Powered By Blogger

Minggu, 02 Januari 2011

makalah menejemen sistem informasi

MANAJEMEN SISTEM INFORMASI PENDIDIKAN
Oleh : Wahyu Widyaningsih
ayukw2.multiply.com

Manajemen yang secara umum artinya pengendalian dan pemanfaatan semua faktor dansumber daya yang diperlukan untuk mencapai atau menyelesaikan suatu prapta (objective)atau tujuan-tujuan tertentu Atmosudirdjo (1986:158). Sedangkan menurut Siagian (1989:5)manajemen dapat didefinisikan sebagai kemampuan atau ketrampilan untuk memperolehsesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain. menurutTerry dalam Manullang (2005:1) manajemen adalah pencapaian tujuan yang ditetapkanterlebih dahulu dengan mempergunakan kegiatan orang lain. Jadi dapat disimpulkanmanajemen adalah suatu pengendalian dan pengawasan kegiatan / aktivitas orang ataukelompok orang dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Sistem adalah seperangkat komponen yang saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk mencapai beberapa tujuan. Sebuah sistem terdiri dari bagian–bagian saling berkaitan yang beroperasi bersama untuk mencapai beberapa sasaran, berarti sebuah sistem bukanlah seperangkat unsur yang tersusun secara tak teratur, tetapi terdiri dari unsur yang dapat dikenal sebagai bagian yang saling melengkapi karena mempunyai sasaran dan tujuan yang sama. Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam pengambilan keputusan saat ini atau saat mendatang.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan pendidikian pada dasarnya adalah proses komunikasi yang di dalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dan generasi ke generasi. Manajemen sistem informasi pendidikan adalah sistem yang didisain untuk kebutuhan manajemen dalam upaya mendukung fungsi-fungsi dan aktivitas manajemen pada suatu organisasi pendidikan.
Maksud dilaksanakannya manajemen sistem informasi pendidikan adalah sebagai pendukung kegiatan fungsi manajemen seperti planning, organizing, staffing,directing, evaluating, coordinating, dan budgeting dalam rangka menunjang tercapainya sasaran dan tujuan fungsi-fungsi operasional dalam organisasi pendidikan. Dalam kenyataannya, sistem informasi sering dikaitkan dengan teknologi, dengan komputer khususnya. Sesungguhnya yang dimaksud sistem informasi tidak harus melibatkan komputer, sistem informasi yang menggunakan komputer biasa disebut sistem informasi berbasis komputer (computer based information system atau CBIS), tetapi dalam prakteknya sistem informasi lebih sering dikait-kaitkan dengan komputer. Berikut beragam definisi sistem informasi :

1. Turban, McLean, dan Wetherbe (1999)
Sistem informasi adalah sebuah sistem informasi yang mempunyai fungsi mengumpulkan,
memproses, menyimpan, menganalisis, dan menyebarkan informasi untuk tujuan yang
spesifik.
2. Bodnar dan HopWood (1993)
Sistem informasi adalah kumpulan perangkat keras dan lunak yang dirancang untuk
mentransformasikan data ke dalam bentuk informasi yang berguna.
3. Alter (1992)
Sistem informasi adalah kombinasi antara prosedur kerja, informasi, orang, dan teknologi
informasi yang diorganisasikan untuk mencapai tujuan dalam sebuah perusahaan.
Pada dasarnya suatu sistem informasi dibangun dengan beberapa tahap pengembangan
serta melibatkan sumber daya dari beberapa disiplin ilmu yang berbeda, baik sisi manajemen, teknologi informasi, keuangan, dan lain sebagainya. Salah satu hasil produk pembangunan

sistem informasi adalah suatu perangkat lunak yang terpadu, ditambah dengan tata aturan
yang diterapkan untuk mengelola sistem sehingga tujuan dari suatu sistem dapat tercapai.
Pembangunan suatu sistem informasi baik dalam skala besar maupun kecil, tetap membutuhkan langkah-langkah tersusun dan terkoordinasi karena pembangunan sistem
informasi merupakan suatu proyek pengembangan memiliki tujuan sehingga sistem informasi dapat berjalan dengan baik.

Sistem informasi memiliki 5 komponen utama pembentuk yaitu :
1. Komponen Perangkat Keras (Hardware)
2. Komponen Perangkat Lunak (Software)
3. Komponen Sumber Daya Manusia (Brainware)
4. Komponen Jaringan komputer (Netware)
5. Komponen Sumber Daya Data (Dataware)

Ide membangun sistem informasi pada dasarnya merupakan ide ringan akan tetapi
dengan keterlibatan beberapa unsur yang mendukung atas pembangunan tersebut, ide tersebut akan berkembang menjadi kompleks ataupun sangat kompleks.
Agar kita dapat mengembangkan ide sistem informasi tersebut menjadi suatu karya maka
jawabannya adalah ide tersebut perlu dikembangkan dengan dukungan perangkat
pengembangan sistem informasi, serta perlu mengembangkan ide tersebut dalam tahap tahap pembangunan sistem informasi.
Seperti yang kita ketahui ide membangun sistem informasi sekolah sangat erat dengan
konsep dasar dari sistem pendidikan. Di Indonesia, sistem pendidikan menurut Undang-undangnomor 20 tahun 2003 dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan jenjang pendidikan yang di dapat terdiri atas 3 (tiga) klasifikasi yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jenjang pendidikan dasar yang kita ketahui terdiri atas pendidikan sekolah dasar / Madsarah Ibtidaiyah dan sekolah tingkat pertama / Madrasah tsanawiyah. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah
umum dan pendidikan menengah kejuruan, sedang bentuk dari Pendidikan menengah dapat berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Adapun Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Nah, sekarang bagaimana kita mendefinisikan konsep atas ide kita yaitu membangun sistem informasi pendidikan karena dari masing-masing jenjang pendidikan tersebut di atas, pendekatan atas sistem informasi tentu akan berbeda, karena peraturan yang memayungi masing masing jenjang pendidikan tersebut tentunya berbeda yang masing-masing dikelola oleh suatu peraturan pemerintah.
Mari kita definisikan satu saja jenjang pendidikan yang akan kita wujudkan menjadi suatu sistem aplikasi yaitu : Bagaimana membangun sistem informasi pendidikan menengah, yaitu Bagaimana sistem informasi pendidikan menengah dapat kita implementasi baik di Sekolah Menengah Atas ataupun kejuruan seperti Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Kejuruan.
Dari konsep dasar tersebut di atas, dapat kita melihat bahwa untuk suasana belajar dan
proses pembelajaran terdapat 3 (tiga) hal penting yaitu :
1. Adanya Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
2. Adanya mata pelajaran yang akan di pelajari, dan
3. Adanya Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian kita akan melihat 3 (tiga) domain utama, yang apabila digambarkan secara sederhana dalam bentuk himpunan dan irisan himpunan maka akan terbentuk sebagai berikut :
Gambar 1. himpunan relasi antar domain
Dari himpunan relasi antar domain proses pembelajaran, terlihat beberapa hubungan yang
teriris antar domain tersebut seperti :
1. Bahwa hubungan himpunan guru terhadap murid akan berupa suatu bimbingan dan
counseling;
2. Hubungan antara guru dengan mata pelajaran akan berbentuk kebutuhan akan silabus
pembelajaran atau garis-garis besar haluan pembelajaran.
3. Hubungan antara siswa dengan mata pelajaran akan berbentuk rencana belajar yang ingin di ambil masing-masing tingkat pembelajaran; serta
4. Hubungan antara ketiga domain tersebut akan berbentuk pertemuan dan tatap muka saat proses belajar dilaksanakan.
Domain utama dari unsur proses belajar tersebut di atas, tentunya akan memiliki batas
yang menaunginya yaitu :
1. Peran orang tua siswa yang dalam proses belajar mengajar merupakan salah satu unsur
yang memberikan arahan bagi siswa dalam menyelesaikan proses belajarnya. Adapun
fungsi kontrol atas proses belajar dan mengajar ini peran orang tua siswa di wujudkan
menjadi suatu komite sekolah yang tugas dan fungsinya mengontrol semua sistem yang
terdapat di sekolah, dari pihak eksternal, serta mempromosikan sekolah ke lingkungan
luar sekolah, melakukan rapat dengan para orang tua siswa baik di awal penerimaan
siswa baru maupun rapat yang ada kaitannya di luar sekolah.
2. Peran Depdiknas
3. Lingkungan sekolah yang merupakan batas yang dapat memberikan kontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap kualitas pendidikan tersebut.
4. Sarana dan Prasarana yang ada di sekolah tersebut dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan sistem yang ada disekolah tersebut, dan merupakan salah satu pendukung perkembangan sekolah.
5. Standarisasi dan pengawasan merupakan salah satu point penting yang memberikan
dukungan sistem sekolah ke arah yang lebih baik.
6. Dana Pendidikan
Dari tahapan pendefinisian ide tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dari suatu ide
sederhana yaitu membangun sistem informasi sekolah dapat menjadi berubah menjadi suatu konsep yang kompleks.
Menurut sumber lain, dunia pendidikan Indonesia, ternyata masih banyak sekali yang
belum bisa merasakan apa itu pendidikan. Hal yang menarik adalah ketatnya peraturan
pemerintah mengenai standarisasi nilai kelulusan yang setiap tahunnya selalu naik, ide yang bagus untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, tapi mereka yang duduk di sana tidak menoleh ke belakang apa yang seharusnya dibutuhkan masyarakat.
“Seandainya saya diangkat sebagai Mentri Depertemen Perencanaan dan Perancangan Sistem Informasi Nasional. Saya akan mengubah Sistem pendidikan yang ada di indonesia menjadi Sistem Informasi Pendidikan Terkomputerisasi”(Penulis artikel dari sumber yang bersangkutan). Ada beberapa hal yang menarik yang perlu kita pertimbangkan, Yaitu :
1. Metode pelajaran yang berbeda antara di kota dan di desa.
2. Kurangnya pemerataan pendidikan.
3. Banyak kebijakan/aturan pendidikan yang mengalami perubahan yang tidak jelas.
4. Dunia pendidikan sangat tertinggal dibandingkan dengan perkembanan teknologi dinformasi dalam perkembangan zaman.
5. Metode pembelajaran yang masih baku dalam arti pelajar masih kurang komunikatif dan inspiratif dalam mengemukakan komentarnya. Pelajar hanya mendengarkan dan selalu berorientasi hanya kepada guru saja.
6. Tidak adanya pertukaran informasi, pengetahuan dan sumber daya antara sekolah yang
satu dengan yang lainnya (tidak adanya networking dalam membangun dunia pendidikan).
7. Kurangnya fasilitas sarana dan prasarana pendidikan yang berbasis teknologi.
8. Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan belum mempunyai kemampuan multi dimensi yang dapat merangsang multi intelensia pelajar. Untuk itu diperlukan satu wadah yang mampu menampung Aspirasi tersebut. Suatu lembaga pendidikan yang mampu mengatasi persoalan masyarakat. Lembaga yang ditunjuk yang berada dipusat. Inspirasi yang timbul dalam diri saya adalah setiap sekolah diberikan fasilitas teknologi komputerisasi yang nantinya akan membangun suatu situs web masing-masing sekolah. Web ini akan berisikan keadaan sekolah baik secara fisik maupun non fisik, sarana dan prasarana saat ini termasuk teknologinya, jumlah guru dan murid sehingga setiap sekolah nantinya bisa bertukar informasi satu sama lainnya.
Selanjutnya situs web ini akan ditampung dalam satu server yang terletak di provinsi
masing-masing yang terhubung dengan daerahnya. Kemudian seluruh propinsi ini mengumpulkan situs web sekolah ke lembaga yang ditunjuk tadi sehingga terkumpul menjadi satu web nasional. Disinilah Link seluruh sekolah yang ada di Indonesia, disini pulalah kita bisa bertukar informasi mengenai sekolah masing-masing.
Dari pembahasan mengenai istilah manajemen sistem informasi ini, kita bisa mengetahui
aspek-aspek yang diperlukan dalam membangun sistem tersebut.


Sumber :
Davis, G., and M. Olson, Management Information Systems, 1984.Manajemen
Pendidikan Indonesia.
http://visiquantum.blogspot.com/2008/08/manajemen-sistem-informasi-pendidikan.html
http://www.rekasel.com/download/Simpedu.pdf
http://www.vitraining.com/products/CIVITAS2x%20%20Academic%20Information%20S
ystem/Brosur%20Civitas2x.pdf
http://oyowartoyo.files.wordpress.com/2008/07/msp304-tugas-1-kebijakan-manajemensistem-
pendidikan1.pdf
http://www.cs.ui.ac.id/staf/zhasibua/2007003.pdf
http://pdfdatabase.com/download_file_i.php?qq=pengertian%20manajemen%20sistem%
20informasi%20pendidikan&file=13086126&desc=Draft+Sistem+Informasi+.doc
http://www.ditplb.or.id/files/SI_PLB.pdf
http://www.scribd.com/doc/3846099/MANAJEMEN-SISTEM-EVALUASI-PENDIDIKAN
http://mmt.its.ac.id/library/?p=4767
http://www.scribd.com/doc/8336496/Analisis-Peranan-Sistem-Informasi-Manajemen-
Berbasis-Komputer-Dalam-Proses-Pengambilan
http://mugi.or.id/blogs/oke/archive/2008/09/12/membangun-sistem-informasipendidikan-
bagian-i-dari-banyak-tulisan.aspx
http://cumyzigar.blogspot.com/2008/01/sistem-informasi-pendidikan.html
http://blog.re.or.id/konsep-dasar-sistem-informasi-definisi-sistem-informasi.htm

makalah menejemen pendidiikan tentang menejemen personalia lembaga pendidikan

MANAJEMEN PERSONALIA LEMBAGA PENDIDIKAN
Personalia pendidikan adalah semua orang yang terlibat dalam tugas-tugas pendidikan, yaitu para guru/dosen sebagai pemegang peranan utama, manajer/administrator, para supervisor, dan para pegawai. Para personalia pendidikan perlu dibina agar bekerja sama secara lebih baik dengan masyarakat.

