan pencapaian perbaikan mutu. Menurut Sallis (1993), ada beberapa peranan utama pemimpin pendidikan dalam mengembangkan kultur (budaya) mutu, di antaranya adalah:
1. Memiliki visi yang jelas mengenai mutu terpadu bagi organisasinya
2. Memiliki komitmen yang jelas terhadap perbaikan mutu
3. Menjamin bahwa kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan pekerjaan organisasi
4. Menjamin bahwa kejelasan struktur organisasi menegaskan tanggung jawab dan memberikan pendelegasian yang cocok dan maksimal
5. Membangun kelompok kerja aktif
6. Membangun mekanisme yang sesuai untuk memantau dan mengevaluasi keberhasilan
Pemberdayaan Guru
Pemberdayaan berarti memberikan pegawai suatu pekerjaan untuk dilakukan dan kebebasan bagi mereka untuk melakukannya secara kreatif. Konsep pemberdayaan bersifat humanistik. Pemberdayaan guru termasuk pegawai salah satunya adalah melalui pembagian tanggung jawab. Keberadaan guru sebagai staf dalam proses pembelajaran dan pengajaran di lembaga pendidikan menjadi salah satu pilar kepemimpinan pendidikan.
Proses memberdayakan guru bukan suatu hal yang mudah. Kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinan pendidikan, perlu melakukan beberapa hal penting dalam rangka pemberdayaan guru. Hal-hal tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Melibatkan guru dan semua staf dalam aktivitas penyelesaian masalah dengan menggunakan metode ilmiah dan prinsip pengawasan mutu dengan statistik
2. Meminta pendapat dan aspirasi mereka tentang sesuatu dan bagaimana sebuah proyek ditangani, jangan menggurui mereka
3. Memahami keinginan untuk perbaikan yang berarti bagi guru tidak cocok dengan pendekatan top down terhadap manajemen
4. Memberikan otonomi dan keberanian mengambil resiko Membangun tim kerja, proses manajemen, pelayanan pelanggan, kmunikasi dan kepemimpian
Kelompok Kerja untuk Meraih Mutu
Kerja sama tim dalam menangani suatu proyek perbaikan atau pengembangan mutu pendidikan merupakan salah satu dari pemberdayaan pegawai dan kelompok kerjanya, dengan memberikan tanggung jawab yang lebih besar. Keberadaan tim kerja sama sebagai modal utama untuk meraih mutu melalui proses perbaikan mutu. Mereka perlu saling mendorong atau bersinergi untuk bekerja sama dalam bidang akademik dan pendukung lainnya, seperti tim pengajar.
Berkaitan dengan pentingnya suatu tim dalam penerapan manajemen mutu terpadu untuk mengejar mutu pendidikan, maka beberapa langkah yang harus dilalui dalam membentuk tim kerja perbaikan mutu adalah (1) pembentukan tim; (2) penggugahan; (3) penetapan norma atau tata kerja; dan (4) melakukan kegiatan.
