Powered By Blogger

Jumat, 25 November 2011

makalah masalah ketuhanan

eheeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm minta izin dulu donk baru kopas sepuasnya,

makalah wilayah kajian ilmu perbandingan agama

heemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm mau kopas lagi uchhhhhh

makalah ilmu perbandingan agama ' agama tradisional afrika'

ehemmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmmm kopas lagi ga malu tuh..... minta izin dulu dong ntar baru dikasih

makalah ilmu perbandingan agama ' agama dan perubahan masyarakat'

hayoooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo mau kopas ya minta izin dulu donk baru dikasih he.he.he.

makalah ilmu perbandigan agama ' moral dan etika'

waduh pusing ya kasiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan dech, minta izin dulu yach. ntar di kasih ko

makalah ilmu perbandingan agama' agama dan filsafat'

hayooo mau kopas ya minta izin dulu oke ntar dikasih ko.....

makalah ilmu perbandingan agama ' aliran-aliran kepercayaan di indonesia

hayooooo mau kopas ya kacian dech luch pucing ya tugasnya ga kelar waduh..... pucing minta izin dulu ya. ntar dikasih ko tenang aja.....

makalah ilmu perbandingan agama " ritual dalam agama"

ehem mau kopas (copy paste) minta izin dulu yah baru di kasih.......

Minggu, 16 Oktober 2011

perbandingan agama sebagai suatu disiplin ilmu

ILMU PERBANDINGAN AGAMA

A. Biografi Mukti Ali
Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu perbandingan agama di indonesia. Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun persoalan sosio kultural.
Riwayat Hidup Mukti Ali
Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif.
Di kota itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923. dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang dialaminya waktu ia masih kecil.
Boedjono memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun 1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya.
Ditengah tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide politik.
Karir politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study, McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai mentri agama.
Pergumulannya didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia adalah disen di Fakultas Ushuluddin, IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun 1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
B. Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali
Meskipun Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas, semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947.
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi.
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama.
C. Corak berpikir Mukti Ali
Di Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak wanita dan dialog antar umat beragama.
Hal terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith, yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama, dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia. Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia. Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu, Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air.
D. Karya-karya Mukti Ali
Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri.
Mukti Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
- Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
- “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
- “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
- “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung.

E. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Istilah Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam mengamati realitas agama.
kata “Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama, sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain.
Dalam tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan yang dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti. Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori evolusi Darwin Spencer.
Begitu pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh masyarakat modern.
Displin Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama, hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
- Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
- Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
- Ilmu Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
….. ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya, berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus difahami sebagai alat yang berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan, tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan metode yang imateril.
Adapun objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen). Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun, bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai. Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode “sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer, sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz. Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti. Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip keterpaduan metode”.
Dalam hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan. Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.

1. Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis) adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog: “agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis” disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif, melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan. Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis, sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif, menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2. Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method) merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan “rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya. Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan dalam aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan warnanya yang universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama dan keberagamaan (religiousity). Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari dan dilukiskan secara sistematis.

3. Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan.
Kedua, secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak jarang cukup patal.
Oleh sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi. Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia. Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness) perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan komplementer.
Maka kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama, maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”. Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama? Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar, seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen. Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth, yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan agama.
Maka metode religio-scientific merupakan pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog, dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya.
Maka sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen). Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.