Ada sejumlah gejala yang membutuhkan pengembangan personalia. Gejala-gejala itu ialah:
1. Para personalia terlalu patuh kepada atasannya dengan pelbagai alasan. Para bawahan merasa wajib memenuhi kehendak atasan tanpa mempertimbangkan apakah hal itu patut atau tidak patut dikerjakan,
2. Personalia pendidikan bekerja terlalu mekanistik, rutin, seperti mesin. Tindakan mereka selalu berdasarkan peraturan dan atau perintah para atasan,
3. Tidak puas dengan disain yang baik tentang cara melayani atau memenuhi kebutuhan para siswa/mahasiswa,
4. Terjadi perubahan dalam konteks dan isi peranan para siswa/mahasiswa. Perubahan ini membuat personalia pendidikan menjadi bingung, merasa tidak aman, atau bahkan ada yang merasa disaingi,
5. Penyesalan meningkat dalam hubungannya dengan problem komunikasi. Pemakai data tidak berusaha menyelesaikan problem tersebut, mereka hanya bisa mengeluh dan menyesali keadaan yang tidak baik itu,
6. Ketidakmampuan manajer/para manajer meninggalkan otoriter dengan model kepemimpinan yang hirarhis. Sehingga hubungan personalia khususnya antara atasan dengan bawahan menjadi kaku.
7. Pengambilan keputusan yang keliru dan lamban, yang dapat membuat para personalia menjadi bingung, menemui kesulitan dalam bekerja, dan marah yang dipendam,
8. Peraturan, norma, dan standar tidak lagi berfungsi dengan baik, sebab sudah ketinggalan zaman,
9. Konflik atau pertentangan yang tinggi antar kelompok dan atau di dalam kelompok itu sendiri.

Berdasarkan kesembilan gejala diatas tampak bahwa bukan hanya para personalia yang perlu dibina atau dikembangkan melainkan juga lembaganya. Tujuan pengembangan baik melalui personalia maupun melalui organisasi ialah memperbaiki performan organisasi dengan menciptakan iklim sumber daya manusia yang positif. Pegembangan organisasi juga berusaha memperbaiki kompetensi mereka masing-masing.
Kepemimpinan yang Efektif
Agar proses pengembangan par personalia pendidikan berjalan lancar dan kontinu, antara lain dibutuhkan kepemimpinan yang efektif. Ialah suatu kepemimpinan yang menghargai usaha para bawahan, yang memperlakukan mereka sesuai dengan bakat, kemampuan dan minat masing-masing individu, yang memberikan dorongan dan mengarahkan diri ke arah tercapainya tujuan lembaga pemdidikan. Menurut hasil penelitian pemimpin yang tinggi dalam kedua dimensi kepemimpinan adalah pemimpin yang efektif. Dua dimensi kepeminpinan itu ialah kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi kepada antar hubungan manusia.
Kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas ialah pemimpin yang hanya menekankan penyelesaian tugas-tugas kepada para bawahannya dengan tidak mempedulikan perkembangan bakat, kompetensi, motivasi, minat, komunikasi, dan kesejahtaraan bawahan. Sebaliknya kepemimpinan yang berorientasi kepada antar hubungan manusia hanya menekankan perkembangan para personalianya, kepuasan mereka, motivasi, kerjasama, pergaulan, dan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu kepemimpinan yang baik ialah kepemimpinan yang mengintegrasikan orientasi tugas dengan orientasi antar hubungan manusia. Hanya dengan cara ini kepemimpinan akan menjadi efektif, yaitu mampu mencapai tujuan organisasi tepat pada waktunya. Sebab kepemimpinan yang efektif ini dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dengan baik termasuk melaksanakan perencanaan dengan baik pula.
Gambar 1 Hubungan Kepemimpinan yang Efektif dengan Perencanaan dan Pelaksanaan Pendidikan


Kepemimpinan yang efektif selalu memanfaatkan kerjasama dengan para bawahan untuk mencapai cita-cita organisasi. Karena dengan cara begitu para manajer/administrator akan banyak dapat bantuan pikiran, semangat, dan tenaga dari para bawahannya. Pekerjaan pendidikan yang dilakukan oleh para pemimpin secara efektif ini dikatakan oleh Cunningham sebagai perencanaan dan manajemen kontinum yaitu (1) manajer berdiskusi dengan para bawahan; (2) manajer dibantu oleh para bawahan; (3) manajer dibantu para bawahan untuk mendapatkan cara penyelesaian masalah yang terbaik; dan (4) tindakan manajer disetujui oleh para bawahan. Fiedler menyebut cara kerja seperti ini sebagai model situasional atau contingency.
Pembentukan Iklim Organisasi yang Hangat
Suatu penelitian menunjukan hasil bahwa faktor-faktor organisasi tempat para professional bekerja mempengaruhi kepribadian dan profesi mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa profesi dan organisasi memajukan kepribadian dan otonomi mereka sebagai professional. Hanya dalam iklim organisasi hangat kebebasan mimbar akan dapat berjalan dengan baik, yaitu hak seorang professional untuk menemukan, mengajarkan, dan mempublikasikan kebenaran sebagaimana dia lihat dalam spesialisasinya. Kehidupan seorang professional tidak hanya tampak dalam kegiatannya yang tidak terikat dan terjaminnya kebebasan mimbar, tetapi juga dalam kesempatan mengejar pengetahuan/ilmu tanpa memperhitungkan popularitas.
Sifat-sifat kegiatan para professional di atas perlu mendapat dukungan dari suasana organisasi pendidikan. Sifat kegiatan para professional yang paling penting yang dapat dipandang sebagai modal dalam merealisasi dan mengembangkan profesi mereka adalah usaha mengejar ilmu dan pengetahuan lainnya secara terus-menerus tanpa mengharapkan penghargaan/popularitas atau nafkah yang besar.

Gambar 2 Iklim Organisasi yang Hangat Menyuburkan Kegiatan para Profesional



Beberapa Cara Mengkreasikan Iklim Organisasi
Untuk menciptakan lingkungan belajar mengajar yang sehat dan produktif, haruslah ada kesempatan dan kemauan antara professional untuk saling memberi informasi, ide, persepsi, dan wawasan. Mereka harus menyiapkan umpan balik profesi secara teratur seperti halnya yang dilakukan oleh administrator/manajer. Prinsip-prinsip kebersamaan, komunitas harus dikembangkan dalam lembaga pendidikan dengan cara saling memberi pandangan dan nilai baik yang positif maupun yang negatif.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk menciptakan iklim organisasi yang hangat ialah dengan membuat para personalia pendidikan para pengajar khususnya sebagai masyarakat paguyuban di lembaga pendidikan. Bila lembaga pendidikan itu terlalu besar, perguruan tinggi misalnya, maka personalia itu dapat dibagi-bagi menjadi beberapa masyarakat paguyuban.
Penelitian Rebbeca memberi pemecahan terhadap kesulitan ini ialah dengan cara menyeimbangkan tindakan melalui proses kerja sama. Dalam bekerja sama otonomi individu dihargai sebab pandangan, inisiatif, dan kreativitasnya diminta untuk disumbangkan kepada kelompok. Dalam masyarakat paguyuban ini diusahakan agar fungsi kepemimpinan dapat dilakukan secara bergantian, sehingga tiap orang dapat kesempatan mengalami sebagai pemimpin untuk menunjukan kemampuannya. Pemimpin di sini adalah dalam arti informal dan formal. Wujudkan tindakan dalam setiap kegiatan yang menggambarkan bahwa lembaga pendidikan adalah menjadi milik setiap warga paguyuban, sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya.
Manajer hendaknya berusaha menggerakan setiap hati para personalia pendidikan untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat baru ini, sehingga :
Ciri-ciri Disiplin Lembaga Pendidikan yang Baik
Ciri-ciri disiplin yang baik itu adalah pertama, mampu mengerjakan banyak hal yang biasa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan para pendidik yang baik untuk jangka waktu yang lama. Kedua, menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang dapat melahirkan disiplin yang baik. Ketiga, sebagian besar pendidik memandang lembaga pendidikannya sebagai tempat para pengajar dan siswa bekerja dan mendapat pengalaman yang sukses. Keempat, berorientasi kepada para siswa. Kelima, memusatkan diri kepada sebab-sebab masalah disiplin, bukan kepada gejala-gejalanya. Keenam, program lembaga pendidikan menekankan perilaku positif dan lebih menekankan usaha preventif daripada hukuman dalam memperbaiki disiplin. Ketujuh, menyesuaikan kegiatan-kegiatannya dengan kebutuhan dan mencerminkan gaya mereka sendiri.
Kedelapan, kepala sekolah memegang peranan kunci dalam memberi corak kepada sekolahnya. Kesembilan, program-program sekolah sering berhasil, agaknya karena kepuasan mengerjakannya atau karena disainnya begitu jelas oleh tim yang terdiri dari kepala sekolah yang berkompetan dan beberapa anggota stafnya yang juga memiliki pribadi kepemimpinan yang melengkapi kepala sekolah itu. Kesepuluh, para pengajar percaya kepada lembaga pendidikan mereka tempat para siswa dapat mengerjakan sesuatu. Kesebelas, guru-guru menangani semua atau sebagian terbesar masalah disiplin yang rutin. Keduabelas, mengembangkan kerja sama yang erat sekali dengan para orang tua siswa dan masyarakat pada umumnya. Dan ketigabelas, sekolah-sekolah terbuka untuk dikritik dan dinilai secara luas oleh sekolah-sekolah lain dan masyarakat.
Meningkatkan Partisipasi Personalia
Ada beberapa metode yang dipandang sebagai usaha untuk mendiagnosa keadaan para personalia pendidikan dan mengintervensi mereka agar partisipasinya meningkat dalam kegiatan-kegiatan pendidikan termasuk dalam perencanaan. Cunningham menyebutkan ada tujuh macam yaitu metode survai umpan balik, pertemuan konfrontasi, tim pembangun, saling memberi data secara terbuka, proses konsultasi, model struktur (termasuk teknik analisa peranan dan memperkaya tugas), dan kelompok T. Sementara itu Daft hanya menyebutkan tiga macam saja yaitu survai umpan balik, tim pembangun, dan siklus kualitas.
Survai Umpan Balik
Mula-mula para personalia pendidikan disurvai dengan memberi angket yang menanyakan tentang kepuasan kerja mereka, sikap, performan, perilaku pemimpin mereka, iklim organisasi, dan hubungan kerja mereka satu dengan yang lain. Data ini lalu dianalisa, bila perlu seorang konsultan yang ahli manajemen personalia, dan didiskusikan bersama dengan kelompok yang disurvai.
Dengan berdiskusi bersama diharapkan pikiran para personalia, terutama yang bersangkutan dengan masalah yang dibahas, mulai terbuka dan berusaha ikut mencari sebab-sebabnya. Diskusi seperti ini biasanya bias membuka jalan untuk menemukan pemecahannya.
Pertemuan Konfrontasi
Metode ini digunakan untuk organisasi pendidikan yang dalam keadaan krisis dan tegang. Untuk situasi-situasi krisis seperti ini dikembangkan mobilisasi umum dikalangan para personalia pendidikan. Metode ini disamping menangani masalah yang dihadapi lembaga ia juga secara langsung mengharuskan para personalia ikut aktif di dalamnya. Ini berarti para personalia sudah miningkatkan partisipasinya berkat metode ini. Itulah sebabnya metode ini disebut sebagai pengintervensi personalia. Sekali diintervensi diharapkan partisipasi mereka dalam kegiatan-kegiatan pendidikan berikutnya tetap besar.
Tim Pembangun
Tim pembangun merealisasi suatu ide bahwa seseorang yang bekerja bersama dengan orang-orang lain dapat dilatih untuk bekerja sebagai tim. Tim ini memperbaiki performan para anggota yang bertindak sebagai pemimpin dan sebagai anggota. Maksudnya ialah performan seseorang sebagai pemimpin dan sebagai anggota diperbaiki dalam tim ini.
Tim dengan orang-orang baru membentuk suatu norma-norma baru, semacam kontrak social, dalam usaha meningkatkan performan dan partisipasi baik dalam tugas-tugas pendidikan khususnya. Norma-norma baru yang mereka setujui bersama ini belum tentu tepat dapat diaplikasikan. Sebab itu sering kali tim melakukan penelitian tindakan (action research) dalam usaha membuat norma-norma itu dapat dilaksanakan.
Saling Memberi Data secara Terbuka (Open data saharing)
Teknik ini berusaha mengurangi/menghilangkan kelemahan perilaku para personalia pendidikan dengan cara saling memberi data dan mengoreksi bersama kekurangan-kekurangan individu. Jadi mula-mula para peserta yaitu para personalia pandidikan diharuskan mengisi angket tentang nama-nama personalia pendidikan tersebut lengkap dengan sifat-sifatnya yang baik dan yang kurang baik. Angket tanpa nama ini lalu dikumpulkan. Satu persatu isi angket itu dituliskan pada papan yang besar yang di taruh didepan para anggota.
Kelompok T (T Group)
Metode ini dikenakan kepada kelompok yang memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan tujuan lembaga pendidikan atau misi perencanaan sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis, partisipasi yang kurang efektif, dan tata kerja yang rusak. Tiap-tiap kelompok maksimum anggotanya 12 orang dan satu orang professional lebih ahli sebagai fasilisator. Fasilisator bertindak agar setiap anggota kelompok aktif berbicara, mengemukakan pendapatnya, memberi penjelasan tentang nilai-nilai, dan sebagainya. Demikianlah melalui kelompok ini setiap anggota memodifikasi nilai-nilai dan perilakunya secara besar atau kecil sesuai dengan penyimpangannya masing-masing agar cocok dengan tugas merealisasi tujuan perencanaan dan tujuan organisasi pendidikan.
Siklus Kualitas (Quality Circles)
Metode siklus kualitas dikatakan satu diantara usaha yang terbanyak dilakukan untuk meningkatkan kreativitas dan partisipasi para personalia pendidikan. Tujuannya adalah memperbaiki kualitas performan/tata kerja, memajukan produksi (kualitas dan kuantitas), dan meningkatkan partisipasi baik dalam perencanaan maupun dalam tugas-tugas pendidikan pada umumnya. Siklus kualitas merupakan satu kelompok yang terdiri dari 6 sampai dengan 12 personalia pendidikan yang bekerja pada jenis pekerjaan yang sama. Sering sekali para anggota diberi pendidikan dan latihan tambahan baik secara formal maupun informal untuk memperdalam konsep dan keterampilan mereka dalam melaksanakan tugas.
Kerjasama dengan Masyarakat
Kini kerjasama dengan masyarakat sudah menujadi bagian kegiatan yang penting dalam mengendalikan roda perjalanan organisasi pendidikan. Stein dan Kanter melembagakan satu set respon eksternal dan internal, struktur partisipasi dan pemecahan masalah, di samping tugas-tugas rutin dalam lembaga pendidikan. Kegiatan internal dan eksternal, serta kegiatan rutin dan non rutin berjalan bersama-sama. Masalah-masalah yang muncul dicari kaitannya baik di dalam lembaga itu sendiri maupun di masyarakat, supaya dapat diselesaikan secara lebih mudah dan lebih tuntas. Organisasi seperti ini disebut organisasi perarel atau structural pararel.



