Powered By Blogger

Senin, 20 Desember 2010

makalah filsafat tentang dimensi filsafat

DIMENSI FILSAFAT ILMU
PENDAHULUAN.
Dalam bentuk kontemporer filsafat ilmu kemudian menjadi suatu topik bagi analisis dan diskusi eksplisit yang setara dengan cabang-cabang filsafat lainnya yaitu: etika, logika, dan epistemologi (teori pengetahuan). Sebagai suatu disiplin, filsafat ilmu berusaha untuk menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penelitian ilmiah yaitu prosedur-posedur pengamaatan, pola argument, metode penyajian dan penghitungan, praandaian-praandaian metafisik dan seterusnya. Kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya bedasarkan sudut pandang logika formal, metodologi praktis dan metafisika.1
Jangkauan filafat ilmu apabila ditinjau dari paradigma keluasannya ada beberapa dimensi yang bisa menjadi cakupan kajiannya. Pertama, dimensi ilmu yang bersifat reflektif abstrak dan formal tersir dari dua: dimensi filsafat dan dimensi logis. Dari sudut tinjauan filsafat maka ilmu dapat dipandang sebagai suatu pandangan dunia (world view) atau nilai manusiawi (human value). Tinjuan dari sudut logika membahasa internal consistensi pada proposisi-proposisi ilmu atau menekankan hampir formal yang menurut Albert Einstein, tujuan segala ilmu, entah ilmualam atau psikologi adalah mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman kita dan menjadikan pengalaman tersebut menjadi pengalaman logis. Dimensi ilmu lainnya yang berpangkal pada aspek realitas di dunia adalah: cultural dimension (dimensi kebudayaan), historical dimension (dimensi sejarah), humanistic dimension (dimensi kemanusiaan), recreational dimension(dimensi rekreasi), dan system dimension (dimensi sistem).
Sedangkan dimensi filsafat ilmu yang sering menjadi kajian secara umum yaitu meliputi tiga hal: dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Ketiganya merupakan cakupan yang meliputi dari keseluruhan–keseluruhan pemikiran kefilsafatan. Dimensi yang pertama, membahas dan mengetahui tentang asas-asas rasional dari yang – ada, mengetahui esensi dari yang ada. Dimensi epistemologi menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Sedangkan dimensi aksiologi berusaha mengetahui hubungan antara ilmu dan etika yang mempertanyakan mengenai nilai-nilai yang dijadikan sebagai kunci keputusan dan tindakan manusia. Pemahaman terhadap ketiga dimensi di atas sangat penting, karena merupakan pokok pemahaman dari kerangka pemikiran filsafati. Dari makalah ini akan sedikit menguraikan ketiga dimensi tersebut.
DIMENSI ONTOLOGI.
Perkataan “ontology” berasal dari perkataan dari Yunani “ yang ada” juga berarti logos., merupakan abang filsafat yang menggeluti tata dan struktur reslitas dalam arti seluas mungkin. da Ontology menggunakan kategori-kategori ada-menjadi , aktualitas- potensialitas, nyata-tampak, perubahan, eksistensi-non eksistensi, esensi, keniscayaan yang ada sebagai yang ada. Pertanyaan mendasar yang digumuli di dalam ontology adalah “Apa itu ada – dalam – dirinya - sendiri? Apa hakikat ada sebagai Ada? Istilah ontologi muncul sekitar abad ke-17 yang dikenal dengan ungkapan mengenai “filsafat mengenai yang – ada” (philosophia entis). Martin Heidegger (1889-1976) memeahamiontologi sebagai analisis eksistensi dan yang memungkinkan adanya eksistensi. Para eksistensialis menunjukkan bahwa pengetahuan apa pun yang dikembangkan haruslah dikembalikan pada eksistensi dan keeksistansi manusia sebagai “ Ada” yang mengadakan atau “pengada actual” (causa efficiens). Pemikiran diatas menunjukkanbahwa pengembanan epistemiligi merupakan suatu tugas cultural yang dilandaskan pada ada atau keberadaan jatidiri manusia.