Alat dan Teknik Perbaikan Mutu
Alat-alat dan teknik mutu berarti mengenali penyelesaian masalah secara kreatif. Beberapa alat yang dapat digunakan dalam perbaikan mutu pendidikan adalah:
1. Gugah pikiran (brainstorming)
2. Jaringan kerja kemiripan (affinity network)
3. Diagram tulang ikan (fishbone diagram or ishikawa)
4. Analisis keadaan lapangan (force-field analysis)
5. Pendiagraman (process charting)
6. Diagram arus (flowcharts)
7. Analisis pareto (pareto analysis)
8. Pengukuran kinerja (benchmarking)
9. Pemetaan arah karier (career path-maping)
Strategi Implementasi Manajemen Mutu Pendidikan
Untuk menerapakan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan, ada sepuluh langkah yang harus dilalui, yaitu:
1. Mempelajari dan memahami manajemen mutu terpadu secara menyeluruh
2. Memahami dan mengadopsi jiwa dan filosofi untuk perbaikan terus menerus
3. Menilai jaminan mutu saat ini dan program pengendalian mutu
4. Membangun system mutu terpadu
5. Mempersiapkan orang-orang untuk perubahan, menilai budaya mutu sebagai tujuan untuk mempersiapkan perbaiakan, melatih orang-orang untuk bekerja pada suatu kelompok kerja
6. Mempelajari teknik untuk menyerang atau mengatasi akar persoalan dan mengaplikasikan tindakan koreksi dengan menggunakan teknik dan alat manajemen mutu terpadu
7. Memilih dan menetapkan pilot project untuk diaplikasikan
8. Tetapkan prosedur tindakan perbaikan dan sadari akan keberhasilannya
9. Menciptakan komitmen dan strategi yang benar mutu terpadu oleh pemimpin yang akan menggunakannya
10. Memelihara jiwa mutu terpadu dalam penyelidikan dan aplikasi pengetahuan yang amat luas

BAB III PENUTUP
Dari uraian-uraian yang telah dituliskan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa manajemen mutu terpadu merupakan suatu teori ilmu manajemen yang mengarahkan pimpinan organisasi dan personelnya untuk melakukan program perbaikan mutu secara berkelanjutan yang terfokus pada pencapaian kepuasan dari para pelanggan.
Keuntungan yang dicapai dengan menerapkan manajemen mutu terpadu dalam pendidikan di antaranya adalah (1) Memperkuat organisasi sekolah dan memberikan peta jalan atau arah bagi perusahaan; (2) Menolong kita untuk bekerja sebagai teman dalam kelompok kerja, bukan sebagai musuh; (3) Mengupayakan suatu program yang akan mengusahakan bukan hanya penanganan satu aspek saja dari pendidikan, tetapi menjadi pendekatan yang holistik dan menyebabkan semua unsur sekolah mengubah cara yang mengarahkan drinya; (4) Mengarahkan para orang tua dan pelajar untuk memberikan saran untuk memajukan keadaan sekolah; dan (5) Mengarahkan dan mengendalikan pengaruh segala sesuatu yang kita lakukan dan cara kita mengendalikan
Sedangkan penerapkan manajemen mutu pendidikan di sekolah harus didukung oleh kepemimpinan mutu pendidikan, pemberdayaan guru, kelompok kerja untuk meraih mutu, alat dan teknik perbaikan mutu; serta strategi implementasi manajemen mutu pendidikan.

Sumber referensi:
Sukirman, Hartati, dkk. Administrasi dan Supervisi. Yogyakarta: UNY Press
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan; Konsep, Strategi, dan Aplikasi. Jakarta: PT Grasindo
http://paksisgendut.files.wordpress.com/2007/07/tugas-tqm.doc
Komentar (2)
Manajemen Supervisi Pendidikan dan Pengawasan
Diarsipkan di bawah: Manajemen Pendidikan — zizer @ 5:12 PM
A. Pengertian Supervisi Pendidikan
Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar dan belajar pada khususnya. Menurut keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, temasuk kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penelik sekolah, dan para pengawas ditingkatkan kabupaten/kotamadya, serta staf di kantor bidang yang ada di tiap provinsi.
B. Prinsip-Prinsip Supervisi Pendidikan
1. Prinsip-prinsip fundamenta; Pancasila merupakan dasar atau prinsip fundamental bagi setiap supervisor pendidikan Indonesia. Bahwa seorang supervisor haruslah seorang pancasilais sejati.