Gambar 3 Organisasi atau Struktur Pararel dalam Pendidikan


Struktur pendidikan yang pararel berarti memberi peluang lebih besar kepada para personalia pendidikan untuk meningkatkan inisiatif dan kretivitas mereka melewati tugas-tugas yang sangat rutin. Khusus bagi perencana pendidikan lebih-lebih perencanaan yang bersifat partisipasi, struktur pararel ini sangat menguntungkan mereka. Sebab perencanaan partisipatori adalah perencanaan dilakukan bersama diantara para pecinta pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam memperhitungkan fisibilitas perencanaan pendidikan, yaitu sumber-sumber pendidikan yang sering berkaitan dengan mereka, memegang peranan penting yang patut diperhatikan. Di samping itu para stakeholder juga patut diperhatikan, sebab ia dapat menggoncangkan implementasi dan aplikasi pendidikan berkat pengruh-pengaruhnya.
Banyak program yang dapat dikerjakan bersama antaralembaga pendidikan dengan masyarakat sekitarnya. Program-program itu misalnya memajukan proses belajar mengajar, mengintegrasikan pendidikan formal, informal, dan nonformal, membantu memajukan pendidikan nonformal, layanan kesejahteraan keluarga, layanan bimbingan dan konseling kerjasama, dan sebagainya.
Macam-macam Hadiah bagi Personalia
Para personalia pendidikan tidak pada tempatnya hanya dituntut akan kewajiban dan tanggung jawabnya. Manajer personalia yang baik akan memperhitungkan setiap tindakannya terhadap para personalia agar ada keseimbangan antara kewajiban dan hak mereka. Pada umumnya yang dipandang berkaitan dengan hak para personalia adalah gaji, honorarium, dan macam-macam kesejahteraan lainnya dan promosi/kenaikan pangkat.
Berbagai hadiah yang dimaksudkan bagi para personalia pandidikan di samping hadiah-hadiah yang yang sudah disebutkan di atas ialah:
Hadiah-hadiah tersebut di atas diberikan satu atau beberapa dari padanya yang sesuai dengan jasa, perilaku, atau performannya yang terpuji. Dan sudah tentu disesuaikan pula dengan kemampuan lembaga pendidikan bersangkutan.
Diposkan

makalah filsafat tentang aliran filsafat pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
Tiap-tiap aliran filsafat bukanlah merupakan usaha mengakhiri perbedaan-perbedaan prinsipil dari suatu ajaran. Tetapi justru di dalam kebebasan memilih dan mengembangkan ide-ide filsafat itu, asas filosofis yang menghormati martabat kemanusiaan setiap orang tidak hanya teroritis adanya, melainkan praktis, dilaksanakan. Inilah satu bukti dan jaminan konkrit kebenaran-kebenaran filsafat yang asasi.
Jadi mengingkari kebebasan subyek, meniadakan eclecticisme bertentangan dengan asas-asas utama di dalam filsafat yang ideal. Dan ini perlahan-lahan tetapi pasti, membunuh perkembangan filsafat itu sendiri. Bahkan tidak adanya eclecticisme itu bertentangan dengan kodrat asasi pribadi manusia yang mengandung sifat-sifat individualitas dan sifat kepribadian yang unik.
Klasifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan berdasarkan perbedaan-perbedaan teori dan praktek pendidikan yang menjadi ide pokok masing-masing filsafat tersebut. Demikian pula klasifikasi itu sendiri akan berbeda-beda menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria dalam menetapkan klasifikasi itu. Misalnya ada yang membuat klasifikasi aliran filsafat pendidikan berdasarkan asas dichotomi yakni antara aliran progressive dan aliran conservative. Tetapi klasifikasi yang demikian sukar untuk menampung adanya kenyataan bahwa masing-masing aliran yang relatif banyak itu mempunyai pula segi-segi yang overlapping. Karena itu tak akan ada sifat yang murni bagi suatu aliran untuk digolongkan sebagai konservatif semata-mata, jika kita cukup jujur untuk melihat adanya unsur-unsur progressif di dalamnya. Itulah sebabnya, perlu kita sadari bahwa klasifikasi aliran-aliran filsafat itu harus didasarkan atas penelitian yang mendalam dan sangat hati-hati.


BAB II
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Aliran ini dianggap sebagai “regressive road to culture yakni jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan masa lampau Perennialisme menghadapi kenyataan dalam kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, Perennialisme menghadapi kenyataan dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu, Perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan “Kembali kepada kebudayaan masa lampau”, kebudayaan yang dianggap ideal.
Pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Karena itu Perennialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “education as cultural regression”. Perennialisme tak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad pertengahan.
Perennialisme memilih prinsip demikian karena realita zaman modern memberi alasan obyektif, memberi kondisi untuk pilihan itu. Untuk prinsip ide itu. Brameld menulis:
“…….. Perenialist reacts against the failures and tragedies of our age by regressing or returning to the axiomatic beliefs about reality, knowledge, and value that he finds foudational to a much earlier age”.
“……. Kaum perennialisme mereaksi dan melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi dalam abad modern ini dengan mundur kembali kepada kepercayaan-kepercayaan yang aksiomatis, yang telah teruji tangguh, baik dalam teori realita, teori ilmu pengetahuan, maupun teor nilai, yang telah memberi dasar fundamental bagi abad-abad sebelumnya.
Karena itu perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang. Apabila suatu peradaban berada dipersimpangan arah, dan bila suatu generasi memerlukan pengamatan nilai-nilai moral dan intelek sebagaimana juga diperlukan pengamanan bidang sosial ekonomi, maka jalan terbaik untuk itu ialah kembali kepada pola kebudayaan lama. Dan menurut Perenialisme krisis demikian ialah yang dialami generasi sekarang dengan kebudayaan sekarang. Karena itu, kita sebaiknya kembali kepada ketenangan, kestabilan prinsip-prinsip kebudayaan abad pertengahan.
Watak umum Perennialisme tersimpul dalam makna istilah yang menjadi nama aliran ini. Istilah “Perennial” berarti “everlasting” atau abadi. Dengan demikian esensi atau inti kepercayaan filsafat Perennialisme ialah nilai-nilai, norma-norma yang bersifat kekal abadi, bahkan keabadian itu sendiri. Perennialisme mengambil analogi realita-sosial-bidaya manusia, seperti realita sepohon bunga. Pohon bunga ini akan berbunga musim demi musim, datang dan pergi secara tetap sepangjang tahun dan masa. Demikianlah pola perkembangan kebudayaan manusia, abad demi abad, era demi era, bahkan untuk selama-lamanya akan tetap mengulangi apa yang pernah dialaminya.
1. DUNIA PENGALAMAN
Eksperimentalisme, adalah merupakan suatu filsafat yang resmi dan sistematis. Usianya kurang dari satu abad, jadi termasuk bilangan salah satu aliran filsafat yang termuda. Tetapi aliran filsafat ini nampak menonjol karena mendasarkan pemikiran filsafatnya terutama seklai kepada segi negatif dari pemikiran yang asasi (fundamental), yaitu menentang dan menolak paham-paham filsafat sebelumnya. Dalam abad ke XX ini kita melihat aliran filsafat ini bergerak kearah dasar yang lebih positif. Dan kita harus terlebih dulu mengerti tentang apa yang ditolak oleh aliran filsafat ini, sebelum kita masuk kedalam bidang-bidang yang mereka terima dengan baik dan mereka kokohkan.
Untuk kesemuanya ini dan guna memenuhi semua harapan Bangsa dan Negara kita, maka melakukan cara-cara belajar mengajar yang bijaksana akan memainkan peranan yang sangat positif dan efektif buat mencapai tujuan dan memenuhi segala harapan tersebut.
Falsafah Eksperimentalis ini dapat dikatakan merupakan suatu metode dari pengetahuan modern yang sifatnya begitu umum hingga dapat melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Dia memulai langkah filsafatnya dengan “pengalaman” yang senantiasa kita temuka didalam berbagai fase dan aspek kehidupan. Kita sekarang ini sedang hidup dan dalam kehidupan ini kita mempergunakan banyak seklai peninggalan-peninggalan dan warisan-warisan sosial kita. Kita melihat kehidupan ini sebagaimana adanya dan bagaimana dia berlanjut terus dan kita saksikan pula bahwa beberapa situasi, kondisi dan keadaan kurang memuaskan dari yang lainnya. Dari sinilah kita mulai memikirkan idea-idea untuk memperbaiki kehidupan ini, dan kita lalu menguji coba (try-out) beberapa gagasan, sambil memperbaiki dan memperkuat gagasan-gagasan atau rencana kita yang akan datang. Apabila pekerjaan ini kita teruskan berarti kita telah membina kehidupan baik yang ideal dan ide-ide bagaimana kita seharunya bertindak dan memikirkan cara-cara yang baik dan menguntungkan buat mencapai cita-cita yang ideal itu.
Demikianlah pula, apabila kita mempelajari “Pengalaman” itu, kita akan menemukan suatu faktor tertentu yang aktif bekerja, yaitu apa yang kita sebutkan “Belajar”. Dan kita akan melihat lebih lanjut bahwa usaha belajar itu dapat diarahkan sedemikian rupa untuk membantu mewujudkan kehidupan yang lebih baik secara effektif. Kalau dilanjutkan lagi kita akan menemukan hal yang berbeda dari pemikiran kita yang lalu, bahwa usaha belajar sekarang ini merupakan bagian utama yang maha penting dari pengalaman yang sedang berjalan. Dan kalau diteruskan lebih lanjut lagi, kita akan menemukan bahwa setiap anak didik akan belajar bagaimana dia harus hidup dan dia harus menerima kenyataan itu, bagaimana dia mesti bertindak-tanduk, dia pelajari semua hal-hal tersebut dan pada akhirnya, kita melihat bahwa apa-apa yang dipelajari oleh si anak itu langsung diterapkannya didalam tingkah laku dan tindak tanduknya.
Dengan konsepsi belajar yang demikian itu dalam hubungannya dengan cara hidup dan pembinaan tingkah laku (character building), kami berkesimpulan bahwa sekolah haruslah merupakan sebuah tempat dimana kemungkinan pembinaan suatu kehidupan yang lebih baik dapat diusahakan agar berjalan terus, arena diluar kehidupan yang seperti itu, anak-anak itu akan membina tingkah lakunya. Setelah itu anak tersebut akan mempelajari dengan pasti apa yang diterimanya untuk dilakukan, dan sebagai kelanjutannya, tugas kita sebagai guru hanyalah memberikan bimbingan tidak langsung. Kita bertugas membina dan memberanikannya buat mencapai kwalitas kehidupan yang terbaik, akan tetapi kita tidak dapat memerintahkan hal tersebut kepadanya. Anak-anak itu akan belajar menimbulkan respons mereka sendiri terhadap apa yang terjadi kepada mereka dan tentang mereka. Kita berusaha buat membantu mereka dalam memberikan respons tersebut sebaik dan selengkap mungkin. Akan tetapi keberhasilan kita dengan murid-murid kita akan diuji oleh pertumbuhan mereka dalam kemampuan dan perkembangan watak mereka yang tumbuh dari dalam diri mereka sendiri yang kelihatan bertambah matang dan tambah bertanggung jawab. Di dalam suatu negara demokrasi, adalah pribadi-pribadi yagn dapat menentukan arah diri mereka sendiri, itulah yang akan kita bina. Orang-orang dengan kepribadian yang demikian itulah yang dapat mendorong maju kehidupan ini, hingga lebih sukses dan berhasil buat mengembangkan dunia kita ini. Dunia yang seperti itulah yang menarik perhatian golongan Eksperimentalis dan diatas dasar pemikiran itu pulalah mereka membentuk Filsafat Pendidikan Eksperimentalis.
2. ESENSIALISME
- Ciri-Ciri Utama
Esensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba flesibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, essensialisme menanggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk, dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-rubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendapat yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh waktu.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Reanisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada petengahan kedua abad ke sembilan belas.
Idealisme dan realisme adalah aliran-aliran filsfat yang membentuk corak esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik. Artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, tetapi tidak lebih menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
3. ANTESEDENS
Di atas telah dikemukakan bahwa Renaisans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme. Oleh karena timbul sejak zaman itu, esensialisme adalah konsep yang meletakkan sebagian dari ciri-ciri alam pikir modern.
Sebagaimana halnya sebab-musabab timbulnya Renaisans, esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatisme Abad Pertengahan. Maka, disusunlah konsepsi yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman modern.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain. Pandangan-pandangannya bersifat spritual. John Deonald Butler mengutarakan secara singkat ciri dari masing-masing ini sebagai berikut.
Alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambara yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomental ini ada Jiwa yang Tidak Terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Sebagai reaksi terhadap tuntutan zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi, yang mulai terasa sejak permulaan abad ke 15, realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk ini perlu disusun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang dimaksud diusahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.