perbandingan agama sebagai suatu disiplin ilmu

ILMU PERBANDINGAN AGAMA

A. Biografi Mukti Ali
Keberadaan sosok Mukti Ali dalam wilayah intelektual indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern Ilmu Perbandingan Agama. Oleh sebab itu Mukti Ali sosok yang merintis ilmu perbandingan agama di indonesia. Pembahasan yang ia lakukan merupakan paradigma antara penguasaan tradisi Religionswissenschaft IAHR (International Association for the history of Religion) sebuah asosiasi perkumpulan studi agama maupun persoalan sosio kultural.
Riwayat Hidup Mukti Ali
Diujung timur di daratan kapur utara yang tandus, adalah sebuah kota kecil yang bernama cepu. Kota yang ditengahnya terbentang sungai bengawan solo itu menjadi pembatas dari bagian tengah dari propinsi jawa tengah dan jawa timur. Selama masa pemerintahan kolonial setidaknya hingga awal abad ke-20, daerah cepu pernah terkenal dengan ladang minyaknya yang banyak dan produktif.
Di kota itulah Prof. Dr. A. Mukti Ali dilahirkan. Pada tanggal 23 Agustus 1923. dengan nama kecil Boedjono. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Idris atau H. Abu Ali-nama yang digunakan setelah menunaikan ibadah haji- adalah sebagai seorang pedagang tembakau yang sukses. Dia dikenal sebagai seorang orang tua yang shaleh dan dermawan. Khususnya untuk mendanai kegiatan-kegiatan keagamaan dikota cepu. Dengan demikian, Islam dalam pengertian santri diwarisi secara turun temurun oleh keluarga Mukti Ali.
Suasana desa yang penuh dengan keakraban dan kesederhanaan serta kelugasan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian Boedjono muda kelak dikemudian hari. Demikian juga suasana hidup berdagang yang mendidik orang mandiri dan tidak diatur oleh orang lain, juga sangat berpengaruh pada dirinya. Tak kurang pula suasana pengaruh kehidupan agamis yang dialaminya waktu ia masih kecil.
Boedjono memperlihatkan sikap yang sungguh-sungguh untuk belajar pada usia 7 atau 8 tahun, Boedjono didaftarkan pada sekolah milik belanda. Pada usia yang sama ia juga terdaftar pada madrasah Diniyah di Cepu, yang kegiatan belajarnya berlangsung pada siang hari. Di dua sekolah ini Boedjono terkenal sebagai anak yang berprestasi dan bersahaja. Menurut teman-temannya selain ia seorang anak yang pintar dia juga dikenal sebagai seorang anak orang kaya yang bersikap biasa saja. Pada tahun 1940, Boedjono dikirim oleh ayahnya belajar di pondok pesantren Termas Kediri, sekitar 170 km dari rumahnya.
Ditengah tengah pergumulannya dengan pengalaman keagamaannya, selama di Termas Mukti Ali juga dikenal sebagai seorang pemuda yang cakap dalam hal mengorganisasikan kegiatan politik. Ia menjadikan isu-isu politik yang sedang hangat waktu itu sebagai pemicu untuk kegiatan politiknya di pesantren. Di termas Mukti Ali juga mendirikan semacam kelompok kecil yang terdiri dari teman-temannya dimana ia bisa menyampaikan ide-ide politik.
Karir politiknya justru bukan diawali dari dunia politik tapi diawali dari dunia akademik. Sekembalinya dari belajar di Institute of islamic study, McGiil University Montreal Canada, pada 1957, Mukti Ali dipercaya untuk mengajar di Akademik Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, dan di PTAIN Jogjakarta, yang keduanya kemudian menjadi IAIN. Ini berkat pertemuannya dengan K.H. Fakih Usman, yang baru saja mengakhiri jabatan sebagai mentri agama.
Pergumulannya didunia akademik juga menempatkan Mukti Ali pada posisi lain dilingkungan pendidikan tinggi. Sebelum menduduki kursi mentri Agama, ia adalah disen di Fakultas Ushuluddin, IAIN Kalijaga. Di lembaga tersebut ia pernah menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III bidang urusan publik tahun 1964, dari situ ia dipercaya sebagai pembantu rektor I bidang Akademik, 1986. pada tahun 1971, ia dikukuhkan sebagai Rektor Guru besar Ilmu Agama di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
B. Latar Belakang Pendidikan Mukti Ali
Meskipun Mukti Ali sudah menjadi tokoh politik ditingkat daerah, ia tetap menaruh perhatian besar terhadap dunia akademik. Masa ngajinya semasa kecil, belajar disekolah belanda, dan pergulatan pemikirannya di Termas, semuanya mendorong keputusannya untuk mendaptarkan diri menjadi mahasiswa di sekolah tinggi Islam di Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi Universitas islam indonesia pada tahun 1947.
Dengan kemampuannya berbahasa arab, Belanda, dan Inggris Mukti Ali diterima Di program Sarjana Muda Di Fakultas Sastra Arab, Universitas Karachi. Ia mengambil sejarah Islam sebagai bidangan spesialisasi.
Setelah lima tahun, Mukti Ali menamatkan program tingkat sarjana Muda dilanjutkan Program Ph.D, di Universitas Karachi. Setelah itu ia meneruskan studinya di Institute of Islamic Study, McGill University Montreal Canada. Ia tiba di Montreal pada tahun 1955, dan Mulai belajar di Universitas itu dengan mengambil spesialisasi pada Ilmu Perbandingan Agama.
C. Corak berpikir Mukti Ali
Di Universitas McGill inilah, pemahaman Mukti Ali tentang Islam berubah secara Funfamental. Ini terutama dihasilkan dari perkenalannya dengan metode studi agama-agama, dan pertemuannya yang sangat dekat dengan profesor-profesor kajian Islam di Universitas itu, khususnya Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli islam berkebangsaan Amerika dengan pemahaman yang sangat simpatik atas islam yang selama ini diabaikan oleh metode belajar pesantren yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersifat simpatik, terhadap wacana kemoderenan dan dibuat terpikat oleh kajian islam di Universitas McGill yang diajarkan dengan pendekatan yang sistematis rasional dan holistik, baik dari segi ajaran sejarah maupun peradabannya. di McGill juga Mukti Ali mendapatkan bahwa belajar islam ataupu agama apapun, mestinya diarahkan pada usaha bagaimana sebuah tradisi keagamaan itu bisa menjawab masalah masyarakat Modern. Atas dasar ini Mukti Ali beranggapan perlu memperkenalkan metode Empiris atas islam sebagai jalan untuk menafsirkan ulang khazanah islam dalam konteks moderenitas. Pendekatan seperti itu yang akan membawa islam dan umatnya bisa menerima bahkan bersipat simpatik terhadap wacana kemodernan. Misalnya kebebasan intelektual, konsep kenegaraan, hak-hak wanita dan dialog antar umat beragama.
Hal terpenting yang harus dicatat dalam perkembangan intelektual dan kesadaran keagamaan Mukti Ali ketika ia tinggal , belajar dan bersosialisasi di McGill. Adalah Profesor yang membimbingnya W.C Smith, yang telah mengantarkan perhatiannya yang sangat besar terhadap problem dialog antar umat beragama. Atas kenyataan itulah , Mukti ali dikemudian hari dianggap sebagai sarjana Muslim yang selama hidupnya tidak lelah memperkenalkan kepada masyarakat luas, terutama mahasiswa, perlunya ilmu perbandingan agama. Dan lebih dari itu, sewaktu menjadi mentri agama, dengan begitu kesempitan itu dalam kebijakan publik, Mukti ali menjadikan dialog antar Umat beragama sebagai kebijakan di departemen agama.
Mukti Ali Menamatkan Program studinya di Institute of islamic study McGill University, pada tahun 1957. ia memperoleh gelar Master of Art dengan tesis yang berjudul Bibliografhical Study Of Muhamadiyah Movement in Indonesia. Pada pertengahan tahun 1957 Mukti Ali kembali ke Indonesia. Seminggu setiba di tanah airdan bertemu dengan keluarga di Cepu, Bapaknya Abu Ali, meninggal dunia. Kematian yang begitu cepat ini kiranya adalah sebuah isyarat kepergian yang menunggu kedatangan putranya, Mukti Ali yang tujuh tahun meninggalkan tanah air.
D. Karya-karya Mukti Ali
Disamping menjadi guru besar Ilmu Perbandingan Agama di IAIN sunan Kalijaga, Jogjakarta. Mukti Ali memiliki Banyak pengalaman Bidang-Bidang keagamaan didalam maupun diluar negeri.
Mukti Ali dikenal sebagai Cendikiawan Muslim terkemuka dengan karya tulis yang cukup banyak, sebanyak 32 judul buku. Diantaranya yang populer adalah Pengantar Ilmu Perbandingan Agama(1959 dan 1987), Pemikiran Keagamaan didunia Islam (1990), Masalah-masalah keagamaan dewasa ini (1997), mengenai Muslim Bilali dan Muhajir di Amerika (1993) dan Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979) sembilan Jilid yang ditulis selama periode kementriannya.
selain tulisan buku-buku, ada juga beberapa tulisan dalam bentuk karangan, diantaranya adalah:
- Muhammad Iqbal tentang jatuhnya manusia dari surga dalam persembahan kepada Prof. Dr. P.J Zoetmulder.
- “Kebudayaan dalam pendidikan Nasional” dalam Muhajir, evolusi strategi kebudayaan.
- “Hubungan antar Agama dan masalah-masalahnya” dalam konteks Teologi di Indonesia, buku penghormatan untuk HUT ke Prof. Dr. P.D Lautihamolo.
- “Ilmu Perbandingan Agama dan kerukunan Hidup Antar Umat bragama “ dalam samuel Pardede 70th DR. TB.Simatupang, saya adalah orang yang beruntung.

E. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Istilah Ilmu Perbandingan Agama adalah Istilah ilmu yang dipakai oleh Mukti Ali dalam berbagai karyanya. Bahkan diteliti lebih dalam lagi, konsep Perbandingan Agama ini telah dijadikan landasan berpikir Mukti Ali dalam mengamati realitas agama.
kata “Perbandingan” dalam ilmu perbandingan Agama sering menimbulkan salah faham. Maksud kata itu bukan berarti membanding-bandingkan agama, sebagaimana yang banyak dibayangkan orang, melainkan mempunyai pengertian bahwa yang dipelajari adalah berbagai agama atau banyak agama. Maka ahli-ahli pikir telah terpaksa menilai agama mereka masing-masing dalam hubungannya dengan agama lain.
Dalam tataran sosial, kata Perbandingan jika disimak, mengandung unsur kepekaan yang tinggi yang tidak jarang mengandung kecurigaan bahkan permusuhan membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dapat diatikan untuk menempatkan suatu pihak lebih unggul dari pihak lain.oleh karena itu perbandingan atau comparative sering berujung dengan kompetisi. Hal ini mengakibatkan banyak orang enggan untuk membandingkan hal-hal yang bersifat berharga yang dimilikinya, mereka khawatir yang dimilikinya itu dinilai lebih buruk dari milik orang lain. Untuk itu janganlah heran jika mendengar ungkapan “righ is Wrong is my Country”
Bagaimanakah dengan perbandingan agama ? jika perbandingan yang dimaksud adalah untuk menempatkan suatu agama lebih superior dari agama yang lain, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi kericuhan dan bahkan permusuhan. Maksud perbandingan agama disini bukalah sebuah apologi, sepserti diungkapkan diatas. Tetapi sebuah bidang ilmu yang mencoba mempelajari unsur-unsur fundamental yang menjadi landasan setiap agama, dengan maksud untuk melihat persamaan dan perbedaan unsur-unsur itu, sehingga seseorang bisa memiliki pandangan yang labih sempurna tentang apa arti pengalaman keagamaan, apa bentuk yang mungkin ada, dan apa yang mungkin dilakukan oleh manusia. Atas dasar itu Mukti Ali berkata : “Dewasa ini kita melihat kebelakang, tidak anpak nosrtalgia tertentu, pada saat dilahirkannya definisi yang begitu pasti. Dewasa ini tidak ada ilmu yang seperti itu. Bukan sama sekali karena kita meninggalkan cara membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia. Tetapi kita melakukan itu semua dengan hati-hati, dan kita sama sekali telah berhenti untuk melibatkan diri dengan superioritas atau inferioritas dari agama-agama atas ukuran teori evolusi Darwin Spencer.
Begitu pula kata “agama” dalam ilmu perbandingan agama mengandung pengertian yang universal. Artinya agama-agama tersebut tidak ditujukan kepada salah satu agama yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang, seperti islam dan kristen saja, melainkan semua agama yang ada selama ini, baik lokal, nasional ataupun multi nasional, yang masih ada dan berkembang maupun yang pernah ada, atau yang masih ada. Tetapi tidak berkembang yang dianut oleh manusia primitif maupun yang dianut oleh masyarakat modern.
Displin Ilmu Perbandigan Agama bukanlah bertugas untuk mempelajari agama dari sudut teologis atau dari sudut kepercayaan atau keyakinan, dan bukan pula bertujuan untuk mengadakan penilaian (judgement): bahwa suatu agama lebih sah dari agama yang lainnya. Ilmu Perbandingan Agama itu adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari dan mengkaji agama dari sudut atau pendekatan ilmu pengetahuan (saintifik). Oleh karena itu, sebagaimana cabang ilmu penegtahuan lainnya, Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu pengetahuan yang sudah tersusun serta sistematik menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan (logico hypotetico verivicative).
Perbandingan Agama yang dimaksud disini yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang beusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan dalam hubungannya dengan agama lain. Pemahaman ini meliputi persamaan, juga perbedaan. Dari pemahaman yang sedemikian itu struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan orang itu akan dipelajari dan dinilai.
Ilmu Perbandingan Agama akan menguraikan tentang berbagai cara yang dipergunakan orang untuk mencukupi keperluannya akan agama itu dan pelbagai cara yang digunakan untuk menunaikan keharusan-keharusan sesuai dengan kodratnya manusia. Perbandingan agama itu sendiri tidak akan menilai akan cara-cara yang dipergunakan itu betul atau salah. Persoalan betul atau salah itu masuk dalam bidang filsafat agama, hanya saja karena teologi itu sendiri yang menentukan syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan sesuatu kepercayaan, maka persoalan betul atau salah itu tidaklah tidak sama sekali disingkirkan oleh perbandingan agama, hanya saja dipertimbangkan dalam tempat yang semestinya.
Menurut Muki Ali, Ilmu Perbandingan Agama ialah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki serta memahami aspek atau sikap keagamaan dari suatu kepercayaan, dalam hubungannya dengan agama-agama lain meliputi persamaan dan perbedaaannya.
Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:
- Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu yang berusaha mempelajari dan memberi nilai-nilai keagamaan dari suatu agama kemudian dibandingkan satu agama dengan agama lain, untuk menentukan struktur yang pokok dari pengalaman-pengalaman dan konsepsi yang dimilikinya.
- Ilmu Perbandingan Agama adalah ilmu untuk mengetahui bermacam-macam agama di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang.
- Ilmu Perbandingan adalah suatu ilmu yang menyelidiki agama-agama dengan menggunakan cara historis dari komparatif dalam penyelidikannya, dan juga menggunakan cara-cara ilmiah lainnya, terutama didalam memahami gejala-gejala keagamaan.
Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1905, rupa=-rupanya waktu telah tiba untuk menulis buku penting pertama tentang sejarah Ilmu Perbandingan Agama, Louis H. Jordan yang menganggap perlu untuk memberikan arti penting Perbandingan Agama sebagai:
….. ilmu yang membandingkan asal-usul, struktur dan ciri-ciri dari pelbagai agama dunia, dengan maksud untuk menentukan persamaan-persamaan dan perbedaannya yang sebenarnya, sejauhmana hubungan antara satu agama dengan agama yang lain, dan superioritas dan inferioritas yang relatif apabila deianggap sebagai tipe-tipe….
Selanjutnya, berbicara tentang makna perbandingan agama, mau tidak mau harus melibatkan diri dalam pembahasan tentang pluralitas agama. Perspektif perbandingan agama yang identik dengan pluralitas agama, membawa pemahaman bahwa wahyu dalam agama-agama sebagai fakta kebearan harus difahami sebagai alat yang berupa simbol-simbol verbal (dimensi eksoteris) untuk menuju pada kebenaran mutlak. Simbol-simbol ini benar adanya bahkan diperlukan, tetapi kaum perenis menilai bahwa kata-kata simbol verbal ini bukanlah fakta primordial atau tujuan yang difahami manusia. Disinilah letak kesalahan kaum beragama modern yang kadang terlalu menganggap wahyu dalam bentuk verbal (eksoteris) sebagai kebenaran tertinggi yang tentunya akan membawa mereka ke dalam sikap ekslusif, dan lebih parah lagi pada pengingkaran atas bentuk wahyu yang berbeda dari mereka.
F. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama, sebagian besar bergantung kepada pandangan seseorang terhadap agama-agama, bahkan tentang agamanya sendiri. Perlu dijelaskan tentang objek penelitiannya. Yang dimaksud objek dalam studi ini tiada lain adalah “realitas-realitas”. Realitas ini ada yang materil dan imateril (seperti malaikat fenomena eskatologis dan lain-lain) adalah objek mandiri. Yang tidak mandiri adalah objek yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Namun, kedua-duanya bersifat rohani (objek mandiri dan objek tidak mandiri). Kalau realitasnya materil, maka diperlukan pendekatan dan metode yang materil, begitu juga sebaliknya, jika realitasnya imateril maka diperlukan pendekatan dan metode yang imateril.
Adapun objek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita adalah asumsi bahwa pengalaman yang subjektif diobjektifkan dalam berbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai struktus positif yang dapat dipelajari. Namun, objek materil penelitian agama seringkali sama dengan ilmu sosial, yakni hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Dalam membicarakan metode Ilmu Perbandingan Agama ini, Ali menyebutkan adanya dua aliran yang saling bertentangan. Pertama, bahwa metode yang harus digunakan dalam mempelajari agama adalah “sui generis” dengan kata lain suatu metode yang hanya dikaji oleh orang-orang artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan metode metode ini sama sekali tidak dapat dibandingkan atau dikaitkan dengan metode-metode yang terdapat dalam berbagai bidang pengetahaun lainnya. Kedua, aliran ini menyatakan bahwa apapun masalah yang yang diteliti, metode yang sah untuk dipergunakan adalah metode “ilmiah”. Istilah “ilmiah” disini dipergunakan dalam arti ganda; dalam arti sempit istilah tersebut menunjukkan metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Dan dalam pengertian luas menuju pada suatu prosedur yang dikerjakan dengan disiplin yang logis dan utuh dari premis-premis yang telah ditentukan sebelumnya dengan jelas.
Maka metodologi dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang ditempuh dari memecahkan suatu masalah (mulai dari menemukan fakta sampai penyimpulan). Sejalan dengan pengertian diatas tampaknya metodologi adalah ilmu pengetahuan ang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil efektif dan efisien. Dengan demikian, metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan metode keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan berdasarkan semestinya secara normatif (das soilen). Karena metode keilmuan tidak mempunyai kapasitas untuk mengungkap wilayah normatif, normativitas hanya bisa diungkap oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan.
Namun, bagi Wach kedua pendektan tersebut kurang tepat dan tidak memadai. Karena dalam ilmu pengetahuan agama modern sudah mulai digunakan metode “sintesis”. Metode ini berasumsi bahwa kebenaran adalah tunggal, alam juga tunggal sehigga pengetahuan harus tunggal. Dengan kata lain, dalam metode harus ada dua syarat: Pertama, metode tersebut harus populer, sebagaimana yang dikehendaki oleh Aristoteles, Aquinas dan Leibniz. Kedua, metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang diteliti. Syarat ini memberi sifat kepada prinsip pertama, yakni “prinsip keterpaduan metode”.
Dalam hal ini kombinasi dari kedua metode tersebut merupakan suatu keharusan. Mengingat semua idealisme dan semua naturalisme termasuk materialisme bangun dan jatuh bersama-sama dengan monisme metodologis. Berpegang pada pendirian tentang keharusan adanya metode sintesis, maka Mukti Ali mengungkapkan bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, seperti pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, antropologis fenomenologis dan lain-lain harus disertai dengan pendekatan khas agama yaitu “dogmatis”. Dengan ini maka pendekatan “religio scientific” atau “ilmiah agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama.