2. Prinsip-prinsip praktisa;
• Negatif: • Tidak otoriter • Tidak berasas kekuasaan • Tidak lepas dari tujuan pendidikan • Bukan mencari kesalahan • Tidak boleh terlalu cepat mengharapkan hasil
• Positif: • Konstruktif dan kreatif • Sumber secara kolektif bukan supervisor sendiri • Propessional • Sanggup mengembangkan potensi guru dkk • Memperhatikan kesejahteraan guru dkk • Progresif • Memperhitungkan kesanggupan supervised • Sederhana dan informal • Obyektif dan sanggup mengevaluasi diri sendiri
C. Tujuan Supervisi Pendidikan
1. Tujuan Umum: (a) Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia dewasa yang sanggup berdiri sendiri, (b) Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia pembangunan dewasa yang berpancasila, (c) Perbaikan situasi pendidikan dan pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.
2. Tujuan khusus: (a) Membantu guru-guru lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya, (b) Membantu guru-guru untuk dapat lebih memahami dan menolong murid, (c) Memperbesar kesnggupan guru mendidik murid untuk terjun ke msyarakat, (d) Memperbesar kesadaran guru terhadap kerja yang demokratis dan kooperatif, (e) Membesar ambisi guru untuk berkembang, (f) Membantu guru-guru untuk memanfaatkan pengalaman yang dimiliki, (g) Memperkenalkan karyawan baru kepada sekolah, (h) Melindungi guru daru tuntutan tak wajar dari masyarakat, (i) Mengembangkan professional guru.
D. Fungsi Supervisi Pendidikan
1. Penelitian (research) → untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang suatu situasi pendidikan. Perumusan topik: (a) Pengumpulan data, (b) Pengolahan data, dan (c) Konlusi hasil penelitian
2. Penilaian (evaluation) → lebih menekankan pada aspek daripada negative
3. Perbaikan (improvement) → dapat mengatahui bagaimana situasi pendidikan/pengajaran pada umumnya dan situasi belajar mengajarnya
4. Pembinaan → berupa bimbingan (guidance) kea rah pembinaan diri yang disupervisi
E. Teknik Supervisi Pendidikan
1. Tekhnik kelompok: cara pelaksanaan supervisi terhadap sekelompok orang yang disupervisi
2. Tekhnik perorangan: dilakukan terhadap individu yang memiliki masalah khusus
F. Metode Supervisi
1. Metode langsung: alat yang digunakan mengenai sasaran supervisi
2. Metode tak langsung: mempergunakan berbagai alat perantara (media)
G. Jenis-jenis Supervisi
1. Observasi kelas
2. Saling kunjung
3. Demontrasi mengajar
4. Supervisi klinnis
5. Kaji tindak (action research)
H. Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran
1. Observasi kelas: Merupakan salah satu cara paling baik memberikan supervisi pembelajaran karena dapat melihat kegiatan guru, murid dan masalah yang timbul. (a) Perencanaan Kepala sekolah merencanakan dalam menyusun program dalam satu semester atau tahunan. Program tidak terlalu kaku, tergantung dari jumlah guru yang perlu di observasi. Ada tiga macam observasi yaitu dengan pemberitahuan, tanpa pemberitahuan, dan atas undangan. (b) Mekanisme observasi: 1) Persiapan yang diperhatikan: – Guru diberi tahu kepala sekolah bahwa kepala sekolah akan mengadakan observasi – Kesepakatan kepala sekolah dan guru tolak ukur tentang apa yang dioservasi 2) Sikap observasi didalam kelas – Memberikan salam kepada guru yang mengajar – Mencari tempat duduk yang tidak mencolok – Tidak boleh menegur kesalahan guru di dalam kelas – Mencatat setiap kegiatan – Bila ada memakai alat elektronika : tape recorder, kemera – Mempersiapkan isian berupa check 3) Membicarakan hasil observasihasil yang dicatat dibicarakan dengan guru, dan beberapa hal yang diperlu dikemukankan: – Kepala sekolah mempersiapkan – Waktu percakapan – Tempat percakapan – Sikap ramah simpatik – Percakapan hendaknya tidak keluar dari data observasi – guru diberi kesempatan dialog dan mengeluarkan pendapat – Kelamahan guru hendaknya menjadi motivasi guru dalam memperbaiki kelemahan – Saran untuk perbaikan diberikan yang mudah dan praktis- kesepakatan perbaikan disepakati bersama dengan menyenangkan.d. Laporan percakapan- hasil pembicaraan didokumenkan menurut masing-masing guru yang telah diobservasi – Isi dokumen dimulai dari tanggal, tujuan data yang diperoleh, catatan diskusi, pemecahan masalah dan saran-saran