4. PANDANGAN MENGENAI REALITA
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme oyketif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.
Dari fisika dan ilmu-ilmu yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya data tarik bumi. Di samping itu oleh ilmu-ilmu ini dikembangkanlah teori mekanisme, yang mengatakan bahwa dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarika dan tekanan dari “mesin” yang sangat besar. Di samping itu teori mekanisme ini memperleh dukungan perkembangan dari matematika, yang berbentuk dalam berbagai sumbangan. Antara lain bahwa semua gerak dalam hubungan dengan alam ini dapat dijabarkan secara kuantitatif, rumus-rumus dan persamaan-persamaan yang abstrak.
Dari sinilah timbul pengertian-pengertian mengenai metode ilmiah dan metode eksperimental. Yang pertama terutama sekali terdiri dari usaha untuk menjabarkan semua proses dalam alam ini dalam rumusan-rumusan matematis dan yang dapat menerangkan tentang adanya hukum-hukum alam. Adapun mengenai eksperimen atau percobaan untuk mengetahui rahasia alam telah dirintis oleh tokoh-tokoh realis, di antaranya Newton.
5. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Pada kacamatan realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan dengan penelahaan bahwa manusia perlu dipandang sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan ini bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Bersendikan prinsip di atas dapatlah dimengerti bahwa realisme memperhatikan berbagai pandangan dari tiga aliran psikologi, asosianisme, behaviorisme dan koneksionisme. Dengan memperhatikan tiga aliran ini, yang pada dasarnya mencerminkan adanya penerapan metode-metode yang lazim untuk ilmu pengetahuan alam kodrat, realisme menunjukkan sikap lebih maju mengenai masalah pengetahuan ini dibanding dengan idealisme.
Langkah maju ini tercermin pada kenyataan bahwa selain konsep-konsep dari tiga aliran tersebut dapat dipahami secara teoritis, juga di dalam praktek dapat diperkaya dengan pengumpulan data dari lapangan. Di samping itu, sebagaimana diutarakan di bawah ini, tiga aliran tersebut memiliki sifat-sifat yang satu sama lain saling menyempurnakan.
Asosianisme, yang berasal dari beberapa filsuf Inggris ini, mengutarakan bahwa gagasan atau isi jiwa itu terbentuk dari asosiasi unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal dari pengamatan. Kesan-kesan tersebut, yang juga disebut tanggapan, dapat diumpamakan sebagai atom-atom dari jiwa.
Beharivorisme mengemukakan konsep yang dapat mengatasi kesederhanaan konsep dari asosianisme. Maka ditetapkannya tingkah laku sebagai istilah dasar, yang menunjuk kepada hidup mental. Di katakan, bahwa usaha untuk memahami hidup mental seseorang berarti harus memahami organisme. Sedangkan pemahaman mengenai organisme ini berarti menginjak lapangan nerologis, maka masalah ini tidak dapat dipisahkan dari lapangan pengalaman.
6. PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini menyangkutkan masalah nilai dengan semua aspek perkehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut ini.
Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek tersebut.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaaan atas dasar komposisi yang ada. Misalnya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dari komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai contoh, tempramen warna putih dan biru akan sesuai dengan warna kuning atau putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok bila dipakai oleh orang yang warna kulitnya kuning atau putih.
Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
7. NILAI KEINDAHAN
Nilah keindahan adalah suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila kognisi dan perasaan bercampur atau saling pengaruh mempengaruhi. Yang dimaksud dengan kognisi disini adalah persoala persepsi sebagaimana dihubungkan dengan kenikmatan keindahan. Apa yang dihasilkannya ditambah dengan perasaan yang mengikutinya. Berarti bahwa kenikmatan seseorang mengenai keindahan itu merupakan perpaduan antara pengalaman, persepsi dan perasaan.
Kesenian, menurut realisme, adalah hidup sebagaimana adanya, maka kesenian dengan sendirinya berisikan hal-hal yang kompleks sebagaimana hidup itu sendiri. Ditinjau dari sudut manusia, faktor yang amat penting dalam tinjauan mengenai pengalaman kesenian ini, kesenian ini dapat memiliki sifat-sifat yang kaya seperti yang dialami oleh manusia, misalnya harmoni-disharmoni, suka duka, dan lain sebagainya. Pokoknya kesenian adalah pencerminan dari alam atau kehidupan sebagaimana wajarnya.

8. PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN
Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dapat memberikan gambaran mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme. Di samping itu karena tidak setiap filsuf idealis atau realis mempunyai paham esensialistis yang sistematis, maka uraian ini bersifat eklektik.
Esensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut Abad Pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak zaman Renaisans.
Dalam rangka menunjukkan antesedens esensialisme ini, akan dipaparkan secara historis kronologis dengan mengetengahkan tokoh-tokoh yang utama. Penggalan kronologis dijatuhkan kepada periode sebelum dan sesudah tahun tiga puluh abad ini.
Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke 15 dan permulaan abad ke-16, adalah tokoh yang mula-mula sekali berontak terhadap pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Tokoh ini berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, yang dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat. Pendidikan yang dilewatkan mereka ini memberikan kemungkinan dapat berlangsungnya perubahan yang diharapkan oleh Erasmus tersebut.
Tokoh berikutnya, Johann Amos Comenius (1592-1670) adalah pendidik Renaisans pertama yang berusaha untuk mensistematisasikan proses pengajaran. Tokoh ini dengan memiliki pandangan-pandangannya, dapat disebut seorang realis yang dogmatis. Ia berkata antara lain bahwa hendaklah segala sesuatu diajarkan melalui indera karena indera adalah pintu gerbang jiwa. Jadi pintu gerbang dari pengetahuan itu sendiri. Disamping itu, Comenius mempunyai pendirian bahwa karena dunia itu dinamis dan bertujuan, tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
John Locke (1632-1704), adalah tokoh dari Inggris yang dikenal sebagai “pemikir dunia ini”, ia berusaha agar pendidikan menjadi dekat dengan situasi-situasi, John Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827) percaya sedalam-dalamnya mengenai alam dalam arti peninjauan yang bersifat naturalistis. Alam dengan sifat-sifatnya tercermin pada manusia, yang karenanya manusia memiliki kemampuan-kemampuan wajarnya. Di samping itu Pestalozzi percaya akan hal-hal yang transendental, engan mengatakan bahwa manusia itu mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
Pandangan yang serba transendental ini nampak pula pada Johan Friedrich Frobel (1782-1852), dengan corak pandangannya yang bersifat kosmis-sintesis. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan mengikuti ketentuan dari hukum-hukum alam.
Dengan tertarik kepada pendidikan anak kecil. Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif. Dalam tingkah laku demikian init ampak adanya kualitas metafisis, maka tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ini kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai dengan pernyataan dari Tuhan.
Johann Friedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant, adalah tokoh yang selalu bersikap kritis. Ia berpendirian bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, yang berarti antara lain penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan ini oleh Herbart disebut pengajaran mendidik.
9. PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individual dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan pandangan di atas, cepatlah dikemukakan pandangan Immanuel (1724-1804), Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan unsurnya priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itulah yang terarah keapda budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan pikir di atas, belajar dapat didefenisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
10. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Di samping menengaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah:
a) Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
b) Sivilisasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengajar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
c) Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d) Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional dan intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut.
11. EKSISTENSIALISME (KIERKEGAARD-SARTRE)
Tidak banyak aliran filsafat yang mengguncangkan dunia, filsafat eksistensialisme adalah salah satu diantaranya. Nanti ada akan melihat bahwa filsafat ini tidak luar biasa, akar-akarnya ternyata tidak dapat bertahan dari berbagai kritik. Akan tetapi, isme ini termasuk isme yang membuat guncangan yang hebat.
Setelah selesai Perang Dunia Kedua, penulis-penulis Amerika (terutama wartawan) berbondong-bondong pergi menemui filosof ekstensialisme, misalnya mengunjungi filosof Jerman Martin Heidegger (lahir 1839) di gubuknya yang terpencil di Pegunungan Alpen sekalipun ia telah bekerja sama dengan Nazi.
Tatkala seseorang filosof ekstensialisme. Jean Paul Sartre (lahir 1905), mengedakan perjalanan keliling Amerika, dia disebut oleh surat-surat kabar Amerika sebagai the King of Existentialism. Bila cerita-cerita sandiwaranya dipentaskan, orang telah menyiapkan ambulans untuk mengangkut penonton yang jatuh pingsan. Demikianlah sekedar penggambaran kehebatan filsafat eksistensialisme. Sayanglah filsafat ini sulit dipahami oleh pemula. Marilah kita mulai dengan memperhatikan lebih dulu defenisi eksistensialisme.
Tidak mudah membuat defenisi eksistensialisme. Kesulitannya ialah karena existentialism embraces a variety of styel and convictions (Encylopedia Americana: 10: 762). Kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan tentang apa sebenarnya eksistensialisme itu (Hassan: 1947: 8). Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa jerman disebut dasein. Da berarti disana, sein berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti disana, ditempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinya sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi.
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian, filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Ini berarti bahwa manusia yang berfilsafat senantiasa meninjau kembali dirinya. Mungkin tidak secara tegas manusia itu meninjau dirinya, misalnya ia mempersoalkan Tuhan atau dunia sekelilingnya, tetapi dalam hal seperti itu manusia sesungguhnya masih mempersoalkan dirinya juga. Bahwa dalam filsafat eksistensi manusia tegas-tegas dijadikan tema senteral, menunjukkan bahwa di tempat itu (Barat) sedang berjangkit suatu krisis yang luar biasa hebatnya (Beerling, 1966: 211-12). Bagaimana keadaan krisis itu? Uraikan berikut ini meninjau keadaan dunia pada umumnya dan Eropa Barat pada khususnya yang merupakan tempat yang bertanggung jawab atas timbulnya filsafat eksistensialisme.
Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu. Untuk menjelaskan arti kata berada bagi manusia, aliran eksistensialisme mula-mula menghantam materialisme.
Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia, ia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon, batu, dan salah satu diantaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek.
Eksistenslialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang eksterm. Kedua-duanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi kedua-duanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu.
Apa eksistrensialisme itu? Sebagian tela diuraikan terdahulu. Pengetahuan yang seikit lebih luas tentang eksistensialisme ditampilkan berikut ini dengan menampilkan pemikiran tokohnya: Soren Kierkegarrd dan Jean Paul Sertre.
12. SOREN KIERKEGARD (1813-1855)
Suatu reaksi terhadap idealisme yang sama sekali berada dari reaksi materialisme ialah yang berasal dari pemikir Dernmark yang bernama Soren Kierkegarrd. Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu mengeksperressian eksistensi individual. Karena ia menentang filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran. Dengan cara demikian, ia mencoba menghindari anggapan bahwa bukunya merupakan gambaran tentang fase-fase perkembangan pemikirannya. Dengan menggunakan nama samaran, mungkinlah ia menyayang pendapat-pendapatnya di dalam bukunya yang lain.
Pertama-tama Kierkegaard memberikan kritik terhadap Hegel. Ia berkenala dengan filsafat Hegel ketika belajar teologi di Universitas Kopenhangen. Mula-mula memang ia tertarik pada filsafat. Hegel yang telah populer dikalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi tidak lama kemudian ia lancarkan kritiknya.
Keberatan utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkret karena ia (Hegel) mengutamakan ide yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”, tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Dengan demikian, Kierkegaard memperkenalkan istilah “eksistensi” dalam suatu arti yang mempunyai peran besar pada abad ke-20. hanya manusia yang mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi obyek pemilihan baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya.
Hampir semua filosof masa lampau hanya mempelajari sifat-sifat umum, sifat manusia pada umumnya, kehidupan pada umumnya, kebebasan pada umumnya, dan lain-lain. Mereka memandang yang umum atau yang abstrak. Yang umum memang selalu abstrak. Tradisi membicarakan yang umum memuncak pada Hegel. Akan tetapi, menurut Kierkegaard filsafat harus mengutamakan manusia individual. Kehidupan secara kongkret berarti kehidupan-ku. Kebenaran secara kongkret berarti kebenaran bagi saya. Percobaan Hegel untuk membuat sintesis harus ditolak. Mendamaikan pertentangan dengan cara menyintesissnya hanyalah akan menghasilkan sesuatu yang abstrak. Di dalam kehidupan kongkret kita selalu menghadapi pertentangan yang tidak mungkin disentisis. Di dalam bidang etika, misalnya, kita selalu dituntut memutuskan secara radikal, ini atau itu. Kata ini menjadi nama buku Kierkegaard yang pertama yang terbit pada tahun 1843. selain mengkritik Hegel, ia juga mengkritik agama Kristen.
Kierkegaard mengemukakan kritik tajam terhadap Gereja Lutheran yang merupakan Gereja Kristen resmi di Denmark ketika itu. Kritik itu dilemparkan terutama pada masa tuanya. Ia menganggap Gereja di tanah airnya itu telah menyimpang dari Injil Kristus. Pada pokoknya, kritik Kierkegaard terhadap agama Kristen di tanah airnya tidak berbeda dari kritiknya terhadap filsafat Hegel. Masalah yang dikritiknya ialah karena orang mengaku Kristen disana, tetapi kebanyakan tidak benar. Kristen tidak melekat di hati, tidak dianut dengan sepenuh kepribadian, ada kemunafikan. Sifat ini amat dibenci oleh Kicrkegaard. Bahkan ketka itu iman Kristen menjadi sikap borjuis dan lahiriah saja. Sedangkan menurut Kiergaard iman Kristen haruslah merupakan sala satu cara hidup radikal yang menurut seluruh kepribadian.
Pengaruh Kierkegaard belum tampak ketika ia masih hidup, bahkan bertahun-tahun namanya tidak dikenal orang di luar negerinya. Itu antara lain karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark. Barulah pada akhir abad ke-19 karya-karyanya Kierkegaard mulai diterjemahkan kedalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk filsafat abad ke-20, yang disebut eksistensilisme. Karenanya sering disebut bahwa Kierkegaard adalah Bapak Filsafat Ekstensialsime. Akan tetapi, anehnya, eksistensialisme abad ke-20 tidak jarang beraliran ateis, padahal Kierkegaard seorang penganut Kristen (lihat Bertens, 1979: 83-85). Tak pelak lagi, tokoh eksistensialisme tersebar adalah Jean Paul Sartre.