1. Metode Sui Generis
Seperti disebutkan diatas bahwa metode ini (sui generis) adalah suatu metode yang hanya bisa dikaji oleh orang-orang yang beragama artinya agama hanya bisa dijelaskan oleh agama itu sendiri pada aspek kepenganutan. Dengan kata lain, dalam diskursus keagamaan sesungguhnya manusia selalu berada pada dimensi historis dan tidak pernah sampai pada dimensi normatif agama. Dimensi normatif agama seperti dijelaskan Ali bersifat sui generis artinya agama menyangkut persoalan-persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo, pedoman hidup, ultimate concern dan begitu seterusnya. Atau seperti yang sering dikatakan oleh para teolog: “agama dalam arti yang sebenar-benarnya bukanlah untuk diperdebatkan atau diilmiahkan, melainkan untuk diamalkan dan dihayati. Disinilah personal agama sebagai suatu yang “diyakini” dan “dihayati”.
Pada permulaan abad ke-19 Scheleirmacher membuat eksposisi sistematis pertama mengenai pandangan tersebut. Yakni menitikberatkan pada kualitas sui generis agama yang ketika itu berkembang di Jerman yang senada dengan tradisi non-rasionalis (disini tradisi “non-rasionalis” disebutkan bukan karena pemikirannya tidak rasional, melainkan karena ia mengangggap aspek non-rasional dari eksistensi manusia menempati posisi sentral dan tidak dapat direduksi). Disini bahwa agama harus difahami bukan sebagai filsafat yang belum matang ataupun sebagai etika primitif, melainkan sebagai sebuah realitas dari sudut kebenaran sendiri, agama tidak berdasarkan pada pengerahuan maupun tindakan, tetapi pada perasaan. Lebih khusus lagi ia berpandangan ada dasarnya agama berasal dari perasaan tentang ketergantungan mutlak. Baik Herder maupun Scheleimecher, sambil menolak bila mereka menganut pemahaman rasionalis terhadap agama. Menentang pencarian dasar-dasar kemasukakalan yang terbukti dengan sendirinya (self aviden reasonableness) bagi sebuah agama yang natural universal.
Pada titik ini semestinya para pemikir dan cendikiawan agama mencoba melakukan reorintasi, reformasi, rekonstruksi dan semacamnya terhadap misi prepetis agama guna menempatkan signifikasi agama dalam dialektika peradaban umat manusia. Karena itu harus difahami bahwa inti dari pandangan sui generis itu adalah keinsafan terhadap sesuatu yang supernatural, sesuatu yang gaib. Untuk menunjukkan yang gaib, Otto memperkenalkan satu istilah baru nominos, kata sifat yang diangkat dari kata Yunani, numen yang berarti hegaiban (yang maha suci) yang tidak dapat ditentukan. Memang kegaiban tidak dapat dipastikan secara rasional. Tidak mungkin menjelaskan kepada seseorang tentang kegaiban itu, kalau mereka itu tidak tahu. Analisis tentang numenus, hanyalah suatu keterangan tentang suatu pengalaman yang menimbulkan perasaan-perasaan yang dari suatu pihak yang lain mempesonakan. Inilah satu kesadaran yang sama sekali tidak bersifat duniawi, bukan inderawi, bukan dari pengalaman panca indera, melainkan dari dasar batin manusia, sumber sejati dari segala pengalaman beragama. Menurut Otto, sumber perasaan itu harus dibedakan dengan segala kemampuan jiwa yang lain, dibedakan dari kemampuan untuk berpikir, dari kemampuan untuk berbuat baik.
Pendek kata, kemampuan mengalami yang gaib adalah satu ketegori sui generis, sati kategori yang datang dengan sendirinya, muncul dari dasar batin manusia dan tidak mungkin dijelaskan dari satu direduksi pada lain sebab atau alasan, tidak pada salah faham, tidak pada kebutuhan akan penjelasan rasional, titik pada perasaan sentimen, atau kebutuhan emosional. Kemampuan beragama, kemampuan mengalami yang adikodrati adalah kemampuan alamiah yang berakar dari dalam atau lubuk hari. Karena bagi Berger, agama merupakan langit-langit sacral yang terbentang diatas kerapuhan dan vurneralibilhas eksistensi manusia yang berpuncak pada kematian. Berger melihat kecemasan manusia dalam menghadapi maut yang merupakan eksistensi dari manusia. Kekuatan yang dapat meredakan kecemasan ini adalah agama. Manusia adalah makhluk yang terus menerus membangun dunianya lewat eksternalisasi, yaitu pencurahan diri manusia dalam dunia dengan bentuk masyarakat. Apa yang dihasilkan manusia dengan interaksinya itu memperoleh bentuknya yang objektif, menjadi realitas sui generis. Dunia objektif yang ingin dicipta manusia adalah asumsi dari pengalaman manusia yang subjektif diobjektifkan sehingga dunia objektif menjadi dunia subjektif.
2. Metode Saintifis
Metode ilmiah (scientific method) merupakan suatu cara berpikir dalam mencari pengetahuan. Berpikir disini merupakan kapasitas berimprovisasi atau kemampuan merefleksi aneka kata yang membangun atau beberapa gejala. Proses berpikir menurut John Deway diawali dengan rasa sulit, memberi definisi apa yang dipikirkan membangun reka pemecahan, mencari bukti dan menarik kesimpulan; demikian juga kerja penelitian. Metode keilmuan sebagai suatu perkawinan antara rasionalisme dan empirisme pada hakikatnya merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis dan mengikuti asas pengaturan prosedural-teknik-normatif (sehingga memenuhi validitas ilmiah) atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Begitu ketika metode ilmiah mendekati agama ia hendak mencari informasi tentang agama dari aspek yang muncul dari kenyataan. Agama ternyata juga terkait erat dengan persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Pada dimensi ini agama merupakan bagian tak terpisahkan dari entitas peradaban dalam setting perjalanan sejarah. Agama merupakan “rasionalitas” kebudayaan yang selalu merencanakan masa depan peradaban manusia yang lebih baik melalui kerangka dialektika sisi teologis ke dalam kehidupan sosio-kultural.
Pengkajian ini idak lepas dan tidak akan luput untuk menggunakan atau mengadaptasi dari ilmu-ilmu social dan budaya. Yang dengan persepsinya masing-masing atau metode, teknik dan peralatannya dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia, sehingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu. Pendekatan sejarah mengamati proses terjadinya perilaku ini, pendekatan sosiologi mengamati dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia dan begitu pula pendekatan fenomenologi dan psikologi. Pendekatan metode ilmiah ini boleh dikatakan merupakan suatu pengajaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dan kritis. Karena sasaran ideal dari metode ini adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, hal ini bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta itu dengan menggunakan kesangsian-kesangsian sistematis.
Harus disadari bahwa masalah keagamaan, adalah masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman, sama kehidupan lainnya. Prilaku hidup beragama yang amat luas tersebut dimuka bumi ini, menjadi bagian dari hidup kebudayaan yang dapat dikembangkan dalam aneka cara yang khas antara suatu lingkup sosio-budaya berbeda dengan lingkup sosisal buada yang lainnya. Dengan adanya berbagai agama yang berbeda-beda dalam kepercayaan “belief” (iman) dan ritus-ritus yang dikembangkan masing-masing untuk menunjukan perbedaan antara satu sama lainnya, maka pada sisi ini agama-agama kelihatan mencoba mengembangkan diri. Ia memperlihtkan warnanya yang universal, terlepas dari konteks kebudayaan. Pada titik ini harus dibedakan antara ajaran agama dan keberagamaan (religiousity). Keberagamaan dalam arti melakukan kegiatan tertentu pada kehidupan yang berpangkal dari kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Kuasa, pangkal sesuatu dan sebagainya adalah perilaku manusia dapat diamati, dipelajari dan dilukiskan secara sistematis.