2. Saling mengunjungi: Dalam kegiatan belajar mengajar sudah ada wadah dari kegiatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pembelajaran guru-guru antara lain: (a) Untuk tingkat SMP dan SMA adalah musyawarah guru mata pelajaran (MGMP), (b) Untuk tingkat Sekolah Dasar adalah Pusat kegiatan guru (PKG)
3. Domonstrasi mengajar: Dalam kegiatan pembelajaran sangat sukar menentukan mana yang benar dalam praktek mengajar karena mengajar menurut Siswoyo (1997) sebagai seni dan filusuf. Menurut pendapat diatas mengajar dalam pekerjaan disekolah bukan pekerjaan yang mudah, sehingga kepala sekolah dalam demonstrasi pembelajaran tidak perlu mengakui kelemahan dan perlu mencarikan ahli yang dapat memberikan gambaran tentang pembelajaran yang baik
4. Supervisi klinis: Supervisi klinis termasuk bagian dari supervisi pengajaran. Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaannya ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran dan kemudian langsung diusahkan perbaikan kekurangan dan kelemahan tersebut.Pelaksanaan supervisi klinis menurut la sulo (1987), mengemukakan ciri-ciri supervisi sebagai berikut: a. Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi b. Sepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan yang paling pointing (diskusi guru dengan supervisor) c. Instrument dikembangkan dan disepakati bersama antara guru dengan supervisor d. Guru melakukan persiapan dengan aspek kelemahan-kelemahan yang akan diperbaiki. Bila perlu berlatih diluar sekolah e. Pelaksanaannya seperti dalam teknik observasi kelas f. Balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif g. Guru hendaknya dapat menganalisa penampilannya h. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan i. Supervisor dan guru dalam keadaam suasanan intim dan terbuka j. Supervisor dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan keterampil
H. Program Supervisi Pendidikan
Program supervisi pendidikan adalah rangka program berisikan pendidikan dan pengajaran.
1. Perencanaan: adalah pemikiran dan perumusan tentang apa, bagaimana, mengapa, siapa, kapan dan dimana. Prinsip-prinsip: kooperatif, kreatif, komprehensif, flexible, kontinu. Syarat-syarat: (a) jelas tentang tujuan pendidikan, (b)pengetahuan tentang mengajar yang baik, (c) pengetahuan tentang pengalaman belajar murid, (d) pengetahuan tentang guru-guru, (e) tilikan pengetahuan tentang murid-murid, (f) pengaetahuan tentang masyarakat, (g) pengetahuan tentang sumber-sumber fisik, (h) faktor biaya, (i)faktor waktu. Proses: merumuskan what, why, how, who, when, where
2. Organisasi program: Pola-pola :→ horizontal→ vertical. Langkah-langkah mengorganisir program: • persiapakan suasana • pertimbangan situasi • penyusunan program • pembagian
Komentar (2)
26 November 2009
Manajemen Supervisi Pendidikan dan Pengawasan
Diarsipkan di bawah: Manajemen Pendidikan — zizer @ 4:18 PM
A. Pengertian Supervisi Pendidikan
Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar dan belajar pada khususnya. Menurut keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, temasuk kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penelik sekolah, dan para pengawas ditingkatkan kabupaten/kotamadya, serta staf di kantor bidang yang ada di tiap provinsi.

B. Prinsip-prinsip Supervisi Pendidikan
1. Prinsip-prinsip fundamental; Pancasila merupakan dasar atau prinsip fundamental bagi setiap supervisor pendidikan Indonesia. Bahwa seorang supervisor haruslah seorang pancasilais sejati.