13. JEAN PAUL SARTRE (1950-1980)
Pada tanggal 15 April 1980 dunia filsafat dikagetkan oleh berita meninggalnya seorang filosof besar Perancis, tokoh paling penting dalam filsafat eksistensialisme, yaitu Jean Paul Sartre. Dialah yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) (Kaufmann. 1976: 192).
Krisis memang sedang terjadi, terutama di Eropa. Reaksi pertama terhadap krisis itu datang dari Soren Aabye Kierkegaard. Ia mengkritik Hegel yang mengajarkan adanya “aku umum”. Kierkegaard mengajarkan bahwa yang ada ialah “aku individual”. Dengan demikian, ia telah memperkenalkan istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat abad ke-20. hanya manusia yang bereksitesi. Bereksistensi berarti bertindak, dan tidak ada orang lain yagn dapat mengganti bereksistensi atas naka saya. Tekanan kierkegaard pada pentingya arti eksistensi individu itu telah melahirkan semacam kesadaran umum pada tanggung jawab setiap pribadi dalam kehidupan ini. Dan pandangan seperti itulah Kierkegaard berbicara tentang etika, mengkritik Kristen Lutheren di Denmark. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah kiranya yang menjadi intisari filsafatnya yang kelak dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan cepat mendapat sambutan hampir di seluruh dunia.
Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-28. Setelah tamat dari sekolah itu. Pada tahun 1929 ia mengajarkan filsafat di beberapa Lycees, baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francis di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang berjudul La Nausce, dan Le Mur terbit pada tahun 1939. sejak itu muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat.
Tatkala pecah perang pada tahun 1939 ia menggabungkan diri dalam pasukan Prancis, dan pada tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman. Setelah dibebaskan, ia kembali ke Paris. Di sana ia meneruskan karyanya sebagai pengajar dalam bidang filsafat sampai tahun 1944. Dalam waktu inilah ia menyelesaikan bukunya yang terkenal. L’Etre et Le Neant, pada tahun 1943. dalam gerakan politik, bersama kawannya, Albert Camus dan Muarice Merleau-Ponty, ia bekerja sama dengan Partai Komunis Prancis. Tahun 1960 terbit bukunya, Critique de la Raison Dialectique (diambil dari Encyclopedia of Philosophy, 7-8, 1967: 287-88).
Selain sebagai seorang guru besar, ia jugaa seorang pejuang. Dalam perang Dunia Kedua ia menjadi salah seorang pemimpin pertahanan. Sebagai novelis dan dramawan namanya amat terkenal. Tahun 1964 ia menolak menerima hadiah Nobel dalam bindang kesusasteraan (Burr dan Goldinger:520). Sekalipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan pemikiran Kierkegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang amat jauh. Cobalah perhatikan bagaimana ia mendefenisikan eksistensi sebagaimana diringkaskan berikut ini.
Bagi Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya. Bagaimana sebenarnya yang dimaksud oleh Sartre?
Filsafat eksistensialisme membicara cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan perkataan lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi (Drijarkara, 1966: 57). Filsafat eksistensialisme mendamparkan manusia ke dunianya dan menghadapkan manusia kepada dirinya sendiri. (Hassan: 9).
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berada dari tetumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahulu eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealisme, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (esence)nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain (Hanafi, 1981:90). Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri (Beerling: 215). Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendauhului esensinya (Struhl dan Struhl, 1972L 33,35). Dan formula ini merupakan prinsip utama dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme (Struhl dan Struhl:36). Berikut ini dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan eksistensi mendahului esensi (existence precedes essence) itu.
 Eksistensialisme adalah suatu aliran yang menolak pemutlakan akal budi menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni eksistensialisme berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah filsafat keberadaan. Suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran.
 Metode yang digunakan oleh para pemikir eksistensialis disebut metode eksestensial. Metode ini sebenarnya ada bermacam-macam. Namun pada dasarnya metode ini dipengaruhi oleh Kickegaard Bapak eksistensialisme. Pemikiran beliau merupakan reaksi yang terutama tertuju kepada rasioanlisme idealistis Hegel yang dianggap telah mati dan tidak berguna lagi.
 Pada umumnya pemikir-pemikir Eksistensialis mengakui bahwa ada kebenaran ilmiah yang objektf, tetapi tidak begitu penting. Mereka berpendapat bahwa yang paling penting adalah kebenaran subjektif kickegaard menyatakan bahwa “Kebenaran adalah subjektivitas” (truth is subjectivity). Tentu saja itu tidak berarti setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Akan tetapi, para filsuf eksistensi menegakkan bahwa kebenaran haruslah senantiasa bersifat personal dan tidak semata-mata propossional.
 Para pemikir Eksistensialis pada umumnya berpendapat bahwa tidak seorangpun dapat meraih kebenaran hanya dengan menjadi penonton atau hanya dengan melakukan observasi. Selain harus berperan serta dalam kehidupan itu sendiri. Hal itu yang menjadi titik berangkat eksistensial. Kebenaran hanya dapat ditemukan di dalam hal yang konkrit dan bahkan di dalam yang abstrak. Kebenaran hanya dapat dijumpai di dalam yang eksistensial dan bukan secara rasional.
 Secara umum dapat dikatakan bahwa metode eksistensial merupakan kebalika dari metode ilmiah tradisional dalam hal sebagai berikut. Mereka yang menggunakan metode ilmiah tradisional mengkonsentrasikan pandangan pada apa yagn sedang berada di dalam suatu tabung percobaan. Adapun para pemikir eksistensialis dengan metode eksistensial mereka mengkonstrasikan pandangan mereka pada manusia yang berada di luar tabung percobaan. Dengan dmeikian Suwectivitas lebih berguna dari pada objektivitas, dan nilai lebih perlu dari pada fakta, memang harus diakui bahwa justru itulah yang terlupakan dalam berbagai metode lain yang telah dikenal selam itu, yang terlalu memutlakkan objektivitas.
 Umat manusia masa kini patut berterima kasih kepada filsof-filsof eksistensialis yang dengan berani telah menyampaikan koreksi yang amat dibutuhkan terhadap metode-metode yang memutlakkan objektivitas. Kebenaran tidak selamanya bersifat objektif ilmiah. Kebenaran termasuk juga kebenaran religius, haruslah bersifat personal. Dengan demikian, filsuf-filsuf eksistensialis telah memperluas horizon kita dengan satu dimensi kebenaran yang telah terabaikan selama ini.
14. PROGRESIVISME
Ciri-ciri Utama
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusai itu sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetuju adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagiana utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi. Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.
Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progrevisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti ini.
15. PANDANGAN MENGENAI REALITA
John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative Intelligence, mengatakan bahwa:
“…….. Sifat utama dari pragmatisme mengenali realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum”.
Diantara kaum pragmatis (jadi progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain seperti George Santanya, John Chlids tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai berbagai konsep tentang eksistensi, alam bukanlah ditentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya.
Pragmatisme tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah proses atau tata dimana manusia hidup didalamnya. Istilah dunia ini dapat dianggap sinonim dengan kosmos, realita dan alam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evoluasionistis yang kuat. Untuk ini, pengalaman, diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuata. Berarti pengalaman adalah perjuangan pula.
16. PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN
Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk bahwa pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epsitimologi dari pada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain agar dapat dimengerti arti dari masing-masing itu. Maka dapatlah disimpulkan lebih lanjut bahw pragmatisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.
Untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, diberlkaukan tinjauan mengenai arti dan istilah-istilah seperti induktif, rasional, dan empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh penarikan kesimpulan yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya adanya pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang berupa dalil atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan cara induktif.
Rasional berasal dari kata rasio yang berarti akal atau budi. Dalam epistimologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal itu adalah instrumen utama baig manusia untuk memperleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan.
Pragmatisme tidak menyetujui adanya semua bentuk generalisasi baik yang apriori atau yang aposteriori. Pengalaman sebagai suatu unsur utama dalam epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus dan pertikular.
Progrevisime mengadakan pembedaan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman, yang siap untuk digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadaan kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang berujud sebagai lingkungan fisik,m maupun kebudayaan atau manusia.
17. PANDANGAN MENGENAI NILAI
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, maka dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Disamping itu penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana ekspresi tentulah mendapat pengaruh yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.
Oleh karena ada faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak mengadakan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti halnya pengetahuan dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional, bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Nilai mempunyai kualitas sosial. Misalnya, arti kesehatan akan makin dapat dipahami bila orang berhubungan dan dapat menikmati faedah kesehatan dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai kualitas sosial pula.
18. ANTESEDENS
Pragmatisme sebagai aliran filsafat dan pragmatisme bagai filsafat pendidikan merupakan aliran pikir yang telah dituliskan oleh John Dewey. Sumbangan John Dewey ini dipandang sebagai kekuatan intelektual yang dapat menggerakkan perkembangan progresivisme selanjutnya. Ia dapat memberikan penghargaan dan menunjukkan pentingnya peranan berbagai teori dan praktek yang berasal dari tokoh-tokoh lain bagi pendidikan. Tokoh-tokoh lain ini, misalnya William James, Harace Mann, Francis Parker, dan Felix Adler.
Selain dari pada tokoh tersebut di atas, yang hidup pada Abad ke Dua Puluh ini, gagasan-gagasan yang menjiwai progresivisme dapat dihayati asalnya, sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato membuat konsep pendidikan yang memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai persiapan ketangguhan dalam peperangan. Johanna Amos Comenius menghendaki pengajaran yang cocok, yang sesuai akan adanya kekuatan wajar pada manusia. Tokoh-tokoh lain yang segaris adalah Johann Pestalozzi, Johann Herbart, dan Friderich Frobel.
Dalam pendidikan historis dapat dipelajari bahwa tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan gagasan-gagasan yang merintis timbulnya teori dan praktek pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan gagasan dari tokoh-tokoh zaman modern, di beberapa negara, progerisivisme didukung oleh organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive Education Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamaya untuk menerapkan pendidikan baru disamping yang tradisional. Selain itu Assosiation for Childhoor Education, the American Federation of Teachers, Association for Development, adalah organisasi-organisasi yang mengembangkan metode mengajar menurut progresivisme.
19. PANDANGAN TENTANG BELAJAR
Pandangan progrevisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Disamping itu menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagian makhluk, anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang dinamusi dan kreatif dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problema-problema. Sehubungan dengan ini usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik hendaklah dipandang tidak hanya sebagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkan sepenuh-penuhnya lingkungannya. Ia perlu mendapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitar-nya. Hal ini terutama kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi wajar perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan atau kenyataan yang menunjukkan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat yang baik dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat, perlu dilakukan secara teratur sebagai halnya dalam lingkungan sekolah.
20. PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat.
Yang dimaksudnya dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Core curriculum maupun kurikulum yang bersendikan pengelaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidentalh dan tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dari pengalaman yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah diciptanakan oleh William Heard Kilpatrick.

BAB III
KESIMPULAN
Filsafat adalah hasil pemikiran ahli-ahli filsafat atau filosof-filosof sepanjang zaman diseluruh dunia. Sejarah pemikiran filsafat yang amat panjang dibandingkan dengan sejarah ilmu pengetahuan, telah memperkaya khazanah (perbendaharaan) ilmu filsafat. Sebagai ilmu tersendiri filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian para pemikir, tetapi bahkan filsafat telah amat banyak mempengaruhi perkembangan keseluruh budaya umat manusia. Filsafat telah mempengaruhi sistem politik, sistem sosial, sistem ideologi semua bangsa-bangsa-bangsa. Juga filsafat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan itu sendiri, yang tersimpul di dalam filsafat ilmu pengetahuan tertentu seperti filsafat huku, filsafat ekonomi, filsafat ilmu kedoteran, filsafat pendidikan dan sebagainya. Akhirnya yang pokok dari semua iatu, filsfat telah mempengaruhi sikap hidup, cara berpikir, kepercayaan atau ideologinya. Filsafat telah mewarisi subyek atau pribadi sedemikian kuat, sehingga tiap orang menjadi penganut suatu faham filsafat baik sadar maupun tidak, langsung ataupun tidak langsung.
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam meng-approach suatu masalah akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah yang sama. Perbedaan-perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang pribadi para ahli tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatar belakangi perbedaan-perbedaan tiap-tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian, ajaran filsafat tersebut disusun dalam satu sistematika dengan kategori tertentu. Klasifikasi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu aliran. (sistem) suatu ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk suatu zaman, produk suatu cultural and social matrix. Dengan demikian suatu ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu realita di dalam kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita, idealisme yang secara radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu.
Berdasarkan kenyataan sejarah, filsafat bukanlah semata-mata hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang terlepas daripada pra kondisi yang menantang. Paling sedikit, ide-ide filosofis adalah jawaban terhadap problem yang menentang pikiran manusia, jawaban atas ketidak tahuan, atau verifikasi tentang sesuatu. Filsafat juga merupakan usaha meneuhi dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rohaniah, untuk kemantangan pribadi, untuk integritas.

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Imam Barnadib, MA, Ph.D. Filsafat Pendidikan (Pengantar Mengenai Sistem dan Metode). Penerbit Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) IKIP. 1984.
Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung, Remaja Rosda Karya. 1998.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta, Kanisius, 1996.
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.Usaha Nasional. 1986.
H.B. Hamdani Ali MA, M.Ed. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta, Kota Kembang. 1987.

makalah filsafat ilmu tentang radikalisme dalam pandangan filsafat

Bab I
Pendahuluan
A. latar belakang masalah
Dalam sebuah penyergapan terhadap Noordin M. Top di salah satu tempat persembunyiannya di Semarang, polisi menemukan bukti penting berupa video rekaman pengakuan tiga pelaku pengeboman bunuh diri di Bali pada tanggal 1 Oktober lalu. Dalam video itu, Mochamad Salik Firdaus, salah seorang pelaku bom bunuh diri di jimbaran Bali, menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri itu dilakukan atas dasar keyakinan bahwa pelakunya akan masuk surga, “Kakakku serta istriku tersayang, insya Allah ketika dirimu melihat ini, insya Allah saya sudah berada dalam jannah (surga). Dalam al-Qur`an dan Hadis disebutkan bahwa ruh orang yang syahid itu berada dalam tembolok burung hijau yang terbang di dalam jannah.” Demikian ujar Salik.
Tidak lama waktu berselang, dalam operasi penggerebegan terhadap Dr. Azahari di Batu, ditemukan beberapa surat miliknya yang belum sempat dikirimkan untuk istrinya. Dalam salah satu suratnya, Dr. Azahari menulis, “Doakan abang mati syahid. Karena mati syahid adalah cara mati yang sempurna.Beberapa surat kabar mengutip ucapan Imam Samudera, terpidana mati kasus bom Bali I, yang menyatakan iri kepada Dr. Azahari yang mati tertembak saat penyerbuan polisi di kota Batu Malang pada tanggal 9 November 2005. Menurutnya, Dr. Azahari mati syahid dan sekarang ia telah masuk surga, sementara dia masih hidup di dunia ini.
B. Pembatasan Masalah
Agar lebih fokus dan lebih evisien dalam pembahasan ini maka kami membatasi permasalahan ini menjadi beberapa sub pokok pembahasan yang meliputi: hubungan antara Jihad, Terorisme dan Radikalisme, Radikalisme dalam Islam, dan Geneaogi Radikalisme.
C. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah dipaparkan secara sepintas saya dapat menguraikan perumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana hubungan antara Jihad, Terorisme dan Radikalisme ?
b. Bagaimana Radikalisme dalam Islam?
c. Apakah yang di maksud dengan Geneaogi Radikalisme ?