3. Metode Sintesis
Menurut Waardenburgh kesulitan menjadikan agama sebagai bahan kajian, paling tidak berawal dari dua hal. Pertama, mengkaji berarti melakukan objektivasi, atau penjarakan terhadap objek kajiannya. Dalam kajiannya terhadap agama, objektifitas bukan hanya kepada pihak lain tetapi juga kepada diri sendiri. Setiap manusia akan memiliki keterlibatan (involdment) dengan aspek keagamaanm dalam garis kontinum dari positif hingga negatif, dengan mengambil komitmen terhadap agama tertentu sambil menolaknya sama sekali. Untuk benar-benar mampu melakukan objektifitas terhadap kesadaran diri sendiri, tentu tidak hanya memerlukan keseriusan usaha, melainkan juga latihan dan ketekunan.
Kedua, secara tradisonal agama difahami sebagai sesuatu yang suci, sacral dan agung. Menempakan hal-hal yang memiliki nilai semacam itu sebagai objek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan atau bahkan merusak nilai tradisional agama. Keterlibatan para pengikut agama secara bertingkat memunculkan rasa pengabdian dan kesediaan untuk berkorban bagi keyakinannya. Setiap usaha menjadikan agama sebagai objek kajian selalu memiliki resiko berhadapan dengan reaksi para pengikutnya yang tidak jarang cukup patal.
Oleh sebab itu Waardeburgh, sejak awal sudah memprediksi secara eksplisit bahwa persoalan krusial dalam ilmu perbandingan agama adalah metodologi. Ia merupakan oscillation point yang akan menentukan bentuk dan bangunan ilmu perbandingan agama, dalam hubungan dengan realitas objek yang akan dikaji serta prosedur dan cara pengkajian yang akan dipergunakan.
Berbicara mengenai realitas objek, harus dicermati bahwa penampangan realitas agama ternyata seluas kehidupan itu sendiri yang dipastikan mustahil untuk dapat diamati hanya dengan sebuah pendekatan-sehebat apapun ia. Oleh sebab itu, kesadaran metodologis (methodological awareness) perlu dikedepankan, karena hal ini akan menyadari bahwa realitas agama tidak mungkin dapat didekati secara utuh sesuai kapasitasnya, dan tidak ada salah satu pendekatan dalam ilmu perbandingan agama tidak lagi dianggap sebagai kompetitif, apalagi kontradiktif, melainkan komplementer.
Maka kalau ditinjau secara historis, perkembangan metode pendekatan setelah Max Muller dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pendekatan sosiologis, etnologis (berkembang menjadi antropologis), psikologis dan historis. Setelah itu, muncul fenomenologis yang diikuti oleh pendekatan historis fenomenologis. Ilmuan-ilmuan sekarang ini semakin merasakan bahwa penelitian ilmiah mengenai suatu realitas social membutuhkan pendekatan interdisipliner atau lintas ilmu. Macam-macam perkembangan pendekatan terhadap masalah agama memperhatikan hal yang sama.
Untuk mendapatkan nilai yang sebesar-besarnya dalam Ilmu Perbandingan Agama, maka Ilmu Perbandingan Agama harus ditempatkan dalam hubungan yang semestinya dengan lain-lain ilmu pengetahuan dan agama.
Oleh sebabitu, Mukti Ali mengemukakan perlunya pendekatan “dogmatis”. Akhir-akhir ini pendekatan “dogmatis” dalam kalangan Kristen mendapat konotasi negatif, yaitu sikap yang kurang terbuka terhadap pengalaman baru dan terlalu berpegang pada rumus-rumus ajaran. Namun bukan itulah yang dimaksud oleh Mukti Ali. Yang dimaksud adalah “pendekatan sintesis”. Metode alternatif ini merupakan pendekatan yang ditawarkan sebagai jalan tengah dari perdebatan antara dua kubu yang mempertahankan pemakaian metode sui generis atau metode ilmiah. Metode ini merupakan penggabungan antara metode ilmiah dan teologis.
Metode sintesis berusaha untuk memakai “kaca mata” doktrin agama ketika ingin memahami fakta-fakta agama yang telah dikumpulkan. Artinya, bahasa agama harus dilibatkan dan dimasukkan ke dalam analisis data dalam penelitian studi perbandingan agama, dan barulah penelitian itu akan mampu mengungkapkan makna agama yang diinginkan dan hasil penelitian tersebut mempunyai nilai informasi keagamaan. Menurut Kitagawa metode sintesis pernah popular di kalangan para ahli ilmu agama, Kitagawa menyebutnya dengan metode ilmiah religius (religious-scientific) yang mencoba menawarkan jalan tengah bagi ilmu agama ilmiah. Keilmuan ini harus kompatibel (rukun) dengan ilmu-ilmu lain, sementara nilai-nilai relijiusnya yang khas juga tetap dapat dipertahankan.
Karena karakter utama dari metode ini adalah kehendak untuk menjadikan studi perbandingan agama sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, objektif ilmiah namun tetap memiliki nuansa relijius. Sebenarnya metode-pendekatan ini tidak orisinil, akan tetapi dari Joachim Wach yang kemudian ditransfer menjadi pendekatan ilmiah-agamis (ilmiah cum doktriner). Namun sebenarnya masalah ini belum selesai, karena masalahnya adalah bahwa orang mendekati agama adalah masalah kebenaran. Kebenaran yang bagaimanakah yang dicari studi perbandingan agama? Menurut Mukti Ali, kebenaran yang dicari studi perbandingan agama adalah bukan kebenaran objektif, juga bukan kebenaran subjektif.
Bagaimanakah kebenaran yang objektif itu? Kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dapat diterima oleh si peneliti. Hal ini tentu saja tidak benar, seorang muslim meneliti Kristen tidak bisa menerima kebenaran Kristen. Juga bukan kebenaran subjektif, merupakan kebenaran yang diteliti peneliti saja. Kebenaran yang dicarai studi perbandingan agama adalah phenomenological truth, yaitu kebenaran sebagaimana adanya yang ia miliki dan kita rela memiliki kebenaran itu. Inilah sebenarnya yang dicari studi perbandingan agama.
Maka metode religio-scientific merupakan pendekatan yang paling memadai, dengan demikian paling berhak menguasai dalam mengkaji agama. Pendekatan-pendekatan dari perspektif ilmu-ilmu social empiris “metode historis empiris”, perspektif filsafat yang normatif “metode normatif filosofis” dan teologi yang dogmatis “metode doktrinal teologis” merupakan metodologi keilmuan yang utuh.
Agama sebagai sasaran kajian penelitian sudah banyak dilakukan oleh para sarjana disiplin ilmu. Mereka melakukan penelitian terhadap berbagai aspek dari agama, baik aspek ide maupun aspek perwujudan dalam kenyataan. Dimulai dari keyakinan dan ajaran yang dimiliki oleh suatu agama hingga pengaruh agama pada kehidupan masyarakat pemeluk agama tersebut. Kalau yang dimaksud metode dalam ilmu perbandingan agama adalah cara untuk memperoleh dan mamahami kebenaran agama dari realitas empiris, atau lebih tepatnya “kebenaran ilmiah agamis”, maka pendekatan tiada lain adalah suatu sikap ilmiah (persepsi) dari seorang yang harus ditunjukkan untuk menemukan kebenaran ilmiah yang hendak diperoleh. Dengan demikian pendekatan sifatnya umum. Dalan suatu pendekatan tertentu dapat digunakan bermacam-macam metode, umpamanya seorang Sosiolog akan mengkaji agama pasti akan menerapkan pendekatan metode-metode sosiologis. Begitu pula Sejarawan, Antropolog, Fenomolog, dan lain-lain akan menerapkan pendekatan dan metode sesuai dengan latar belakang keahliannya.
Maka sasaran ideal dari beberapa pendekatan adalah memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta agama, dan bertujuan untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta tersebut dengan menggunakan kesangsian sistematis. Pendekatan keilmuan dalam meneliti agama mencoba mendeskripsikan dunia pemeluk agama secara apa adanya (das sein), bukan didasarkan semestinya secara normatif (das sollen). Dengan demikian, pendekatan keilmuan yang empiris ini menggunakan dan mengadaptasi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial dan budaya.

Rabu, 29 Juni 2011

maklalah kapita selekta pendidikan islam tentang kedudukan pendidikan islam dalam pendidikan nasional

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan antar berbagai jenjang dan jenisnya.

Pendidikan yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan yang memerlukan berbagai jenis keterampilan dan keahlian disegala bidang serta ditingkatkan mutunya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti di sekolah-sekolah kejuruan dan politeknik. Kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga produk dunia pendidikan siap pakai oleh dunia usaha karena memenuhi persyaratan keterampilann dan kecakapan yang sejalan dengan tuntutan pembangunan di berbagai bidang.

Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan pendidikan sebaga perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. Oleh karena itu pendidikan berlangsung harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pasal 4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Sistem Pendidikan Islam?
2. Bagaimana Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003?
3. Bagaimana Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional?

C. Tujuan Penyusunan Makalah

Makalah ini secara khusus akan menganalisa posisi pendidikan Islam baik secara kelembagaan maupun secara normatif menyangkut nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan Islam melalui analisa terhadap pendidikan keagamaan dan pendidikan agama dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Analisa terhadapnya akan dilakukan dengan pendekatan content analysis. Yang dengan cara membaca secara seksama naskah Undang-Undang tersebut plus Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, untuk melacak pernyataan-pernyataan yang menyiratkan atau menegaskan concern Undang-Undang ini terhadap pendidikan agama maupun pendidikan keagamaan. Hasil pelacakan tersebut kemudian dikritisi dengan teori dan pandangan para pakar tentang pendidikan Islam, dan dikonfirmasikan dengan fakta pelaksanaan pendidikan Islam dalam tataran empirik.