2. Prinsip-prinsip praktisa; (a) Negatif: Tidak otoriter, Tidak berasas kekuasaan, Tidak lepas dari tujuan pendidikan, Bukan mencari kesalahan, Tidak boleh terlalu cepat mengharapkan hasil, dan (b) Positif: Konstruktif dan kreatif, Sumber secara kolektif bukan supervisor sendiri, Propessiona, Sanggup mengembangkan potensi guru dkk, Memperhatikan kesejahteraan guru dkk, Progresif, Memperhitungkan kesanggupan supervised, Sederhana dan informal, Obyektif dan sanggup mengevaluasi diri sendiri

C. Tujuan Supervisi Pendidikan
1. Tujuan Umum
• Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia dewasa yang sanggup berdiri sendiri
• Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia pembangunan dewasa yang berpancasila
• Perbaikan situasi pendidikan dan pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya
2. Tujuan khusus
• Membantu guru-guru lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya
• Membantu guru-guru untuk dapat lebih memahami dan menolong murid
• Memperbesar kesnggupan guru mendidik murid untuk terjun ke msyarakat
• Memperbesar kesadaran guru terhadap kerja yang demokratis dan kooperatif
• Membesar ambisi guru untuk berkembang
• Membantu guru-guru untuk memanfaatkan pengalaman yang dimiliki
• Memperkenalkan karyawan baru kepada sekolah
• Melindungi guru daru tuntutan tak wajar dari masyarakat
• Mengembangkan professional guru

D. Fungsi Supervisi Pendidikan
1. Penelitian (research) → untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang suatu situasi pendidikan; Perumusan topik: (a) Pengumpulan data, (b) Pengolahan data, dan (c) Konlusi hasil penelitian
2. Penilaian (evaluation) → lebih menekankan pada aspek daripada negative
3. Perbaikan (improvement) → dapat mengatahui bagaimana situasi pendidikan/pengajaran pada umumnya dan situasi belajar mengajarnya
4. Pembinaan → berupa bimbingan (guidance) kea rah pembinaan diri yang disupervisi

E. Teknik Supervisi Pendidikan
1. Tekhnik kelompok: cara pelaksanaan supervisi terhadap sekelompok orang yang disupervisi
2. Tekhnik perorangan: dilakukan terhadap individu yang memiliki masalah khusus

F. Metode Supervisi
1. Metode langsung: alat yang digunakan mengenai sasaran supervisi
2. Metode tak langsung: mempergunakan berbagai alat perantara (media)

G. Jenis-jenis Supervisi
Beberapa jenis supervisi antara lain:
1. Observasi kelas
2. Saling kunjung
3. Demontrasi mengajar
4. Supervisi klinnis
5. Kaji tindak (action research)

H. Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran
1. Observasi kelas
Observasi kelas merupakan salah satu cara paling baik memberikan supervisi pembelajaran Karen dapat melihat kegiatan guru, murid dan masalah yang timbul.
a. Perencanaan
Kepala sekolah merencanakan dalam menyusun program dalam satu semester atau tahunan. Program tidak terlalu kaku, tergantung dari jumlah guru yang perlu di observasi. Ada tiga macam observasi yaitu dengan pemberitahuan, tanpa pemberitahuan, dan atas undangan.