D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hubungan antara Jihad, Terorisme dan Radikalisme
2. Untuk mengetahui Bagaimana Radikalisme dalam Islam
3. Untuk mengetahui Geneaogi Radikalisme

E. Metodologi Penulisan

Dalam pembahasan perencanaan sistem pengajaran saya menggunakan metode analisis deskriftif dari sumber – sumber yang kami peroleh.








F. Sistematika Penulisan
Makalah ini di buat 3 bab yang masing-masing bab di lengkapi sub – sub bab dengan sistematika sebagai berkut:
Bab I : Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,perumusan masalah,pembatasan masalah, tujuan penulisan/pembahasan,metode
penulisan dan sitematika penulisan.

Bab II : Pembahasan yang menguraikan hubungan antara Jihad, Terorisme dan Radikalisme, Radikalisme dalam Islam, dan Geneaogi Radikalisme.

Bab III : Penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran.


















BAB II
PEMBAHASAN


A. Hubungan Antara Jihad, Terorisme dan Radikalisme
1. Pengertian Jihad.

Jihad artinya peperangan terhadap orang kafir yang di pandang musuh, untuk membela agama Allah (li i’lai kalimatillah).
Bagi muslim , jihad berarti "perjuangan" atau "beruasaha dengan keras" . Yang kemudian ber-transformasi sebagai kata yang mempunyai makna atau arti khusus , "membela agama" . Hal ini tentunya karena kata jihad yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits , seperti contoh dalam beberapa ayat Al-Qur’an surah At-taubah ayat 24: Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari ber-jihad di jalan-Nya , maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Surat Al Furqaan - Ayat 52 :Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah (jahidhum) terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad (jihada) yang besar.

Dalam ayat ini adalah mengenai ber-jihad (berjuang) internally (dalam diri sendiri) , yaitu dengan kebenaran yang dibekali kepada kita dalam Al-Qur'an , agar tidak sampai terpengaruh atau mengikuti jalan-jalan orang kafir . Dan berhindarlah dengan perjuangan yang besar . Kita harus berjuang agar tidak terpengaruh orang pemikiran kafir , yakinkanlah diri kita akan kebenaran yang ada dalam Al-Qur'an . Yakinkanlah dengan perjuangan akbar . Biarkan mereka jalan pada jalan-nya sendiri , dan kita pada jalan Al-Qur'an , seperti yang tercantum dalam ayat berikutnya : Surat Al Furqaan - Ayat 53 :Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi Dari kedua ayat ini , jelas bahwa Jihad tidak harus berarti dengan menyerang orang lain . Sebab Allah yang menjadikan mereka demikian , agar dapat memberi pengajaran kepada kita . Oleh sebab itu justru SALAH jika kita menyerang mereka terlebih dahulu , sebab itu berarti kita "membobol dinding" yang telah dijadikan Allah sebagai pembatas , agar kita tidak ter-cemar . Bila kita membobol dinding , maka akibatnya justru air kita yang "tawar dan segar" akan tercemar menjadi "asin dan pahit" .

Jihad adalah berperang untuk mempertahankan dan menegakkan agama Allah Swt.Firman Allah Swt Artinya: “Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat , yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (QS. At-Taubah (9): 111-112)

Jihad secara khusus dapat diartikan berperang atau berjuang untuk mempertahankan agama Allah, agar selalu tegak di muka bumi ini yang ketika ia meninggal maka akan mendapatkan gelar syahid. Sedangkan secera umum adalah segala sesuatu yang kita lakukan yang hanya bertujuan untuk mendapatkan ridho Allah baik itu dengan cara menyuruh kepada sesuatu yang bersifat ma’ruf ataupun mencegah sesuatu yang mungkar.

2. Tujuan Perang

Tujuan perang yang pokok ialah untuk membela, memelihara dan menjunjung tinggi agama Allah. Islam mengijinkan berperang dengan menentukan sebab-sebab dan maksud yang dituju dari peperangan itu, yaitu untuk menolah kezaliman, menghormati tempat-tempat ibadah, menjamin kemerdekaan bertanah air, menghilangkan fitnah, dan menjamin kebebasan setiap orang memeluk dan menjalankan agama.

Dalam hadits di jelaskan bahwa yang dimaksud berperang bukanlah karena menginginkan harta rampasan, menampakkan keberanian, kemegahan, marah, dan dendam, melainkan ialah supaya agama Allah menjadi tinggi, dan terpelihara dari segala gangguan.
Peperangan diperbolehkan dalam Islam, namun tentu saja harus ada sebab-sebab dan alasan-alasan yang jelas, serta apa maksud dan tujuan dari peperangan tersebut. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 190-193:190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.191. Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah[117] itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.


[117] fitnah (menimbulkan kekacauan), seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama.

Asbabunnuzul Ayat

Diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibnu Abas bahwa ayat ini di turunkan berkenaan dengan perjanjian Hudaibiyah. Tatkala beliau memasuki Masjidil Haram beliau telah dihalang-halangi oleh kaum musyrikin. Namun kemudian mereka mengajak berdamai dengan beliau yang akhirnya ditetapkan bahwa beliau boleh melakukan haji pada tahun depan.pada saat itu kota mekah dibebaskan untuk kaum muslimin selama tiga hari untuk melakukan thawaf dan berbuat sesuka hati mereka. Tatkala Rasulullah beserta para sahabat bersiap-siap untuk melakukan ibadah Umrah Qada, hati mereka telah diliputi oleh perasaan khawatir dan takut terhadap orang-orang Quraisy apabila mereka tidak menepati janji, menghalang-halangi dan memerangi mereka pada kesempatan ini. Padahal para sahabat tidak suka mengadakan peperangan di kota Mekah dan di bulan Muharram, sehingga turunlah ayat ini.

Wahai kaum Mu’minin, apbila kalian merasa takut dihalang-halangi oleh kaum kuffar Quraisy pada saat kalian melakukan ibadah umrah, oleh sebab mereka telah merusak perjanjian dan memfitnah agama kalian, padahalkalian tidak menyetujui peperangan di bulan muharram dan dalam keadaan ihram, maka sekarang kami (Allah) mengijinkan kalian untuk memerangi mereka demi membela agama Allah dan meninggikan kalimah-Nya. Bukan karena ingin memuaskan hawa nafsu dan haus mengalirkan darah.

Kalian jangan melewati batas dengan mendahului menyerang mereka, dan janganlah pula melewati batas dikala perang berkecamuk seperti membunuh wanita, anak-anak, orang tua dan orang-orang yang sedang sakit serta orang-orang yang telah menyerah kepada kalian. Dan perbuatan-perbuatan lain yang di anggap melewati batas seperti merusak rumah dan menebang pepohonan. Sebab melewati batas adalah perbuatan yang di benci oleh Allah. Terlebih lagi jika kalian lakukan saat kalian melakukan ibadah umrah di tanah haram dan bulan Muharram pula.

Apabila perang sedang berkecamuk maka bunuhlah mereka dimana saja kalian jumpai, supaya mereka tidak lagi menghalang-halangi kalian di Masjidil-Haram.

Dan usirlah mereka sebagaimana mereka mengusir kalian dari tanah mekah. Kaum musyrikin pernah mengusir Nabi Saw dan para sahabat dari kota mekahdengan cara memfitnah agama islam. Kemudian mereka melarang dan menghalang-halangi kaum muslimin yang hendak memasukinya kembali untuk tujuan ibadah. Rasulullah dan para sahabat rela di perlakukan demikian dengan syarat mereka bisa kembali tahun depan dan diperbolehkan memasuki mekah untuk melakukan ibadah haji serta bermukim disana selama tiga hari. Tetapi setelah datang waktunya, orang-orang Quraisy mengingkari janjinya, sehingga Allah mengijinkan kaum muslimin memerangi mereka sebagai tanda rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kaum muslimin. Dengan demikian kaum muslimin memperoleh kemenangan dan kembali ketanah airnya dengan selamat dan tenang setelah sekaligus melaksanakan ibadah haji. Demikianlah kaum muslimin telah bangkit melawan penghianatan kaum Quraisysetelah mendapat izin dari Allah.




Sebab Dibolehkannya Memerangi kaum Musyrikin

Pada ayat berikut ini Allah telaah menyatakan pengecualian terhadap izin membunuh kaum musyrikin (yang memerangi) yang boleh dibunuh dimana saja mereka berada sekalipun di Masjidil-Haram, ayat tersebut berbunyi:

Sesungguhnya barang siapa di antara mereka masuk kedalam Masjidil-Haram maka amanlah ia. Kecuali apabila mereka masih tetap bertempur dan merusak kehormatan masjidil Haram, maka pada saat itu tidak ada aman baginya.

Mengingat bahwa melakukan pertempuran di dalm Masjidil-Haram bagi kaum muslimin dianggap sebagai hal yang tabu dan berdosa, maka Allah memperkuat izin-Nya dengan syarat yang telah di sebutkan tadi. Kemudian Allah SWT. Berfirman:

Janganlah kalian menyerah kepada mereka, perangilah mereka yang telah memerangi kalian. Sesungguhnya mereka yang mendahului perang itulah yang berlaku Zalim, sedangkan bagi yang mempertahankan diri tdaklah ia berdosa.

Demikianlah sunnatullah yang telah berlaku, membahas perbuatan orang-orang kafir dengan balasan semacam itu, dan menyiksa mereka dengan siksaan yang serupa itu pula. Sebab mereka telah melewati batas ketentuan Allah.

Apabila mereka berhenti dari Peperangan atau dari kekufuran mereka, maka Allah menerima amal mereka, sebab Allah maha pengasih kepada hamba-hamba_Nya.

Perangilah mereka sampai lemah dan tidak berdaya lagi memfitnah agama kalian. Atau sampai mereka tidak bisa lagi menyakiti kalian dalam melaksanakan agama kalian atau mencegah kalian dalam melancarkan da’wah agama.

Perintah berperang pada kalimat pertama menjelaskan permulaan diperbolehkannya berperang. Sedangkan pada kalimat ang kedua menunjukkan tujuan-tujuan di perbolehkannya berperang, yaitu supaya jangan sampai ada fitnah lagi dalam agama kalian.

Di dalam ayat tersebut jelaslah bagaimana Islam mengatasi semua faham dan ajaran. Disitu di jelaskan bahwa maksud peperangan itu adalah untuk menangkis serangan, menghentikan kezaliman dan penganiayaan. Oleh karena itu jika peperangan sudah menghentikan serangan dan kezalimannya, tidak membuat finah dan kekacauan lagi, habislah kewajiban memerangi mereka itu menurut hukum agama islam. Berarti peperangan itu tidak boleh di mulai atau diteruskan lagi, kecuali terhadap mereka yang menganiaya atau yang zalim, yang masih melakukan penganiayaan dan kezaliman, yang masih suka menghasut-hasut, memfitnah, mengacau, dan memaksa-maksa orang meninggalkan agama atau menghalang-halangi orang beramal.
Adapun ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslim memerangi segenap kaum musyrik dimana juga mereka bertemu dengan tidak di beri ampun, perintah-perintah yang serupa itu ialah perintah sewaktu dalam peperangan, api peperangan sedang berkobar, dan bukan merupakan sebab untuk menyatakan perang. Seperti telah di jelaskan dalam Al-Qur’an:
Allah Swt berfirman yang artinya: “Perangilah, hai orang-orang yang beriman, demi menegakkan Kalimat Allah dan memuliakan agama-Nya,orang-orang yang memerangi kamu, dari golongan ahli kufar, dan dalam peperangan itu janganlah melanggar norma-norma kemanusiaan dengan mengadakan pembunuhan terhadadap anak kecil, orang-orang wanita yang lanjut usia, yakni orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan berperang, sebab Allah membenci tindakan kesewenang-wenangan dan pelanggaran, apapun sumbernya.

Perangilah mereka di mana saja kamu menemui dan menjumpai mereka. Keberadaan kamu di tanah suci janganlah menghalangi kamu dari memerangi mereka. Dan usirlah mereka dari tempat dari mana mereka telah mengusir kamu secara dhalim dan sewenang-wenang dahulu, yaitu Makkah, negeri asalmu. Memfitnah dan mengintimidasi orang-orang yang beriman dengan jalan penyiksaan, pengajaran, dan pengusiran dari tanah tumpah darah, serta penyitaan terhadap harta benda, ke semuanya itu lebih keji dari pada pembunuhan.

Pembagian Jihad

Jihad adalah jalan menuju kejayaan Islam, maka jihad diwajibkan atas setiap mukmin untuk menjalankannya sesuai dengan kemampuan yang ada. Oleh karena itu, jihad yang harus dilakukan kaum muslimin adalah:
a. Jihad dengan lidah dan tulisan. Dengan kemampuan bicara dan menulis, kaum muslimin dapat melakukan jihad dengan menyampaikan dakwah islam yang benar, yaitu berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya, mentauhidkan Allah swt dan menjauhi Syirik kepada-Nya.

b. jihad dengan harta, yaitu membelanjakan harta yang Allah titipkan kepada kita untuk menyebarluaskan ajaran islam, seperti menerbitkan buku-buku, membantu kaum muslimin yang tertindas, dan juga untuk membeli persenjataan yang dibutuhkan demi mempertahankan diri dari serangan musuh.

c. jihad dengan jiwa dan raga. Yaitu berperang melawan musuh-musuh Islam di medan jihad seperti Ambon, Poso, Palestina, Afganistan, Bosnia, Cechnya, Moro, dll. Peperangan ini dilakukan untuk membela diri dari serangan musuh dan menjaga agar islam tetap jaya di negri-negri tersebut, sebagaimana Sabda Rasulullah saw, “Perangilah orang-orang musyrik dengan harta dan jiwa kalian serta dengan lidah kalian.” (HR. Abu Daud).
B. Radikalisme
Yang dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.

Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme bagi kelompok Islam garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan, fundamentalis, militan dan sebagainya. M.A. Shaban menyebut aliran garis keras (radikalisme) dengan sebutan neo-khawarij.8 Sedangkan Harun Nasution9 menyebutnya dengan sebutan khawarij abad ke dua puluh (abad 21-pen) karena memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan khawarij pada masa pascaTahkim
Islam sebagai agama damai sesungguhnya tidak membenarkan adanya praktek kekerasan. Cara-cara radikal untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan apa yang dianggap sakral bukanlah caracara yang Islami. Di dalam tradisi peradaban Islam sendiri juga tidak dikenal adanya label radikalisme. Istilah radikalisme Islam berasal dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan).10 Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam perspektif Barat sering dikaitkan dengan sikap ekstrim, kolot, stagnasi, konservatid, anti-Barat, dan keras dalam mempertahankan pendapat bahkan dengan kekerasan fisik. Penggunaan istilah radikalisme atau fundamentalisme bagi umat
Islam sebenarnya tidak tepat karena gerakan radikalisme itu tidak terjadi di setiap negeri Muslim dan tidak dapat ditimpakan kepada Islam. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosiohistoris. Gejala praktek kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara historis-sosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial-politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan. Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesarbesarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan. Akibatnyam tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat yang perlu dicurigai.

Masyarakat Barat telah memberikan klaim peradaban atas Islam sementara proses peradaban Islam sedang membentuk jati dirinya. Hal yang demikian tidak berarti pembenaran perilaku radikalisme yang dilakukan umat Islam karena apapun alasannya praktek kekerasan merupakan penggaran norma keagamaan sekaligus pelecehan kemanusiaan.

Dengan demikian maka jelas bahwa label radikalisme yang dialamatkan oleh Barat kepada Islam merupakan pelecahan agama karena di dalam Islam tidak ada perintah menuju kekerasan. Istilah salah kaprah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika barat mau mengkaji Islam secara objektif bahwa Islam normatif terkadang tidak diimplementasikan oleh sekelompok Muslim dalam konteks historissosiologis.
Islam berbeda dengan perilaku Muslim, artinya kebutralan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang keladi radikalisme. Sebaliknya, kelompok-sekolompok kecil umat Islam yang fanatik dan mengarah kepada benturan dan kekerasan juga menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia. Gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok orang, termasuk Muslim,
merupakan kanker rohani yang kronis yang mengancam manusia dan kemanusiaan.

Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :

Pertama, faktor-faktor sosial-politik. Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan yang secara salah kaparah oleh Barat disebut sebagai radikalisme Islam itu lebih tepat dilihat akar permasalahannya dari sudut konteks sosial-politik dalam kerangka historisitas manusia yang ada di masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra, bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi penopong utama munculnya radikalisme.
Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suciyang absolut) walalupun gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad dan mati stahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan subjektif.

Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari 12 bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang dianggap tidak sesuai. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme.

Keempat, faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syarri’at Islam.

Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.


C. Terorisme dan Radikalisme
Radikalisme agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos, 2002:1) menyatakan, “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi.
Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu munculnya radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti Agnihotra) diinisiasi menjadi Brāhmaṇa (dengan memberi kalungan benang Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut. Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun, melainkan atas dasar bakat (guṇa) dan pekerjaannya (karma). Tindakan Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci. Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis, apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris.
Tokoh radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya terhadap Agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira. Mahatma Gandhi sangat menekankan Ahiṁśa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di seluruh dunia.
Seperti telah disebutkan di atas, beberapa pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang radikal dalam arti radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian, radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang ditembak oleh orang dari kelompok Rashtriya Sevayam Sevak (RSS), demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan pengawalnya dari pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan bahkan tidak terkait dengan ajaran Agama Hindu.
Pengertian atau batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas 15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22) sebagai berikut.Kata ‘teroris’ (pelaku) dan ‘terorisme’ (aksi) berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘teror’ juga berarti bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya istilah ‘terorisme’ merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Lebih jauh di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa, terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Terorisme di Indonesia sering dan selalu mengatasnamakan agama seperti pengakuan pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga, Ahiṁśa dan Serangan Teroris (2005:52) menyatakan. “Jalan Kṣatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara beberapa orang akan mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan jasmani, outer battle) adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguh-sungguh terjadi adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna, sang mahaguru Yoga mendorong muridnya Arjuna, seorang pejuang besar untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan dan ingin mengikuti jalan non kekerasan. Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur? Ada dua hal yang utama dari Ahiṁśa di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah Ahiṁśa sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi, bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi non kekerasan pada semua level. Yang kedua adalah Ahiṁśa sebagai salah satu prinsip politik, Ahiṁśa dari para pejuang atau Kṣatriya, yang diikuti oleh mereka yang memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang spiritual yang sering tidak dapat membela diri mereka sendiri dan menjadi target manusia keduniawian. Krishna menganjurkan Kṣatriya Ahiṁśa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan datang, seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rāma dan Lakṣamaṇa untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang sangat tua”.
Lebih jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah jawaban keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan tidak hanya mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam”.


2. Radikalisme dalam Islam

Dalam sebuah penyergapan terhadap Noordin M. Top di salah satu tempat persembunyiannya di Semarang, polisi menemukan bukti penting berupa video rekaman pengakuan tiga pelaku pengeboman bunuh diri di Bali pada tanggal 1 Oktober lalu. Dalam video itu, Mochamad Salik Firdaus, salah seorang pelaku bom bunuh diri di jimbaran Bali, menyatakan bahwa serangan bom bunuh diri itu dilakukan atas dasar keyakinan bahwa pelakunya akan masuk surga, “Kakakku serta istriku tersayang, insya Allah ketika dirimu melihat ini, insya Allah saya sudah berada dalam jannah (surga). Dalam al-Qur`an dan Hadis disebutkan bahwa ruh orang yang syahid itu berada dalam tembolok burung hijau yang terbang di dalam jannah.” Demikian ujar Salik.
Tidak lama waktu berselang, dalam operasi penggerebegan terhadap Dr. Azahari di Batu, ditemukan beberapa surat miliknya yang belum sempat dikirimkan untuk istrinya. Dalam salah satu suratnya, Dr. Azahari menulis, “Doakan abang mati syahid. Karena mati syahid adalah cara mati yang sempurna.” Beberapa surat kabar mengutip ucapan Imam Samudera, terpidana mati kasus bom Bali I, yang menyatakan iri kepada Dr. Azahari yang mati tertembak saat penyerbuan polisi di kota Batu Malang pada tanggal 9 November 2005. Menurutnya, Dr. Azahari mati syahid dan sekarang ia telah masuk surga, sementara dia masih hidup di dunia ini.
Keyakinan bahwa serangan bom bunuh diri merupakan sebuah jihad juga yang dijadikan alasan utama tiga terpidana mati bom Bali I (Imam Samudera, Amrozy dan Ali Ghufron) menolak meminta Grasi. Dalam otobiografinya Imam Samudera menulis:
“Dengan memohon Grasi berarti menyesali perbuatan yang telah dilakukan. Menyesalinya berarti menyesali keyakinan. Berarti pula mengkhianati keyakinan itu sendiri, mengkhianati Islam. Nau’udzu billah min dzalik. Memohon Grasi berarti pula membenarkan hukum kafir. KUHP adalah jelas produk kafir. Mengakui ada “kebenaran” di luar Islam adalah sikap yang membatalkan syahadat. Tsumma nau’udzu billah min dzalik.”
Ketiganya tidak merasa bersalah atas apa yang mereka perbuat, sekalipun kerugian yang ditimbulkan sangatlah besar termasuk jumlah korban meninggal. Mereka menganggap perbuatan mereka sebagai sebuah jihad yang bernilai ibadah. Dan anggapan ini memiliki justifikasi doktrin Agama berdasarkan beberapa ayat al-Qur`an dan Hadis, yang diinterpretasi secara parsial dan tekstual. Salah seorang terpidana perkara terorisme karena pernah menyembunyikan Azahari dari kejaran polisi menjelaskan alasan pengeboman yang dilakukan Azahari, “Bagi dia, operasi-operasi itu bagian dari jihad. Dan itu, bagi dia, ada pemahaman fikihnya. Bahwa jihad itu hukumnya fardhu kifayah. Seorang Amir, pimpinan sebuah negara, wajib melakukan operasi militer setahun sekali. Ini dapat dibaca dalam buku karangan Ibnu Nuhas, ulama abad ke-7 Hijriyah, Masari’ul Aswaq ‘ala Masyari’ul Isyaq.”
Namun demikian, tidak sedikit orang menganggap kasus terorisme tidak semata dipicu oleh kekeliruan pemahaman ajaran agama. Karena seseorang yang fanatis dengan agamanya, belum tentu semerta-merta menjadi fundamentalis yang radikal. Cendekiawan agama seperti Gus Dur, Cak Nur, Frans Magnis Suseno mencontohkan kehidupan beragama yang harmonis dan penuh toleransi, serta sikap saling menghormati bekerja sama. Selain itu, keberagamaan bersifat abstrak dan konsekuensi ketaatan atau kedurhakaan terhadap ajaran agama tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia. Orang kristen yang rajin mengikuti kebaktian di gereja tidaklah berbeda dengan orang kristen yang malas datang ke gereja. Demikian juga orang Muslim yang rajin melakukan shalat, tidaklah menampakkan perbedaan gejala-gejala sosial yang membedakannya dari muslim yang sering bermaksiat.
Lain halnya dengan faktor ekonomi, sosial dan politik yang secara langsung menyangkut hajat hidup manusia. Seseorang yang terputus mata pencarian dan sumber ekonominya, misalnya, akan langsung merasakan lapar akibat tidak mampu membeli makanan. Di waktu yang sama ia tidak dapat memenuhi hajat hidupnya dengan baik. Secara fisik, orang yang lapar akan terlihat berbeda dengan orang yang kenyang, sebagaimana orang yang kaya akan memiliki kesempatan yang berbeda dibanding orang miskin. Kebijakan politis yang dianggap merugikan juga bisa menimbulkan gejolak radikalisme dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya kebijakan kenaikan BBM yang disambut dengan ramainya demonstrasi penolakan dari rakyat.
Dari sini timbul asumsi bahwa faktor ekonomi, sosial, dan politik adalah pemicu utama timbulnya radikalisme. Dan dalam konteks dunia Islam, perasaan tertekan akibat dominasi barat dalam semua sisi kehidupan, dan rasa inferioritas yang ada dalam diri kebanyakan kaum Muslimin di hadapan superioritas Barat, menumbuh kembangkan benih-benih radikalisme. Karena ketika dialog kebudayaan antara umat Islam dan barat dianggap telah gagal dan menemui kebuntuan. Maka upaya anarkis demi mempertahankan eksistensi diri menjadi pilihan sebagian kecil umat Islam.
Ada juga orang yang berasumsi bahwa radikalisme yang ada di Indonesia yang berujung pada aksi teror bom, dilakukan karena keputusasaan dari para pelakunya akibat depresi dan tekanan psikologis. Para pelaku bom bunuh diri dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki “masa depan” dan kebahagiaan duniawi sehingga nekat memilih mengakhiri hidupnya agar dapat segera meninggal dunia dan segera masuk surga. Namun nampaknya anggapan ini kurang beralasan. Dalam otobiografinya, Imam Samudera mengisahkan dirinya yang selalu menjadi juara kelas, sempat menjadi siswa teladan se-kecamatan Serang, dan pernah mendapatkan beasiswa prestasi. Dr. Azahari juga bukan orang yang memiliki kehidupan buram. Ia adalah doktor statistik lulusan universitas Reading Inggris dan menjadi dosen di Universitas Teknologi Malaysia (UTM), Skudai, Johor. Bahkan ia pernah bekerja sebagai konsultan properti papan atas di Indonesia.
Dengan membaca otobiografi Imam samudera, catatan-catatan Dr. Azahari, dan pengakuan-pengakuan pelaku bom lainnya, kita dapati bahwa aksi teror (jihad?) yang mereka lakukan merupakan pilihan hidup, bukan semata-mata pelarian dari kehidupan yang “tidak bermasa depan”.
Namun dengan melihat rekaman pengakuan para pelaku bom Bali II, serta buku dan propaganda yang digaungkan para pelaku teroris, anggapan di atas menjadi kurang relevan. Achmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TPM), mengungkapkan bahwa sampai saat ini timnya meragukan bahwa musibah bom legian dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, kecuali oleh suatu sebab sebuah pengakuan yang hanya dilandasi oleh semangat berjihad dan rasa militansi yang tinggi. Pernyataan ini cukup beralasan karena pengungkapan fakta persidangan perkara Imam Samudra, pembuktian terhadap tindak pidana pelakunya relatif minim, dibandingkan dengan pengungkapan banyaknya jumlah korban dan meterial semata.
Nampak bahwa pemicu timbulnya kasus terorisme yang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, adalah radikalisme agama. Dan jika asumsi ini benar, maka kekeliruan intepretasi doktrin agama yang dilakukan secara literalis dan sempit merupakan faktor dominan pemicu timbulnya radikalisme di Indonesia. Bukan karena ajaran dan doktrin agama itu sendiri. Doktrin-doktrin agama yang dijadikan dalil dan landasan oleh para pelaku terorisme, lebih tepat disebut sebagai justifikasi psikologis bagi kejahatan terorisme yang sebenarnya ditolak dan dibenci oleh hati nurani mereka sendiri. Karena agama manapun memiliki ajaran universal berupa kasih sayang dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Kemudian pelabelan radikalisme dan ekstrimisme kepada sebuah agama tertentu, Islam misalnya, merupakan hal yang tidak tepat. Karena fenomena terorisme yang dilakukan kaum fundamentalis terjadi dalam semua agama. Muladi mencontohkan kasus teror di Pakistan yang dilakukan oleh ekstrimis Hindu, sementara di Irlandia pelaku terornya adalah ekstrimis Kristen Katholik.
Tulisan pendek ini mencoba memberikan analisa penyebab timbulnya radikalisme agama yang berujung kepada perilaku terorisme. Dan dalam konteks Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, perilaku terorisme yang mengatasnamakan jihad.
B. Al-Qur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Al-Qur`an, sebagaimana kitab-kitab suci lainnya, memuat ajaran dan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup penganutnya. Hal ini tertuang dalam firman-Nya:
       ••                                        
“(Yaitu) Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang bathil)” (QS. al-Baqarah/2:185).
Ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur`an memerlukan seseorang yang menjelaskannya dan memberikan teladan pelaksanaannya, sebagaimana dalam firman-Nya:
       ••      
“... Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl/16:44).
Berdasarkan dua ayat di atas kita ketahui bahwa sumber hukum dalam agama Islam adalah firman-firman Allah, dan orang yang memiliki otoritas resmi untuk menafsirkan dan menjelaskan maksud-maksudnya adalah Rasulullah. Yang dimaksud dengan Firman Allah adalah al-Qur`an, sementara penjelasan dan penafsiran dari Rasulullah termaktubkan dalam Hadis. Dalam sebuah Hadis Rasulullah bersabda, “Sungguh aku telah tinggalkan bagi kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan tersesat selamanya (dengan berpedoman kepada keduanya), yaitu Kitabullah (al-Qur`an) dan Sunnahku”. (HR. al-Hâkim dan al-Daruquthni).
Firman Allah beserta penjelasan Rasul-nya terputus seiring dengan wafatnya Rasulullah. Padahal permasalahan umat manusia bertambah banyak dan semakin kompleks, sementara al-Qur`an dan Hadis tidak memberikan solusi atas semua permasalahan yang muncul pasca kemangkatan Rasulullah. Hal ini sudah diantisipasi Rasulullah saat mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mengajarkan agama Islam dan memberikan keputusan atas perselisihan yang terjadi di negeri itu,
“Bagaimana caramu memutuskan perselisihan yang timbul di masyarakat” tanya Rasulullah kepada Mu’adz.
“Aku akan memberikan keputusan sesuai dengan hukum yang ada di dalam Kitabullah” jawab Mu’adz.
“Lalu jika engkau tidak mendapati solusinya di dalam Kitabullah?” tanggap Rasulullah.
“Aku akan memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah”
“Dan semisal dirimu masih tidak mendapatkan solusinya dalam Sunnah Rasulullah?”.
“Aku akan berijtihad” jawab Mu’adz.
Rasulullah membenarkan tahapan dan cara yang digunakan Mu’adz guna menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Seraya menepuk dada Mu’adz, beliau bersabda “Segala puji bagi Allah Yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah sesuai dengan yang diridhai Rasulullah” (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Dari sini dapat dipahami, bahwa selain al-Qur`an dan Hadis, Islam juga mengenal ijtihad ulama sebagai sumber hukum ketiga, yaitu ketika al-Qur`an dan Sunnah tidak memberikan jawaban dan solusi dari permasalahan yang ada. Dalam Surat An-Nisa` ayat 59 Allah berfirman,
                              