BAB II
PERMASALAHAN

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut.

Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir.

Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu 1) pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasiona, 2) pemerataan kesempatan pendidikan, 3) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan 4) efisiensi menajemen pendidikan. Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya –seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama. Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.

Hal penting yang dapat disimpulkan dari pelacakan jejak kontroversi seputar UU Sisdiknas di atas adalah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terutama Islam- telah menjadi konteks tersendiri yang memotivasi, mewarnai dan memperkaya UU Sisdiknas, sekaligus menjadikan Undang-Undang ini dianggap kontroversial. Dari konteks ini lah penulis melihat kajian terhadap posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2008 memiliki urgensi dan signifikansi yang besar.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah UU Sisdiknas Dan Pendidikan Agama
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.

Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.

B. Jejak Religiusitas UU Sisdiknas 2003
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

C. Kedudukan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab Vi Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah :
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pendidkan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3. Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
5. Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.

D. Analisa Penulis Makalah
Dari hasil pandangan Penulis dapat dikatakan bahwa : implikasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara konseptual memberikan landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan sistem pendidikan Islam dengan prinsip demokrasi, desentralisasi, pemerataan/keadilan, mutu dan relevansi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga terwujud akuntabilitas pendidikan yang mandiri menuju keunggulan. Implikasi tersebut mengindikasikan upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam baik kandungan, proses maupun manajemen. Karena itu, konsep yang ditawarkan dan sekaligus sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, adalah mereformulasikan konsep pendidikan Islam yang berwawasan semesta, dengan langkah-langkah membangun kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun sistem pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda, yakni peningkatan mutu akademik dan pengembangan usaha bisnis. Upaya ini dilakukan dalam kerangka mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan negara Indonesia


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
UU Sisdiknas 2003 adalah implementasi dari berbagai dorongan untuk mencapai tujuan Pendidkan Nasional yang menginginkan out put manusia Indonesia yang berakhlak mulia. NAmun, UU Sisdiknas in dinilai belum menyentuh aspek religi dari pendidikan Islam, juga belum mengatur tentang tata penyelenggaraan. Namun, UU Sisdiknas ini telah memberikan ruang dan penempatan atau kedudukan yang kjelas pada Sistem Pendidikan NAsional yaitu berpampingan antara Sistem Pendidikan NAsional dengan Pendidikan Agama yang juga diatur oleh Pemerintah. Namun, diperlukan formulasi khusus untuk pengembangan pendidikan Islam yaitu pengembangan Sistem Independent Pendidikan Islam yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah.

B. Saran
1. Pendidikan Islam harus diformulasikan melalui pembuatan sebuah system Independent Pendidikan Islam yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah.
2. Pendidikan Islam yang diselengarakan haruslah pendidikan Islami murni dengan mangacu pada sumber hakiki pendidkan Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist.


DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita selekta pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
______________. 2000. Kapita Selekta Pendidikan: Umum dan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/02/pendidikan-islam-dalam-sisdiknas-part.html
Hasbullan. 1999. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

makalah tentang keadilan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia.
A. Masalah

Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang diatas maka, kita dapat rumuskan masalah konsep keadilan :
1. Apakah keadilan itu ?
2. Bagaimana keadilan sosial di indonesia ?
3. Macam – macam keadilan itu apa saja ?
4. Apakah kejujuran itu ?
5. Apa yang menyebabkan kecurangan ?
6. Apakah pemulihan nama baik itu ?
7. Apa itu pembalasan ?

B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami makna adil dan keadilan sosial di Negara kita sebagai pengetahuan untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keadilan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil berarti tidak berat sebelah atau tidak memihak atau sewenang-wenang, sehingga keadilan mengandung pengertian sebagai suatu hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak atau sewenang-wenang.
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Jika kita mengakui hak hidup kita, maka sebaliknya kita wajib mempertahankan hak hidup denganbekerja keras tanpa merugikan orang lai. Halm ini disebabkan olerh karena orang lain pun mempunyai hak hidup seperti kita. Jika kita pun mengakui hak hidup orang lain, kita wajib memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mempertahankan hak hidupmereka sendiri.jadi, keadilan pada pokoknya terletak pada keseimbanganatau keharmonisan antara menuntut hak, dan menjalankan kewajiban.
Dalam bukunya M. Munandar sulaiman, menyatakan pengertian keadilan menurut beberapa teori antara lain :
Menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartiaka sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit.
Menurut Plato merupakan proyeksi pada diri manusia sehingga orang yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalika diri dan perasaanya dikendalikan oleh akal
Menurut Socrates merupakn proyeksi pada pemerintah karena pemerintah adalah pimpinan pokok yang menetukan dinamika masyarakat keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Mengapa diproyeksikan pada pemerintah, sebab pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika masyarakat.
Didalam Al-Qur’an sangat jelas sekali perintah untuk berbuat Adil.
Allah SWT. Berfirman :
•

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)

B. Keadilan Sosial

Berbicara tentang keadilan, anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” Dalam dokumen lahirnya Pancasila diusulkan oleh Bung Karno adanya prinsip kesejahteraan sebagai salah satu dasar negara. Selanjutnya prinsip itu dijelaskan sebagai prinsip ” tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”. Dari usul dan penjelasan itu nampak adanya pembauran pengertian kesejahteraan dan keadilan.
Bung Hatta dalam uraiannya mengenai sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menulis sebagai berikut ” keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur” , Selanjutnya diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang menyusun UUD 45 percaya bahwa cita-cita keadilan sosial dalam ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran yang merata. Langkah-langkah menuju kemakmuran yang merata diuraikan secara terperinci.
Panitia ad-hoc majelis permusyawaratan rakyat sementara 1966 memberikan perumusan sebagai berikut :
“Sila keadilan sosial mengandung prinsip bahwa setiap orang di Indonesia akan mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi dan kebudayaan”.
Dalam ketetapan MPR RI No.II/MPR/ 1978 tentang pedoman penghayatan dan pengalaman Pancasila (ekaprasetia pancakarsa) dicantumkan ketentuan sebagai berikut. “Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia”.
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan;
Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain;
Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang memerlukan;
Sikap suka bekerja keras;
Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Asas yang menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan dituangkan dalam bergai langkah dan kegiatan, antara lain melalui delapan jalur pemerataan yaitu :
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan, sandang dan perumahan,
Pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
Pemerataan pembagian pendapatan;
Pemerataan kesempatan kerja;
Pemerataan kesempatan berusaha;
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi mudadan kaum wanita;
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air;
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan;

Keadilan dan ketidak adilan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia karena dalam hidupnya manusia menghadapi keadilan / ketidak adilan setiap hari. Oleh sebab itu keadilan dan ketidak adilan, menimbulkan daya kreativitas manusia. Banyak hasil seni lahir dari imajinasi ketidakadilan, seperti drama, puisi, novel, musik dan lain-lain.
C. Macam – Macam Keadilan

1. Keadilan Legal atau keadilan Moral

Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan Sunoto menyebutnya keadilan legal. Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya. Ketidak adilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidak serasian. Misalnya seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, maka akan terjadi kekacauan.
2. Keadilan Distributif

Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama. Sebagai contoh : Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali menerima Rp.100.000,-maka Budi harus menerima Rp. 50.000,-. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil.
3. Keadilan Komulatif

Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat. Contoh :
Dr.Sukartono dipanggil seorang pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling mencintai. Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono. menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono.