b. Mekanisme observasi
1) Persiapan yang diperhatikan:
- Guru diberi tahu kepala sekolah bahwa kepala sekolah akan mengadakan observasi
- Kesepakatan kepala sekolah dan guru tolak ukur tentang apa yang dioservasi
2) Sikap observasi didalam kelas
- Memberikan salam kepada guru yang mengajar
- Mencari tempat duduk yang tidak mencolok
- Tidak boleh menegur kesalahan guru di dalam kelas
- Mencatat setiap kegiatan
- Bila ada memakai alat elektronika : tape recorder, kemera
- Mempersiapkan isian berupa check
3) Membicarakan hasil observasihasil yang dicatat dibicarakan dengan guru, dan beberapa hal yang diperlu dikemukankan:
- Kepala sekolah mempersiapkan
- Waktu percakapan
- Tempat percakapan
- Sikap ramah simpatik
- Percakapan hendaknya tidak keluar dari data observasi – guru diberi kesempatan dialog dan mengeluarkan pendapat
- Kelamahan guru hendaknya menjadi motivasi guru dalam memperbaiki kelemahan
- Saran untuk perbaikan diberikan yang mudah dan praktis- kesepakatan perbaikan disepakati bersama dengan menyenangkan.d. Laporan percakapan- hasil pembicaraan didokumenkan menurut masing-masing guru yang telah diobservasi
- Isi dokumen dimulai dari tanggal, tujuan data yang diperoleh, catatan diskusi, pemecahan masalah dan saran-saran
2. Saling mengunjungi
Dalam kegiatan belajar mengajar sudah ada wadah dari kegiatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pembelajaran guru-guru antara lain:
a. Untuk tingkat SMP dan SMA adalah musyawarah guru mata pelajaran (MGMP)
b. Untuk tingkat Sekolah Dasar adalah Pusat kegiatan guru (PKG)
3. Domonstrasi mengajar
Dalam kegiatan pembelajaran sangat sukar menentukan mana yang benar dalam praktek mengajar karena mengajar menurut Siswoyo (1997) sebagai seni dan filusuf. Menurut pendapat diatas mengajar dalam pekerjaan disekolah bukan pekerjaan yang mudah, sehingga kepala sekolah dalam demonstrasi pembelajaran tidak perlu mengakui kelemahan dan perlu mencarikan ahli yang dapat memberikan gambaran tentang pembelajaran yang baik
4. Supervisi klinis
Supervisi klinis termasuk bagian dari supervisi pengajaran. Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaannya ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran dan kemudian langsung diusahkan perbaikan kekurangan dan kelemahan tersebut.Pelaksanaan supervisi klinis menurut la sulo (1987), mengemukakan ciri-ciri supervisi sebagai berikut:
a. Bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi
b. Sepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan yang paling pointing (diskusi guru dengan supervisor)
c. Instrument dikembangkan dan disepakati bersama antara guru dengan supervisor
d. Guru melakukan persiapan dengan aspek kelemahan-kelemahan yang akan diperbaiki. Bila perlu berlatih diluar sekolah
e. Pelaksanaannya seperti dalam teknik observasi kelas
f. Balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif
g. Guru hendaknya dapat menganalisa penampilannya
h. Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan
i. Supervisor dan guru dalam keadaam suasanan intim dan terbuka
j. Supervisor dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan keterampil

H. Program Supervisi Pendidikan
Program supervisi pendidikan adalah rangka program berisikan pendidikan dan pengajaran.
1. Perencanaan adalah pemikiran dan perumusan tentang apa, bagaimana1, mengapa, siapa, kapan dan dimana.
Prinsip-prinsip: kooperatif, kreatif, komprehensif, flexible, kontinu
Syarat-syarat:
1. jelas tentang tujuan pendidikan
2. pengetahuan tentang mengajar yang baik
3. pengetahuan tentang pengalaman belajar murid
4. pengetahuan tentang guru-guru
5. tilikan pengetahuan tentang murid-murid
6. pengaetahuan tentang masyarakat
7. pengetahuan tentang sumber-sumber fisik
8. factor biaya
9. factor waktu
Proses: merumuskan what, why, how, who, when, where
2. Organisasi program
a. Pola-pola :→ horizontal→ vertical
b. Langkah-langkah mengorganisir program:
• persiapakan suasana
• pertimbangan situasi
• penyusunan program
• pembagian