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Al-Qur`an dan Hadis berbahasa Arab yang dikenal memiliki beberapa karakteristik yang unik, misalnya kemungkinan setiap kata dan ungkapan dapat dipahami secara denotatif (hakiki) dan konotatif (majazi). Di waktu yang sama, satu kata terkadang memiliki lebih dari satu makna, dan satu ungkapan memiliki lebih dari satu intepretasi. Sementara ijtihad ulama (ulul amri) tidak dapat dipungkiri mengandung bias dan subyektivitas dari masing-masing mujtahid.
Dengan satu ayat tertentu, seseorang dapat memformulasikan sebuah hukum, sementara orang lain dengan menggunakan ayat yang sama dapat mengeluarkan hukum kebalikannya. Bahkan sebuah ayat yang secara gamblang menjelaskan sesuatu, dengan pendekatan ilmu yang berbeda-beda dapat memberikan penafsiran yang keluar dari konteks ayat. Misalnya ayat 40 surat An-Nahl yang artinya,
          
“Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan baginya, “jadilah!”, maka jadilah sesuatu itu.”
Berkata al-Baihaqi:
“Allah menyatakan bahwa ketika menghendaki sesuatu, Dia berkata “Kun!”. Kalau perkataan (kalam)-Nya makhluk, pastilah ada ta’alluq (keterkaitan) dengan perkataan (“Kun!”) lain, demikian juga hukum perkataan itu, hingga tidak ada batasnya. Hal ini mengakibatkan kemustahilan adanya perkataan (al-qaul), dan ini mustahil terjadi“.

Secara eksplisit, ayat di atas menerangkan ke-Maha Kuasaan Allah Ta’ala, yang mampu menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya dan kapan saja Dia kehendaki. Namun dengan penafsiran teologis, makna ayat menjadi dalil keqadiman al-Qur`an yang sudah tentu merupakan sebuah “pemaksaan”, karena penafsiran ayat ini sebagai dalil keqadiman al-Qur`an, tentu tidak diterima oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa al-Qur`an adalah makhluk (tidak qadim). Akibatnya, ayat ini justru menjadi bahan perdebatan di antara umat, bukan menjadi hidayah yang diamalkan seluruh umat.
Al-Qur`an dan Hadis diturunkan berdialog dengan kondisi masyarakat yang ada (musayarah al-hawadits). Keduanya ada untuk membentuk masyarakat dan individu masyarakat yang ideal. Perilaku menyimpang dan kejahatan-kejahatan dibenarkan dengan caranya yang khas dan unik. Perbudakan misalnya, Islam tidak menghendaki adanya perbudakan di muka bumi, karena kemerdekaan diri dan HAM merupakan hak yang dianugerahkan Tuhan untuk setiap manusia. Namun Islam turun dalam masa di mana perbudakan tersebar luas. Tidak hanya di kawasan Saudi Arabia, tetapi juga di kawasan lain. Dari sini menjadi aneh ketika al-Qur`an dan Hadis tidak memberikan aturan yang berkaitan dengan masalah perbudakan, kecuali jika keduanya memang tidak diturunkan untuk mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. Namun demikian, al-Qur`an dan Hadis menghendaki perbudakan hilang di muka bumi, dan memberikan aturan-aturan yang mendukung upaya membebaskan manusia dari belenggu perbudakan, misalnya dengan menetapkan hukuman memerdekakan budak sebagai kaffarah (balasan) dari kesalahan atau kedurhakaan tertentu.
Demikian pula saat al-Qur`an diturunkan dan Hadis disabdakan, peperangan merupakan hal yang lumrah terjadi antar qabilah dan antar kerajaan/imperium (negara). Akan menjadi aneh jika al-Qur`an dan Hadis lalai memberikan aturan dan tata cara berperang.
Dari sini, menjadi sebuah kewajaran bila kita temui banyak ayat al-Qur`an dan Hadis yang mengatur peperangan. Setidaknya ada tiga surat dalam al-Qur`an (al-Anfâl, al-Maidah, dan Muhammad/al-Qital) yang memuat banyak aturan dan etika perang, demikian juga jihad. Hal ini menunjukkan betapa permasalahan peperangan dan jihad mendapat perhatian yang besar. bandingkan dengan permasalahan wudhu yang hanya terdapat dalam satu ayat (QS. al-Maidah/5:6).

3. Geneoagi Radikalisme
Terkadang kita sering menyamakan istilah “fundamentalisme”
dan “radikalisme”. Padahal, keduanya berbeda walaupun berasal dari akar yang
sama. Fundamentalisme (al-ushuliyah) lebih merupakan sebuah keyakinan
untuk kembali pada fundamen-fundamen agama. Maknanya bisa positif atau negatif.
Ekses negatif yang diakibatkan dari pandangan yang fundamentalis ini adalah sikap
kekerasan (radikalisme ekstrem).
Penyandingan kekerasan dengan radikalisme disebabkan karena
gejala dalam realitas sosial yang sering nampak. Kelompok radikal sering
menggunakan cara-cara kekerasan dalam memenuhi keinginan atau kepentingan
mereka. Tapi, kelompok radikal tidak identik dengan kekerasan. Dalam tulisan
ini, yang dimaksud dengan radikalisme agama adalah “sikap keagamaan yang kaku
dan juga sekaligus mengandung kekerasan dalam tindakan”. Penyebutan ini
dimaksudkan untuk mempermudah kategorisasi.
Geneaogi radikalisme agama muncul karena beberapa sebab.
Dalam kasus Islam, misalnya, Hassan Hanafi (2001) menyebut --paling tidak-- ada
dua sebab kemunculan aksi kekerasan dalam Islam kontemporer. Pertama,
karena tekanan rezim politik yang berkuasa. Kelompok Islam terentu tidak
mendapat hak kebebasan berpendapat. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi
sekuler rezim yang berkuasa, ehingga kehadiran fundamentalisme atau radikalisme
agama dianggap sebagai alternatif ideologis satu-satunya pilihan yang nyata
bagi umat Islam.
Kekerasan dalam agama muncul karena ketiadaan kemampuan
dalam menghadapi modernitas dan perubahan. Perlu digarisbawahi,
fundamentalisme merupakan spirit gerakan dalam radikalisme agama.
Pembacaan atas fundamentalisme pernah digarap oleh Martin E. Marty dan R. Scott
Appleby dalam Fundamentalisms Observed (Chicago dan London,1991). Mereka menyatakan bahwa fundamentalisme-fundamentalisme itu merupakan mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. Yaitu krisis keadaan yang akan menentukan eksistensi mereka. Karen Armstrong (2000) juga menyatakan bahwagerakan fundamentalisme yang berkembang pada masa kini mempunyai hubungan erat dengan modernitas.
Karena gerakan radikalisme itu muncul sebagai respon atas modernitas maka kita sebaiknya melihat hubungan antara tradisi dan modernitas secara obyektif. Dalam tubuh modernitas juga mengandung banyak ekses negatif. Kita tidak dapat memungkiri bahwa pengaruh modernitas juga memberikan implikasi kerusakan bagi eksistensi kemanusiaan. Modernitas perlu diantisipasi pula. Tapi, antisipasi yang dilakukan tidak menyebabkan “totalitas” penolakan atas dasar agama. Modernitas adalah sebuah fase sejarah yang mengelilingi kehidupan manusia, di mana terdapatsisi positif dan juga negatif.

Solusi atas Kekerasan
Kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, eksplorasi atas makna-makna perdamaiandalam Islam telah dicemari oleh beberapa perilaku kekerasan oleh gerakan radikal. Tugas kaum agamawan adalah bagaimana menawarkan solusi atas kekerasan ini agar ada pernyataan bahwa kekerasan bukanlah ajaran Islam.
Fakta beberapa oknum pelaku pengeboman atau terorisme yang dilakukan oleh kelompok agama (Islam) memang bisa saja dibenarkan bahwa itu dilakukan oleh beberapa kelompok Islam radikal. Tapi, apakah penampilan Islam pasti seperti itu? Tidak. Apa yang dilakukan oleh gerakan Islam radikal sudah mengandung kompleksitas kondisional. Artinya, dengan tameng agama, apa yang mereka lakukan juga merupakan penyertaan pada sisi politis, ideologis, dan kepentingan non-agama yang melingkupi aksi mereka. Jadi, itu bukan an sich karena sisi penafsiran yang merupakan hasil pemaknaan agama yang sempit saja.
Dengan meminjam analisis Michael Faucoult, apa yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal sudah menggiring agama dalam hubungannya antara pengetahuan dan kekuasaan (power and knowledge). Pengetahuan yang ingin diwacanakan oleh kelompok Islam radikal adalah bahwa
hukum Tuhan (ahkamullah) harus diimplementasikan dalam kehidupan
manusia. Dalam lokus politik, biasanya wacana yang digelar yaitu bentuk
penyatuan ad-dien wad-daulah (agama dan negara). Tapi, wacana
(pengetahuan) agama itu diperkuat dengan perangkat kekuasaan. Sehingga, gerakan
yang mereka lakukan sudah sangat mengandung unsur ideologis. Ekses negatif
karena tindak kekerasan menyebabkan agama menjadi berwajah buruk. Untuk itulah
kaitan agama dan kekuasaan harus dipisahkan.
Karena kekerasan itu akibat dari modernitas, maka Peter L. Berger (2003) menawarkan dua strategi untuk merespon modernitas dan sekularisasi ini, yaitu “revolusi agama” (religious revolution) dan “subkultur agama” (religion subcultures). Yang pertama adalah bagaimana kaum agamawan mampu merubah masyarakat secarakeseluruhan dan menghadirkan model agama yang modern. Dan yang kedua adalah bagaimana upaya kita untuk mencegah pengaruh-pengaruh luar agar tidak mudahmasuk ke dalam agama.
Gerakan Islam radikal muncul karena pemahaman agama yang cenderung tekstualis, sempit, dan hitam-putih. Pemahaman seperti ini akan dengan mudah menggiring sang pembaca pada sikap keberagamaan yang kaku. Pembacaan agama tidak bisa terlepas dari konteks historisnya. Pemahaman agama sangat dimanis. Untuk itulah, pembacaan yang terbuka akan menghindarkan kita dari sikap-sikap yang berbau kekerasan.
Solusi yang bisa ditawarkan dalam menyikapi fenomena radikalisme agama antara lain: pertama, menampilkan Islam sebagai ajaran universal yang memberikan arahan bagi terciptanya perdamaian di muka bumi. Kedua, perlu ada upaya penggalangan aksi untuk menolak sikap kekerasan dan terorisme. Aksi ini melibatkan seluruh kelompok-kelompok dalam agama-agama yang tidak menghendaki hal demikian. Terorisme dan kekerasan adalah bentuk pelecehan atas nama agama dan
kemanusiaan. Ketiga, sudah saatnya kita menumbuhkan karakter keberagamaan yang moderat. Memahami dinamika kehidupan ini secara terbuka dengan menerima pluralitas pemikiran “yang lain” (the other), yang ada di luar kelompoknya. Keberagaman yang moderat akan melunturkan polarisasi antara fundamentalisme dan sekularisme dalam menyikapi modernitas dan perubahan. Islam yang di tengah-tengah (ummatan wasathan) akan membentuk karakter Islam yang demokratis, terbuka, dan juga rasional.
Islam hadir juga untuk memenuhi panggilan kemanusiaan dan perdamaian. Adalah tugas kita semua untuk memberikan citra positif bagi Islam yang memang berwajah humanis dan anti-kekerasan ini. Hanya sejarahlah yang akan membuktikan apakah agama mampu hadir seperti yang dicita-citakannya. Wallahu A’lam bish-Shawab.


Bab III
Penutup

A. KESIMPULAN

SARAN

Karena masih terbatasnya kemampuan kami dalam membuat makalah tentang judul Teologi dan Filsafat dari sumber yang kami dapatkan, maka seyognya kepada para pembaca sudikiranya untuk mengkaji lebih dalam pembahasan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA

 Al-Anshari, Fauzan; Abdurrahman Madjrie, Pedoman Jihad, Menang atau Syahid, (Jakarta: Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia, 2003)
 Boy ZTF, Pradana. Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh, Malang : UMM Press, 2003
 Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
 Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Bandung : Mizan, 2001
 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005) cet ke-38
 Sitanggal, Anshari Umar; Pery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Tafsir Al- Maragi, (Semarang: Toha Putra, 1993) cet ke-2