Contoh dari paradigama ontologi filsafati adalah ontologi sain, menghendaki sesuatu yang bersifat rasional sehingga menghasilkan hipotesis yang raisonal pula. Setelah menemukan hipotesis yang rasional maka dibuktikan secara empiris, sebagaimana mengikuti metode ilmiah. Metode Ilmiah merupakan metode yang membuktikan bahwa suatu hal tersebut bersifat logis, kemudian menarik sebuh hipotesis yang disertai dengan bukti empiris. Sedangakan perbedaan antara ontologi dan kosmologi adalah bahwa, ontologi berusaha untuk mengetahui esensi terdalam dari yang – ada, sedangakan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya. Materialisme misalnya adlah ajaran ontologi yang mengatakan bahwa yang ada yang terdalam bersifat material. Apakah kenyataan itu mengandung tujuan atau bersifat mekanis (artinya, bersifat teleogis atau tidak) merupakan suatu pertanyaan ontologis.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang kuantitatif, hal ini bisa dicintohkan “Kenyataan itu tunggal atau jamak?” atau dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” Yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif. Dalam hubungan tertentu segenap masalah dibidang oontologi dapat dikembalikan kepada sejumlah pertanyaan yang bersifat umum seperti, “Bagaimanakah cara kita hendak membicarakan kenyataan?”
Dalam prakteknya, penyelesaian masalah ontologis mempunyai berbagai macam jawaban filsafati yang berbeda-beda, sesuai dengan titik tolak pemikiran yang digunakan. Kita dapat memberi comtoh hal tersebut misalnya dengan berbagai pandangan atau aliran filsafat seperti jawaban natiralisme, materialisme, idealisme dan pisitivme logis. Salah satu tokoh aliran filsafat idealisme yang paling terkenal adalah Hegel. Menirut Hegel akal adalah kepastian yang sadar tentang semua realitas yang ada, ia menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata. Idealisme absolut merupakan landasan filsafat Hegel yang menempatkan ide absolut sebgai hakikat ontologis.
Contoh lain dari jawaban ontologis adalah aliran materialisme. Apabila naturalisme mendasarkan ajarannya pada penelitian “alam”, maka aliran materialisme berusaha melampaui pengertian “alam” dan mendasarkan diri pada macam substansi atau kenyataan terdalam yang dinamakan materi. Kaum meterialis pada masa lampau memandang alam semesta tersusun dari zat-zat renik yang terdalam tersebut dan memandang alam semesta dapat diterangakam berdasarkan hukum-hukum dinamika, contohnya hal ini dikenal dengan rumus fisika dewasa ini dengan E = MC2, yang menggambarakan bahwa tenaga E kedudukannya dapat saling dipertukarkan dengan massa m. jadi istilah pokok yang melandasi ajaran mwterialisme adalah “materi”. Contoh dari artikulasi ontologi materi adalah teori evolusi Charles Darwin.
EPISTEMOLOGI.
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja “epistemai”, artinya menunjukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Selain kata “episteme”, unutk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis” maka istilah kata epistemologi dalam sejarah pernah disebut juga gneseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory fo knowledge; Erkentnistheorie).
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengtahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu oada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk mengetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitas. Pertanyaan pook “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau dijawab secara seksama. Epistemologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk meninbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan, sosial, dan alam sekitarnya. Maka, epistemologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dna kritis. Evaluatif berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur, dan dalam hal ini tolok ukur dalam kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi (seperti dibuat oleh psikologi kognitif), tetapiperlumembuat penentuan man ayng betul dan mana yang keliru berdasarkan norma epestemik. Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui. Yang dipertanyakan adalah baik asumsi, cara kerja atau pendekatannyang diambil, maupun kesimpulan ang ditarik dalam pelbagai kegiatan kognitif manusia.
Cara kerja atau metode pendekatan epistemologi sama dengan ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi objek ilmu filsafat tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosiologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat seara umum dari ilmu-ilmu lain bukannlah objek materialnya atau apa yang menjadi kajian, tetapi objeke formal atau cara pendekatannya: bagaimana objek yang dijadikan bahan kajian itu didekati. Ciri khas cara pendekatan filasfat terhadap objek kejiannya tampak dari enis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyan yang bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar.
Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gekala pengetahuan bisa dibedakan beberapa macam epistemologi. Pertama, epistemologi metafisis, yaitu epistemologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengandaian metafisika tertentu. Epistemologi ini berangkat dari suatu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut. Plato misalnya meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunis ide-ide, plato dalam epistemologinya memehami kegiatan mengetahui sebagai kekuatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan saja yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Ia juga secara tegas membedakan antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat objektif, universal dan tetap tak berubah, serata pendapat (doxa), sebagai suatu yang bersifat subjektif, partikular dan berubah-ubah.