D. Faktor-faktor lain yang melatarbelakangi suatu keadilan antara lain :

1. Kejujuran

Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan-perbuatan yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Seseorang yang tidak menepati niatnya berarti mendustai diri sendiri. Apabila niat telah terlahirdalam kata-kata, padahal tidak ditepati, maka kebohongan disaksikan orang lain. Sikap jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan, sedang keadilan menuntut kemulian abadi, jujur memberikan keberanian dan ketentraman hati, agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak suci. Teguhlah pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikan, serta jangan pula pendusta, walaupun dustamu dapat menguntungkan.
Barang siapa berkata jujur serta bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu berbuat benar.Orang bodoh yang jujur adalah lebih baik daripada oarang pandai yang lacung. Barang siapa tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak menepati janji dan kesanggupannya, maka termasuk golongan orang munafik sehingga tidak menerima bel;as kasihan Tuhan.
Pada hakekatnya jujur atau kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa. Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat diri kita sendiri berhadapan dengan hal baik buruk. Disitu manusia dihadapkan kepada pilihan antara halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam hal ini kita melihat sesuatu yang spesifik atau khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada soal tentang jujur dan tidak jujur, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil.
Kejujuran bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah dalam bukunya Budi nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan dalam meneropong kebenaran Moral maupun kebenaran Illahi. Nurani yang diperkembangkan dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan keyakinan. Jadi getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat ditingkatkan menjadi suatu keyakinan, dan atas diri keyakinan maka seseorang diketahui pribadinya. Orang yang memiliki ketulusan tinggi akan memiliki kepribadian yang burukdan rendah dan sering yakin pada dirinya . karena apa yang ada dalam nuraninya banyak dipengaruhi oleh pikirannya yang kadang-kadang justru bertentangan.
Bertolak ukur hati nurani seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu perasaan yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus menerus berpikir atau bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan
selalu mengalami konflik batin, ia akan terus mengalami ketegangan dan sifat kepribadiannya yang semestinya tunggal jadi terpecah. Keadaan demikian sangat mempengaruhi pada jasmanimaupun rokhaninya yang menimbulkan penyakit psikoneorosa. Perasaan etis atau susila ini antara lain wujudnya sebagai kesadaran akan kewajiban, rasa keadilan ataupun ketidak adilan. Nilai-nilai etis ini dikaitkan dengan hubunhan manusia dengan manusia lainnya.
Selain nilai etis yang ditujukan kepada sesama manusia, hati nurani berkaitan erat juga dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang memiliki budi nurani yang amat peka dalam hubungannya dengan Tuhan adalah manusia agama yang selalu ingat kepadaNya, sebagai sang Pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintahnya, berusaha untuk tidak melanggar larangan Nya, selalu mensyukuri apa yang diberikan Nya, selalu merasa dirinya berdosa bila tidak menurut apa yang digariskan Nya, akan selalu gelisah tidur bila belum menjalankan ibadah untuk Nya. Berbagai hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur, mungkin karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan, karena sosial ekonomi, terpaksa ingin populer, karena sopan santun dan untuk mendidik. Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
2. Kecurangan

Kecurangan atau curang identik dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur. Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.
Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat sekelilingnya hidup menderita.
Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan, ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya ada empat aspek yaitu:
aspek ekonomi,
aspek kebudayaan;
aspek peradaban;
aspek tenik.

Apabila ke empat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum, akan tetapi apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki,maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan. Tentang baik dan buruk Pujowiyatno dalam bukunya “filsafat sana-sini” menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya berbohong, menipu, merampas, memalsu dan lain-lain adalah sifat buruk. Lawan buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia. Pada diri manusia seakan –akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik merupakan tingkah laku, karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya, namun sukarlah untuk mengajukan ukuran penilaian mengenai hal yang penting ini. Dalam hidup kita mempunyai semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan lawannya pada
tingkah laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik, kalau tidak baik tentu buruk.
3. Pemulihan Nama Baik

Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika ia menjadi teladan bagi orang/tetangga adalah suatu kebanggaan batin yang tak ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara menghadapi orang, perbuatan – perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia yaitu ;
manusia menurut sifatnya adalah mahluk bermoral,
ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral tersebut.

Pada hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya, bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau tidak sesuai dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq bentuk jamak dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Untuk itu orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan ahlak yang baik.
Ada tiga macam godaan yaitu ;
1). derajad / pangkat,
2). harta;
3). wanita.
Bila orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus kejurang kenistaan karena untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah, membohongi, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
4. Pembalasan

Pengertian pembalasan adalah reaksi atas perbuatan orang lain yang dilakukan kepada kita yang kita ungkapkan baik secara positif maupun negatif. Pembalasan merupakan suatu reaksi atau perbuatan orang lain. Reaksi itu berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. Sebagai contoh ; A memberikan makanan kepada B, dilain kesempatan B memberikan minuman kepada A. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan serupa, dan ini merupakan pembalasan.
Dalam Al-Qur`an terdapat ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan bagi yang bertaqwa kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhanpun diberikan
pembalasan, dan pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang seimbang, karena Allah Maha Adil. Sebesar apapun perbuatan kita pasti akan ada balasannya. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS.Al-zalzalah: 7-8)
Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan , pergaulan yang bersabahat mendapat balasan yang bersahabat, sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula.
Pada dasarnya manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial. Dalam bergaul manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Jadi, Manusia dan keadilan pada intinya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak, dan kewajiban manusia itu sendiri. Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan kata lain. keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan bersama. Keadilan adalah kata kunci yang menentukan selamat tidaknya manusia di muka bumi. Tanpa keadilan manusia pasti hancur. Menegakkan keadilan adalah kewajiban setiap manusia.
B. Saran

Marilah kita selalu menjujung tinggi keadilan serta menegakkannya dalam kehidupan sehari-hari, karena itu tugas utama pokok manusia adalah menegakkan keadilan. Adil terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya.
Daftar Pustaka
Surin, Bachtiar, Terjemah dan Tafsir Al Qur’an, Huruf Arab dan Latin, Fa, Sumatra, 19787.