Kedua, epistemologi skeptis sebagaimana pandangan Rene Descartes yang bermaksud membultikn dahulu apayang dapat diketahui sebagai sungguh nyata atau benar benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang kebenarannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pandekatan ini adalah apabila orang sedah masuk skeptisisme dan onsistendengan sikapnya, maka tak mudah menemukan jalan keluar . skeptisime Des Cartes adalah sketisisme metodis yaitu: suatu strategi awal untuk meregukan segala sesuatu degnan maksud agar dapat sampai ke kebanaran yang tidak dapat diragukan lagi. Ia menolak argumen untuk membuktikan kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaam) sebagaimana dilakukan pada abad Pertengahan.
Ketiga, epistemologi kritis yang berangkat dari asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat atau pun asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana ditemukan dalam kehidupan kemudian ditanggapi secara kritis asumsi, prosedur dan kesimpulan tersbut. Sikap kritis diperlukan untuk lebih memahami sesuatu secara radikal lewat alasan-alasan yang jelas dan kuat.
Berdasarkan titik tolak pendekatannya dan berdasarkan objek yang dikaji, epistemologi juga dapat dibagi menjadi dua yaitu epistemologi individual dan epistemologi sosial. Epistemologi individual berangkat dan didasarkan atas kegiatan manusia individual sebagai subjek penahu terlepas dari konteks sosialnya, baik tentang pengetahuan status kognitifnya maupun proses pemerolehannya. Epistemologi evolusioner (evolutionary epistemology) atau kadang juga disebut epistemologi alami (natural epistemologi) termasuk jenis epistemologi individual. Sedangakan epistemologi sosial adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sbagai batas sosiolagis. Bagi epistetmologi sosial, hubungan sosial, kepantingan sosisl dan lembaga sosial dipandang sebagai faktor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan.
Epistemologi sangat penting untuk dipelajari karena alasan yang mendasar dari pertimbangan srategis, pertimbangan kebudayaan dan pertimbangan pendidikan. Ketiganya berpangkal pada pentingnya pengetahuan pada kehidupan manusia. Berdasarkan pertimbangan srategis, epistemplogi perlu karena pengetahuan sendir merupakan hal yang sacara srategis perlu bagi perkembangna manusia berdasarkan pertimbangan kebudayaan, penjelasan yang pokok adalah kenyataan bahwa pengtahuan merupakan salah satu unsur dasar kebudayaan. Dari segi petimbangan kebudayaan menpelajari epistemologi diperlukan untu mengungkap pandangan epestimologis yang seharusnya ada dan terkandung dlam setiap kebudayaan. Sedangkan berdasarkan pertimbangan pendidikan, epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan secara faktual.
AKSIOLOGI.
Aksiologi dalam fisafat ilmu berarti menyajikan hubungan antra etika dan ilmu, dimana etika sangat terkait hubungannya (inhaerent) dengan ilmu. Persoalan aksiologi adalah seputar bebas nilai atau tidaknya ilmu, hal ini merupakan persoalan yang rumit, tak mungkin dijawab dengan sekedar ya atau tidak. Mereka yang berfaham ilmu itu bebeasnilai menggunakan pertimbangan yang yang didasarkan asat nilai diri yang diwakili oleh ilmu yang bersangkutan.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki ilmu pengetahuan, pada umunya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Sedangkan etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah perdikat-orediakt nilai “betul” (right), “salah”(wrong) dalam arti “susila”(moral) dan “tidak susila” (immoral). Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuanyang bersangkutan dengan masalah masalah nilai yangkhusus seperti, ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan spistemologi. Epistemologi berkaitan dengan masalah kebenaran etika bersangkutan dengan masalah kabaikan (kesusilaan), dan estetika berkaitan dengan masalah keindahan. Aksiologi juga menyelidiki berbagai pernyataan-pernyataan tentang etika dan estetika. Ilmu yang bersangkutan dengan hal terebut adalah fisafat nilai.
Pendekatan-Pendektan dalam Aksiologi.
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijwab dengan tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalamannya. Hal ini dapat dinamakan dengan “subjektivitas”. Kedua, nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalkui akal. Pendirian ini juga dinamakan sebagai “objektivitas logis”. Ketiga, nilai-nilai merupakn unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Hal itu disebut sebagai “objektifvisme metafisik”.
Nilai Merupakan Kualitas Empiris yang Tidakdapat Didefinisikan.
Kualitas empiris ialah kualita yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Contoh dar hal itu adalah pengertian “baik” dan “kuning”, kedua-duanya merupakan pengertian-pengetian yang bersahaja, dengan cara apa pun tidak akan dapat menerangkan warna kuning dan baik kepada seserang yang belum mengelnal warna tersebut. Nilai dapat dijelaskan dari sisi kualitas objek atau perbuatan tertentu. Artinya pemahaman terhadap nilai bisa dipahami lewat verifikasi melalui pengalaman.
Nilai Sebagai Objek Suatu Kepentingan.
Hal tersebut dapat dipahami karena setiap nilai merupakan suat sikap tertentu dari manusia. Menurut perry setiap objek yang ada dalam kenyataan maupun dalam pikiran, setiap perbuatn ynag dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat memperoleh nilai jika pada sustu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan. Jika seseorang mempunyai kepentingan pada suatu apa pun, maka hal tersebut mempunyai nilai. Berkaitan dengan nilai sebagai objek sebagai kepentingan, tersdia tiga macam kemungkinan: pertama, sikap setuju atau menentang tersebut samasekali tidak bersangkut paut dengan masalah nilai. Keua, sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki. Ketiga, sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai.
Teori Pragmatis Mengenai Nilai.
Selain teori nilai diatas ada teori lain mengenai nilai yaitu, teori pragmatis. Pragmatisme mendasarkan diri atas akibat-akibat, dan juga hasil-hasil.menurut Jhon Dewey, nilai bukanlah sesuatu yang dicari untuk ditemukan, nilai bukanlah suatu kata benda atau bahkan juga bukan kata sifat. Masalah nilai sesungguhnya berpusat disekitar memberi nilai. Bagi Dewey antara sarana dan tujuan tak terpisahkan karena keduanya merupakan perangkat nilai yang evektif. Pemberian nilai, seperti halnya semua proses akali bermula hanya apabila orang menghadapi sesuatu masalah, artinya bermula pada sesuatu keadaan yang didalamnya terdapat ketegangan dan tiadanya ketertiban.maka penilaian yang dilakukannya bersifat dinamisserta relaitf terhadap situasi yang kongkret, penilaian tersebut dapat berubah sejalan dengan perubahan kondisi. Menurut Dewey, setiap situasi menciptakan nilai-nilai, nilai setiap menciptakan nilai-nilai setip nilai tidak ada yang abadi yang ada hanyalah nilai-nilai yang berubah-ubah.
Nilai Sebagai Esensi.
Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenytaan namun tidaklah ber eksistensi. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi yang terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada salam kenyataan. Nilai-nilai dapat dikatakan mendasari barang sesuatu dan bersifat tetap. Contoh, nilai perdamaian, didalamnya itu sendiri terdapat nilai yang mendasarinya. Nilia-nilai dipahami secara langsung melalui “indera nilai”. Pengetahuan mengenai nilai bersifat apriori dalam arti tidak tergantung pada pengalaman dalam arti kata yang biasa, nilai diketahui secara langsung baik orang dapat atau tidak menangkapnya.
Jawaban-jawaban Etika.
Etika sebagai ilmu pengetahuan dapa berarti penyelidikan mengenai tanggapan-tanggapan kesusilaan, sedangakan etika sebagai ajaran bersangkutan dengan membuat tanggapan-tanggapan kesusilaan. Paling tidak ada empat bentuk etika yaitu etika deskriptif, etika normatif, etika pragtis dan etika kefilsafatan. Etika deskriptif sekedar melukiskan predikat-predikat seta tangapan-tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan digunakan. Etika normatif bersangkutan dengan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas. Etika kefilsafatan mempertanyakan makna yang dikandung oleh intilah-istilah kesusilaan, yang dipakai untuk membuat tanggapan-tanggapan kesusialaan. Sedangakan etika pragtis merupakan jawaban-jawaban pragtis, dinamis, dari perbuatan.
Contoh dari tanggapan etika adalah etika teleologis, hedonis, etika kelas sosial, etika teologis dan etika relativistis. Suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan terakhir dinamakan ajaran teleologis. Suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan hedonistik. Hedonisme merupakan suatu teori yang mengtakan bahwa kenikmatan atau akibat akibat yang nikmat dalamdirinya sudah mengandung kebaikan. Etika kelas sosial sebagaimana menurut Karl Marx adalah etika yang didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan masyarakat, ukuran-ukuran kesusilaan timbul dari kebutuhan sosial. Etika teologis mendasarkan prinsip-prinsip kesusilaan pada ajaran ketuhanan, ukuran-ukuran kebaikan tertinggi adalah wahyu atau petunjuk dari tuhan lewat ajaran-ajaran agama. Etika relativistis memberi kesangsian kepada nilai-nilai etika yang terkandung dalam ajaran etika terdahulu karena menurut etika ini terdapat kenisbian kesusilaan dan terdapat perbedaan –perbedaan yang sangat besar antara perangakat kesusilaan yang berlaku pada kelompok manusia yang satu dengan yang berlaku pada kelompok manusia lainnya.
Etika Meurut Islam.
Kebenaran suatu ilmu pengetahua,menurut islam adalah sebanding dengan kemanfaatan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berman faat adalah apabila: 1.) mendekatkan pada kebenarn Allah dan bukan menjauhkan. 2.) Dapat membantu umat merealisakan tujuan-tujuannya. 3.) dapat memberikan pedoman bagi sesama manusia. 4.) dapat menyalesaikan persoalan umat. Dalam islam suatu hal mengandung kebenaran apabial ia mengandung manfaat dalam arti luas, juga sejauh mana sesui dengan tuntutan kearifan dan keadilan, bukan hanya korespondensi antara kenyataan denga fakta sebagaimana konsepsi dari rasionalis-positivistik. Realitas dan kebenaran manusia harus mencakup wilayah rohaidan jasmani sekaligus. Tentang baik, buruk, indah dan jelek (termasuk ilmu), semua berpaling pada sumber-sumber moral dan pengkajian estetik. Menurut Soedjatmoko bahwa tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, cara-cara pengembangannya pengendalian lembali ilmu dan teknologi, yang baik dan yang batil dari ilmu dan teknologi, fundamendanpatoan tentangmakna dan moralitas itu berakar pada agama.
PENUTUP.
Ontologi merupakan cabang filsafat yang menggeluti tata dan sruktus realitas dalam arti seluas mungkin. Epistemologi merupakan bagian dari filsafat yang menelaah hakikat, jangkauan, pengandaian dan pertanggungjawaban pengetahuan. Sedangakan aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki hakikat nilai, etika dan estetika ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
DAFTAR PUSTAKA
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 2000.
Hadi, P. Hardono, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Kattsoff, Louis O., Pent. Soejono Soemarjono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996.
Pranarka, Epistemologi Dasar, yogyakarta: Kanisius, 2006.
Ravertz, Jerome R., FIlsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Russell, Bertrand, Pent.Sigit dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Sumantri, Jujun S. Surya, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Sumantri, Jujun S. Suria, Pent. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1995.
Tafsir, Ahmad, filsafat Ilmu, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Zubair, Achmad Charris, Dimensi Etik dan Esketik Manusia Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Lesfi., 2002.
Jerome R. Ravertz, FIlsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 hal. 85.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberti Yogyakarta, 2000 hal. 134-136.
Louis O. kattsoff, Pent. Soejono Soemarjono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996, hlm., 76.
P. Hardono Hadi, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm., 35.
Disariakan dari, Ahmad Tafsir, filsafat Ilmu, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006
Louis Kattoff, Op. Cit.
Bertrand Russell, Pent.Sigit dkk, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. hlm, 959.
8 Pranarka, Epistemologi Dasar, yogyakarta: Kanisius, 2006. hlm; 18-19
Ibid, hlm. 21-23
Jujun S. Suriasumantri, Pent. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: PT. Gramedia, 1995. hlm; 233
Louis Kattosoff, Op.Cit, hlm. 331
Ibid, hlm. 338
Ibid, hlm. 342.
Ibid, hlm 352-353.
Ibid, 373.
Jujun S. Surya Sumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapat, 2003, hlm. 92.
Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Esketik Manusia Kajian Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Lesfi., 2002. hlm. 142-143, 72-73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar