Powered By Blogger

Minggu, 02 Januari 2011

makalah filsfat ilmu tentang humanisme

Bab I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah
Gerak pendulu sejarah peradaban umat manusia, biasanya selalu diawali dengan munculnya berbagai pemikir dan pemikiran yang melakukan pemberontakan atas segala keadaan pada zamannya. Pemikir, baik itu ilmuwan terlebih para filsuf merupakan representasi munculnya ‘kegelisahan’ atas situasisituasi yang melingkupinya. Kegelisahan itu kemudian melahirkan sejumlah pemikiran cerdas yang mengubah ‘tatanan’, mempertanyakan ‘kebenaran’ yang selama ini diterima begitu saja, menuju suatu progressivitas (kemajuan) peradaban kemanusiaan. Terminologi kemajuan (progress) sebuah peradaban kemudian menjadi satu-satunya ukuran kebenaran. Logika kebenaran peradaban adalah logika kemajuan dengan penemuan sains dan teknologinya sebagai salah satu ‘keunggulan’ komparatif manusia ‘maju’. Implikasi logisnya, peradaban modern; utamanya semenjak abad Renaisans, terlebih pada abad Pencerahan, -dengan demikian- adalah representasi kebenaran peradaban dengan mengesampingkan kenyataan historis ‘kemajuan’ yang dicapai abad-abad sebelumnya. sebagai gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang awalnya diinspirasikan oleh rasionalisme Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (enlightenment / aufklarung) dan mengabadikan dirinya hingga abd ke-20 melalui dominasi sains dan kapitalisme. Menariknya, hampir segenap bangunan peradaban modern, mungkin peradaban lainnya, selalu meletakkan ‘manusia’ sebagai subjek otonom, pusat kesadaran dunia yang mempunyai ‘hak’
penuh secara bebas mengembangkan kreativitasnya tanpa belenggu otoritas apapun, termasuk otoritas agama. Pada konteks inilah, humanisme sebagai sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan ‘kebebasan’ manusia; baik berpikir, bertindak dan bekerja, sebagai segalagalanya,berpengaruh secara signifikan terhadap munculnya bangunan peradaban
modern (mungkin juga lainnya).Persoalannya adalah bangunan peradaban yang meletakkan manusiasebagai pusat dan ukuran semua ‘ada’ (beings) telah memunculkan sejumlah problem serius justru terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini diperjuangkan oleh humanisme itu sendiri. Epistemologi humanisme yang bersandarkan diri pada kemampuan rasionalitas manusia dengan segala otoritasnya –utamanya di abad modern ini- melahirkan problem akut kemanusiaan; seperti penindasan, keterbelakangan, masalah lingkungan, politik apartheid, tirani, peperangan yang berkepanjangan, bahkan kasus genocide, sebagai pembunuhan total suatu bangsa oleh Nazisme Hitler terhadap orang-orang Yahudi, oleh Loytard disebut sebagai “Auschwitz’ (lambing pembantaian) dalam banyak hal lahir dari rahim ‘keangkuhan’ epistemology rasional-humanis. Keangkuhan epistemologi rasional ini pada perkembangan selanjutnya memunculkan ‘keangkuhan’ manusia untuk bebas menawarkan dan menebarkan prinsip prinsip rasionalisme ke dalam seluruh realitas. Manusia sebagai subjek otonom atas rasionalitas itu justru mengalami alienasi, keterasingan dan keterbelengguan oleh paradigma yang dicoba dikembangkannya. Pada dataran epistemologis, mega-proyek modernisme didirikan di atas pondasi rasionalisme Cartesian tersebut pada urutannya mengajak masyarakat modern untuk melihat realitas dunia ini, tidak ubahnya bagaikan sebuah mesin jam raksasa tanpa elemen spiritual yang terlihat menggerakkan. Epistemologi adalah cara pandang untuk memahami dan menangkap realitas. Epistemologi rasionalisme Cartesian yang sangat memuja subjek ‘aku’ yaitu I am the thinking thing, telah melahirkan semacam keangkuhan epistemologi bahwa realitas itu
bisa ditaklukkan melalui pendefinisian secara positif. Tatkala rasionalitaspositivisme diproklamirkan sebagai satu-satunya cara pandang terhadap realitas, yang muncul kemudian adalah mistifikasi terhadap validitas paham Cartesian, dan diluar itu tidak benar. Maka sejak itu terjadilan imperalisme cultural epistemologis

1.2 Pembatasan Masalah
Agar lebih fokos dan lebih efesien dalam pembahasan ini maka saya membatasi permasalahan ini menjadi bebrapa sub pokok pembahaan yang meliputi: Pengertian Humanisme,Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme,Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik,Ragam Implikasi Humanisme,Runtuhnya Epistemologi Rasional: Awal Krisis Dalam Humanisme



1.3 Rumusan Masalah
Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, maka penulis
mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud humanisme?
2. Bagaimana Sejarah humanisme?
3. Bagaimana implikasi dari humanisme?
1.4 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui teori tentang Humanisme
2. Mengetahui sejarah humanisme
3. Memahami bagaimana implikasi dari humanisme
1.5 Metode Penulisan
Dalam pembahasan filsafat ilmu ini saya menggunakan metode analisis deskriftif dari sumber-sumber yang kami peroleh










1.6 Sistematika Penulisan
makalah ini di buat 3 bab yang masing-masing bab di lengkapi sub-sub bab dengan sistemaitka sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
perusmusan masalahan, pembatasan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Pembahsan yang menguraikan tentang Pengertian Humanisme,Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme,Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik,Ragam Implikasi Humanisme,Runtuhnya Epistemologi Rasional: Awal Krisis Dalam Humanisme
Bab III : Penutup yang menguraikan tentang kesimpulan saran-
saran


















Bab II
Pembahasan
Filsafat Humanisme

2.1 Pengertian Humanisme
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa.
Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam)
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.
Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan. Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan di expresikan.
Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi yang menempatkan manusianya sendiri sebagai entitas-entitas marginal atau pinggiran (peripheral).Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
1. faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh.
2. Pragmatisme pun adalah humanisme, karena paham ini pun menempatkan manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
3. Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling sentral.
Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?
Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas.
Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik.
Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik? Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek .
Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya.
Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural). Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.

2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme
Sejarah perkembangan aliran filsafat humanisme ditelusuri pada masa klasik barat dan masa klasik timur. Dasar pemikiran filsafat aliran filsafat pendidikan ditemukan dalam pemikiran filsafat klasik cina konfusius dan pemikiran filsafat klasik yunani.
Aliran psikologi humanis itu muncul sebagai gerakan besar psikologi dalam tahun 1950-an dan 1960-an. Dimana perkembangan peradapan baru itu dikenal dengan nama renaisans yang terjadi pada abad 16. zaman renaisans dikenal dengan sebutan jaman kebangkitan kembali. Selain itu juga dikenal dengan nama jaman pemikiran (age of reason), perkembangan filsafat, ilmu, dan kemanusiaan mengalami kebangkitan setelah lama di kungkung oleh kekerasan dogma-dogma agama.
Humanisme sebagai suatu gerakan filsafat dan gerakan kebudayaan berkembang sebagai suatu reaksi terhadap dehumanis yang telah terjadi berabad-abad. Terjadi dalam dunia Eropa sebagai akibat langsung dari kekuasaan para pemimpin agama yang merasa menjadi satu-satunya otoritas dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agam yang kemudian diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Dalam kontek reaksi ini, pelopor humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap kebebasan memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini secara mandiri untuk mencapai keberhasilan hidup didunia.
Salah satu perkara yang seringkali menjadi sasaran kritik kaum liberalis terhadap para aktifis Islam ialah kurangnya jiwa sosial mereka. Aktifis Islam dianggap tidak humanis. Aktifis Islam sering dituduh hanya sibuk menjalin hablun-minallah (hubungan dengan Allah) dan mengabaikan hablun-minan-naas (hubungan dengan sesama manusia). Aktifis Islam hanya rajin ber-ibadah vertikal tapi lalai ber-’amal sholeh horizontal yang kemudian bisa dirasakan manfaatnya bagi orang lain. Oleh karenanya, ketika aktifis Islam dikomparasi dengan aktifis agama lainnya –aktifis gereja misalnya- maka mereka sering dianggap asosial, sedangkan para aktifis gereja dianggap sangat berjiwa sosial sehingga dipandang lebih humanis ketimbang para aktifis Islam. Benarkah demikian?

Stereotype seperti di atas jelaslah tidak benar. Begitu banyak pesan dari Al-Qur’an maupun Hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk peduli dengan sesama. Di antaranya sebagai berikut:


وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا

جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا



”... dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(QS Al-Isra ayat 23-24)


انَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ


Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah bicara yang baik atau diam. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah menghormati tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah menghormati tamunya.” (HR Bukhary-Muslim)
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad 18. periode perkembangan ini dimasukan kedalam masa penceraha (aufklarung). Tokoh humanis yang muncul adalah J.J Rousseu. Tokoh ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai metode untuk mencoba keparipurnaan tujuan-tujuan pendidikan.
Pada abad 20 terjadi perkembangan humanistic yang disebut humanisme kontemporer. Humanisme kontemporer merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia di era modern. Perkembangan lebih lanjut dari filsafat humanis ini adalah berkenaan dengan peran dan kontribusi filsafat eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam filsafat pendidikan humanistic.
Pemikiran filsafat eksistensialisme menyebutkan bahwa:
1. mannusia memilki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara mannusia satu dengan manusia lain. Dalam hal ini telaah tentang manusia diarahkan pada individualitas manusia sebagai unit analisisnya.
2. Eksistensialis lebih memperhatiakn pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah, dan metafisika tentang alam semesta.
3. Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama dan paling unik, karena setiap individu memilki kebebasan untuk memilki sikap hidup, tujuan hidup dan cara hidup sendiri
Aliran filsafat eksistensialis ini kemudian dikembangkan dalam dunia pendidikan karena fungsi pendidikan adalah memberikan proses perkembangan manusia secara otentik. Manusia otentik adalah manusia yang dalam kepribadian diri memilki tanggung jawab dan kesadaran diri untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup dalam alam hidup modern
Kedua aliran tersebut memberikan perkembangan pada aliran filsafat pendidikan humanisme. Hal ini dapat ditunjukan melalui pengembangan konsep perkembangan psikologis peserta didik dan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan humanistic setiap individu.
Aliran psikologi humanistic memiliki pandangan tentang manusia yang memilki keunikan tersendiri, memilki potensi yang perlu diaktualisasikan dan memilki dorongan-dorongan yang murni berasal dari dalam dirinya. Individu manusia yang telah bersasal dari dirinya (Hanurawan,2006).
2.3 Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik
Konsep pemikiran filsafat psikologi humanistic yang dikemukakan oleh filsuf humanis meliputi pandangan tentang hakeket manusia, pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia, konsep diri (self concept), dan diri individu serta aktualisasi diri (Hanurawan,2006). Konsep pemikiran tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pandangan tentang hakekat manusia
Hakekat manusia dalam pandangan filosuf humanistic adalah manusia memiliki hakekat kebaikan dalam dirinya. Dalam hal ini apabila manusia berada dalam lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensialitas dan diberi semacam kebebasan untuk berkembang maka mereka akan mampu untuk mengaktualisasikan atau merealisasikan sikap dan perilaku yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat pada umumnya .
2. Pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia
Penganut aliran humanistic memberikan pandangan bahwa setiap manusia memilki kebebasan dan otonomi memberikan konsekuensi langsung pada pandangan terhadap individualitas manusia dan potensialitas manusia. Individualitas manusia yang unik dalam diri setiap pribadi harus dihormati. Berdasarkan pandangan ini, salah satu upaya pengembangan sumber daya manusia yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan untuk mencapai hasil yang maksimal adalah pemberian kesempatan kepada berkembangnya aspek-aspek yang ada dalam diri individu.
3. Pandangan tentang diri (the self) dan konsep diri (self concept)
Diri (the self) menurut penganut filsafat humanis merupakan pusat kepribadian yang pengembangannya dapat dipenuhi melalui proses aktualisasi potensi-potensi yang dimiliki seseorang. Diri (the self) yang ada dalam diri seseorang digambarkan sebagai jumlah keseluruhan yang utuh dalam diri individu yang dapat membedakan diri seseorang dengan orang lain. (Dalam diri (the self) seseorang terdapat perasaa, sikap, kecerdasan, intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan karakteristik fisik.
Sedangkan konsep diri (self concept) menurut Kendler dalam Hanurawan 2006 merupakan keseluruhan presepsi dan penilaian subyektif yang memiliki fungsi menentukan tingkah laku dan memiliki pengaruh yang cukup besar untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan perkembangan individu merupakan potensialitas individu untuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan kemampuan manusia menghadirkan diri secara nyata (menurut maslow dalam Hanurawan 2006). Aktualisasi diri terwujud dalam diri manusia untuk memperoleh pemenuhan diri (self fulfillment) sesuai dengan potensi-potensi yang dimilikinya. Dengan aktualisasi diri, manusia mampu mengembang keunukan kemanusiaannya guna meningkat kualitas kehidupan serta dapat mengubah situasi kea rah yang lebih baik.
3. Implikasi Pendidikan Psikologi Humanis dalam Prose Pendidikan
Pandangan utama aliran filosofis pendidikan humanistic adalah proses pendidikan berpusat pada subyek didik. Roger dalam Dimyati dan Mudjiono (2002) berpendapat belajar akan optimal apabila siswa terlibat secara penuh dan sungguh serta berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam proses belajar. Proses pendidikan berpusat pada subyek didik, dalam hal ini peran guru dalam proses pendidikan sebagai fasiltator dan proses pembelajaran dalam kontek proses penemuan yang bersifat mandiri (Hanurawan,2006). Searah dengan pandangan tersebut maka hakekat pendidik adalah fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk itu seorang pendidik harus mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar mandiri. Proses belajar hendaknya merupakan kegiatan untuk mengeksploitasi diri yang memungkinkan pengembangan keterlibatan secara aktif subyek didik untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka system belajar yang cocok untuk pendidikan humanis ini adalah Enquiry Discovery yakni belajar penyelidikan dan penemuan. Dalam proses belajar mengajar system Enquiry Discovery ini guru tidak akan menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk final, dengan kata lain guru hanya menyajikan sebagian, selebihnya siswa yang mencari atau menemukan sendiri. Adapun tahapan dalam prosedur Enquiry Discovery adalah:
1. Stimulation (stimulasi/ pemberi rangsangan), yakni memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2. Problem statement (pernyataan / identifikasi masalah), yakni memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasikan sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian dipilih salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3. Data collection (pengumpulan data), yakni memberi kesempatan kepad para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis.
4. Data prosesing (pengolahan data), yakni mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sabagainya lalu ditafsirkan.
5. Verification (pentahkikan), yakni melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dihubungkan dengan data prosesing.
6. Generalization (generalisasi), yakni menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum
Melalui pembelajaran Enquiry Discovery / penemuan menurut Hanurawan (2006) akan dapat membawa pengalaman pada diri pembelajar dalam mengidentifikasi, memahami masalah-masalah yang dihadapi sehingga menemukan sesuatu pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Seperti telah dikemukakan diatas, dalam proses pembelajaran dengan enqiry discovery ini guru berperan sebagai fasilitator. Menurut Hanurawan (2006) fungsi tugas kefasilitatoran guru dalam KBM harus dapat menumbuhkan keyakinan dalam diri pebelajar dalam kegiatan yang dilakukan. Yang berarti guru harus dapat menstimulus pebelajar untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan kontek pembelajaran humanistic menurut Maslow bahwa guru adalah pembantu sekaligus mitra dalam melakukan aktualisasi diri.
Peran guru sebagai fasilitator menurut Abu dan Supriono,W (2004) dapat diwujudkan dengan memperhatiakan penciptaan suasana awal, situasi kelompok atau pengalaman kelas, memperjelas tujuan di dalam kelas. Menyediakan sumber-sumber belajar untuk dimanfaatkan pebelajar dalam rangka mencapai tujuannya, dan mengambil prakarsa untuk ikut dalam kelompok kelas.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran menurut pandangan psikologi humanistic yaitu:
1. Setiap individu mempunyai kemampuan bawaan untuk belajar.
2. Belajar akan bermanfaat bila siswa menyadari manfaatnya.
3. Belajar akan berarti bila dilakukan lewat pengalaman sendiri dan uji coba sendiri.
4. Belajar dengan prakarasa sendiri penuh kesadaran dan kemampuan dapat berlangsung lama dan ………..
5. Kreatifitas dan kepercayaan dari orang lain tumbuh dari suasana kebebasan.
6. Belajar akan berhasil bila siswa berpartisipasi secara aktif dan disiplin setiap kegiatan belajar
2.4 Ragam Implikasi Humanisme
Terminologi ‘humanisme’ pada dasarnya mempunyai makna yang beragam, bahkan menjadi tema yang sering diperdebatkan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bernauer dan Mahon sebagaiman dikutip oleh Leela Gandhi (1998: 27), bahwa ‘Kristianitas yang melakukan telaah atas agama Kristen, pengetahuan, anti pengetahuan, Marxisme, Eksistensialisme, Personalisme, Sosialisme nasional, dan Stalinisme, masing-masing menggunakan label humanisme pada suatu waktu. Ragam humanisme ini, bagaimanapun juga, disatukan dalam kepercayaan mereka yang mendasari beragamnya pengalaman manusia. Hal ini adalah mungkin, pertama untuk melihat sifat alami manusia yang universal dan kedua, untuk menemukan dalam bahasa umun rasionalitas. Hal ini berarti bahwa humanisme –pada dasarnya- dapat diimplikasikan (dan ditimpakan) pada berbagai aliran kefilsafatan. Hampir semua aliran kefilsafatan dalam keadaan tertentu mengakui dirinya sebagai humanis(me) karena meletakkan pendasaran epsitemologinya pada rasionalitas ‘manusia’ sebagai ukurannya, atau minimal menjadikan manusia (subjek) sebagai awal dari setiap penjelasan atas objek (realitas) secara otonom. Dengan mengacu bahwa manusia sebagai subjek otonom yang paling berperan dalam memahami realitas, dan juga manusia sebagai objek pembahasan oleh pemikiran manusia juga, maka sebagian besar pemikiran kefilsafatan bermuara pada prinsip dasar dari humanisme ini. Artinya, setiap penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala manusiawi, utamanya yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia, yang menempatkan manusia hanya sebagai entitas-entitas marjinal atau pinggiran dengan sendirinya tertolak. Menurut terminologi ini, maka tidak berlebihan bila sebagian besar aliran filsafat besar seperti Marxisme, Pragmatisme, dan Eksistensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme. Marxisme misalnya; terlepas dari bentuk otoritarianisme, ia berusaha mengedepankan prinsip mendudukkan manusia (masyarakat dan buruh) pada pusat kehidupan, yang secara teoretis harus dijunjung tinggi martabat dan kemanusiaannya. Dengan mendasarkan pada filsafat Marx; yang berusaha membebaskan manusia (buruh) dari belenggu produksi dan kerja, Marxisme menjadi gerakan kaum buruh untuk mewujudkan cita-cita kebersamaan, memberantas ketidakadilan, penindasan dan sebagainya. Begitu juga dengan aliran pragmatisme dan eksistensialisme, yang tetap memberikan ‘ruang’ bagi manusia sebagai subjek atau individu kongkret serta ukuran bagi segala-galanya. Bahkan Sartre (Bertens, 1987; 32-33), juru bicara eksistensialisme pernah memberikan ceramah menarik dengan judul Eksistensialisme adalah humanisme. Sebuah ceramah dari suatu diskusi Marxisme bahwa eksistensialisme juga berhak menggunakan ‘humanisme’. Dalam perkembangan selanjutnya istilah ‘humanisme’ menjadi tema utama bagi banyak filsuf untuk menguraikan filsafatnya; menariknya dengan tetap mendasarkan diri pada prinsip ‘humanisme’. Sebut saja seperti Maurice Merleau Ponty yang menulis Humanisme dan Teror (1969); suatu pembahasan tentang komunisme, kemudian Karl Jaspers tahun 1949 memberikan ceramah tentang Syarat-syarat dan Kemungkinan bagi Suatu Humanisme Baru, serta Martin Heidegger yang menulis surat berjudul Surat tentang Humanisme (1947), bahkan dari pihak Kristen mengadakan percobaan untuk mengklaim nama ‘humanisme’ sebagai missal Jacques Maritain, yang menulis Humanisme Menyeluruh (1936) yang menganggap humanisme Kristiani sebagai sintesa paling baik dari unsur-unsur humanistis yang tampak sepanjang sejarah, dari humanisme klasik di zaman Renaisans sampai dengan humanisme Marxistis dan humanisme Liberal. Menurut Leela Gandhi (1998: 38) dalam mempertahankan kepercayaannya,tokoh-tokoh prinsip humanis Marxis –misalnya- seperti Noam Chomsky, Frederick Jameson, dan juga Jurgen Habermas, menyatakan bahwa humanism menahan kemungkinan konsensus yang universal dan rasional antara individu-individu yang bertanggungjawab dengan memperhatikan konseptualisasi tatanan sosial yang ramah dan progresif. Sebaliknya, poststrukturalis dan posmodernis anti humanis menyatakan bahwa beberapa dalil normatif atau universalitas dari kebulatan suara rasional adalah totalitarian dan bertentangan dengan keberlainan dan perbedaan. Di lain pihak, terminologi humanisme juga mempunyai perluasan pemahaman. Sebagaimana disebut oleh Frederick Edword dalam What is Humanism ? (1989: 3) yang membuat ringkasan mengenai pengertian-pengertian humanisme, sebagai berikut:
1. Humanisme Renaisans; sebagai semangat belajar yang mulai berkembang pada akhir abad Pertengahan, ditandai dengan bangkitnya kembali karya-karya klasik dan keyakinan yang diperbaharui atas kemampuan manusia untuk menentukan kebenaran dan kepalsuan bagi diri mereka sendiri.
2. Humanisme literer, yakni penyerahan kepada budaya humanitas atau literer.
3. Humanisme budaya, yakni budaya rasional dan empiris, khususnya yang berasal dari Romawi dan Yunani Kuno, dan berevolusi sepanjang sejarah Eropa. Sekarang ini menjadi bagian yang mendasar dari pendekatan Barat terhadap ilmu pengetahuan, teori politik, etika dan hukum.
4. Humanisme filsufis, yakni pengekspresian cara hidup yang dipusatkan pada kebutuhan dan minat manusia, yang meliputi humanisme Kristiani dan Humanisme modern.
5. Humanisme Kristiani, yakni filsafat yang menekankan pemenuhan diri dalam rangka prinsip-prinsip Kristiani.
6. Humanisme modern, sebuah pemikiran filsafat yang menolak hal-hal supranatural. Ia bersandar pada kemampuan akal dan ilmu pengetahuan, demokrasi dan kasih sayang manusia. Humanisme modern mempunyai sifat; sekuler dan religius.
7. Humanisme sekuler, adalah perkembangan lanjutan dari era pencerahan abad ke-18 dan abad ke-19, serta,
8. Humanisme Religius sebagai humanisme yang muncul dari budaya etis, utilitarianisme dan universalisme. Leela Gandhi dalam bukunya Postcolonial Theory A Critical Introduction (1998) membuat sebuah kajian menarik tentang humanisme dalam hubungan dengan postkolonial. Dimana untuk mengenali humanisme melalui kajian postkolonial melahirkan dua pendekatan yang nyata secara kronologis atas sejarah dan akibat-akibat humanisme. Pertama, berkaitan dengan humanism sebagai program budaya dan pendidikan yang berawal dari kebangkitan Italia sekitar pertengahan abad ke-16 dan berkembang cepat menjadi wilayah kajian yang sekarang dikenal sebagai ilmu kemanusiaan. Kedua, pendekatan postrukturalis membawa makna yang secara kronologis lebih tepat dengan gagasan humanisme. Kajian ini mengidentifikasi humanisme dengan teori subjektivitas pengetahuan yang secara filsufis dikembangkan oleh Bacon, Descartes, dan John Locke, dan dari sisi ilmu pengetahuan disarikan oleh Galileo dan Newton. Revolusi filsufis dan pengetahuan ini disampaikan untuk menemukan pemenuhannya yang sesuai di abad ke-18 dimana ia diterima sebagai Pencerahan atau Aufklarung (Leela Gandhy, 1998: 40).
2.5 Runtuhnya Epistemologi Rasional: Awal Krisis Dalam Humanisme
Menariknya, di tengah ‘hiruk pikuk’ filsafat Barat modern menancapkan pengaruhnya secara hegemonik melalui penerapan tradisi kefilsafatan humanism ke dalam setiap kultur maupun struktur masyarakat (lain), ternyata ia justru sedang dilanda sejumlah problem epistemologik yang mendasar. Artinya, di tengah pengaruh yang cukup kuat dari tipikal epistemologi rasional ke dalam ranah kognisi manusia, humanisme ternyata sedang dipertanyakan kemampuannya untuk memanusiakan manusia. Alih-alih memberikan
penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan, humanisme justru menampilkan dirinya sebagai sebuah kebebasan (sains dan pengetahuan serta logika) tanpa kendali yang mereduksi nilai-nilai kemanusiaan pada tingkatan paling akut. Manusia yang dicoba diangkat dari keterasingannya oleh Humanisme-Marxisistis justru semakin terasing oleh produksi-produksi dan kerja yang membelenggu, sementara humanisme liberal yang mencoba membebaskan manusia dari pengaruh-pengaruh institusi birokrasi dan dominasi gereja misalnya, justru menampilkan dirinya sebagai kekuatan tiranik baru yang bersembunyi di balik terminologi ‘liberalisasi’. Tidak berlebihan bila seorang pemikir Iran kontemporer Ali Syariati (1992: 34) melakukan dekonstruksi atas bangunan filsafat dua ‘kerajaan besar’ humanisme yaitu sosialisme (humanisme marxis) dan kapitalisme (humanism liberal) yang keduanya dianggap menyingkirkan filsafat kehidupan (batin) manusia. Kritikan Syariati yang demikian tajam atas ‘humanisme marxis’ bermula sekali sejak Syariati memergoki geneologi filsafat ini ternyata diadopsoi dari mitologi Yunani Kuno, sebagaimana yang dia katakan: kekeliruan paling besar dan mengharukan yang dilakukan humanism modern sejak Diderot dan Voltaire, sampai Feurbach dan Marx adalah karena mereka menyamakan dunia mitos Yunani Kuno, yang tetap berada
dalam batas-batas alam material, dengan dunia suci spiritual agama-agama purba besar. Mereka membandingkan, bahkan menggabungkan menjadi satu, hubungan manusia terhadap Zeus dengan hubungannya terhadap Ahuramazda, Rama, Tao, Isa dan Allah.
Sedangkan kritik Syari’ati atas humanisme liberal (kapitalisme) sebagai
berikut:
Ia adalah tukang sihir baru yang menyihir kemanusiaan hingga masuk ke dalam penjara baru roda-roda raksasa tak berbelas kasihan dari mekanisme tekno-birokrasi. Dan manusia ? Seekor binatang ekonomis yang tugasnya hanyalah merumput dalam surga ini.’ Kritik yang disampaikan Syari’ati tersebut pada dasarnya merupakan implikasi logis dari segenap potensi negatif yang muncul dari penerapan prinsipprinsip humanisme modern. Prinsip-prinsip humanisme modern tersebut bermula dari periode Renaisans yang merupakan awal perkembangan sains dan teknologi, perluasan dan ekspansi perdagangan, perkembangan wawasan modern tentang ‘humanisme’; sebagai bentuk pendewaan rasionalitas dalam pemecahan masalah manusia. Semangat yang –sekali lagi- terlihat jelas pada pemikiran Descartes, yang melalui wawasan ‘humanisme’-nya menjadikan manusia – dengan segala kemampuan rasionalnya- sebagai ‘aku’ (subjek) yang sentral dalam pemecahan masalah dunia. Wawasan Cartesian, dalam hal ini sangat mekanistis, dalam pengertian rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal ‘kebenaran’ dan ‘mesin’ dijadikan sebagai paradigma, dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan ‘kekuasaan’ (Amir Piliang, 1999: 16) Menurut Levin (1988: 3) pengertian ‘subjek’ dalam wawasan humanism rasional Cartesian ini sebenarnya sarat dengan kekaburan dan paradoks, oleh karena, di satu pihak, penyanjungan kemampuan akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subjek yang merdeka, self-determination dan self affirmation merupakan awal dari keterputusan manusia dari Tuhan, di lain pihak, konsep rasional ini justru diandalkan oleh Descartes sebagai perangkat untuk membuktikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Model humanisme rasional Descartes ini pada perkembangan selanjutnya justru semakin ‘memperparah’ kondisi kemanusiaan, utamanya dalam menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia kemudian hanya dihargai sebagai pengedepanan nilai-nilai rasionalitas, padahal sisi ini hanya satu bagian dari bagian lain nilai kemanusiaan. Akhirnya, dominasi rasionalitas ini ‘mematikan’ aspek spiritualitas kemanusiaan, bahkan nilai kemanusiaan itu sendiri.
Menarik apa yang diintrodusir Yasraf Amir Piliang (1999: 16) bahwa apa yang disebut Pencerahan dalam diskursus filsafat modern sebenarnya adalah sebuah proses ‘penyempurnaan’ secara kumulatif kualitas subjektivitas dengan segala kemampuan objektif akal budinya dalam mencapai satu tingkatan sosial yang disebut dengan ‘kemajuan’. Keterputusan dari nilai-nilai mitos, spirit ketuhanan, telah memungkinkan manusia modern untuk ‘mengukir sejarahnya sendiri’ di dunia –sebagai suatu proses self-determination, dengan manusia menciptakan kriteria-kriteria dan nilai-nilai untuk perkembangan diri mereka sendiri sebagai subjek yang merdeka. Keterputusan dari nilai-nilai dan spirit yang lama, telah memungkinkan manusia modern dengan humanismenya untuk hidup di dunia baru, dunia modern, yang oleh Hegel disebut sebagai ‘jaman baru’ (new age). Sebagaimana diungkapkan Hegel dalam Phenomenology of Spirit (1988: 7):
Jaman kita adalah sebuah kelahiran dan periode peralihan menuju satu era baru. Spirit telah terputus dari dunia yang sebelumnya dihuni dan diimajinasikan, dari pikiran yang telah menenggelamkannya di masa lalu, dan ia dalam proses transformasi. Spirit tidak pernah diam di tempat, akan tetapi selalu dalam proses bergerak ke depan serta ketidakstabilan dan kebosanan yang mengguncang orde yang mapan, ramalan samar-samar tentang segala sesuatu yang belum diketahui di depan, semuanya ini adalah pertanda dari perubahan yang tengah menjelang. Tampaknya spirit modern dengan humanismenya –sebagaimana diintrodusir Hegel di atas – mengisyaratkan munculnya bangunan peradaban yang memandang manusia sebagai subjek, yang menentukan landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya di dunia. Manusia modern tidak lagi memerlukan landasan nilai, kebenaran atau legitimasi selain dari dalam dan untuk dirinya sendiri, sebab manusia modern bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Bagi Hegel (1988: 9) tidak ada landasan lain yang menopangi subjek yang merdeka selain dari 'akal budi; sang subjek itu sendiri, akal budi yang mencari kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Baginya, ilmu pengetahuan menjadi mahkota dari apa yang disebutnya ‘Kebenaran Ideal’ (spirit), menggantikan mitos, legenda atau wahyu. Keadaan yang demikian kemudian memunculkan situasi ‘timpang’ dan tidak seimbang dari gerak kemajuan modernis melalui pendekatan humanismenya. Arus mainstream yang dikembangkan kemudian haruslah sesuai dengan alur logika epistemologi modern dengan rasionalitas empirisismenya. Di luar mereka, meminjam terminologi Wittgenstein, tak ada languge game yang memiliki keabsahan karena tidak mengikat standar empirisme rasional. Rumus kehidupan atau rule of the game menjadi monoton, absolut dan dunia di luar mereka bukanlah dunia yang beradab yang patut didengar, yang berhak menafsirkan realitas dengan caranya sendiri, bahkan menciptakan narasi kehidupan serta grammar of life tersendiri. Itulah sebabnya secara radikal Ali Syari’ati (1996: 57) melakukan kritik mendasar atas bangunan epistemologi rasional modern yang justru memunculkan malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia, yaitu hancurnya sistem kemasyarakatan dan hancurnya sistem ideologi. Kedua sistem humanisme (baik kapitalisme dan komunisme) mereduksi manusia hanya sebagai homo economicus (manusia ekonomi). Meletakkan manusia hanya pada satu aspek tertentu tersebut adalah prinsip dari humanisme modern. Ilmu yang dijadikan alat untuk menemukan kebenaran, justru mengarah pada pencarian kekuasaan semata. Perkembangan sains dan teknologi sebagai bagian integral dari proyek humanisme modern, untuk menunjukkan keunggulan manusia, semakin hari kian menakutkan. Perlombaan senjata, kompetisi yang tidak pernah berhenti, media komunikasi yang hegemonik, pada akhirnya adalah cerminan dari ‘ruang’ kebebasan yang diberikan terhadap manusia; untuk bereksperimentasi tiada henti. Pada titik selanjutnya, terjadilah proses penghancuran martabat kemanusian justru oleh manusia itu sendiri. Humanisme justru melahirkan anti humanisme; dan epistemologi rasional yang menjunjung kebebasan dan kemerdekaan berpikir manusia justru menjadi ‘penjara’ baru, bahkan menjadi kekuatan ideologis baru yang ‘mengukung’ kebebasan manusia. Akhirnya, justru gerak humanism modern melahirkan sejumlah ketidakpastian eksistensial manusia; untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia, bahkan untuk menjadi manusia










Bab III
Penutup

3.1 simpulan
Pengertian Humanisme
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa.
Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme
Sejarah perkembangan aliran filsafat pendidikan humanisme ditelusuri pada masa klasik barat dan masa klasik timur. Dasar pemikiran filsafat aliran filsafat pendidikan ditemukan dalam pemikiran filsafat klasik cina konfusius dan pemikiran filsafat klasik yunani.
Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik
Konsep pemikiran filsafat psikologi humanistic yang dikemukakan oleh filsuf humanis meliputi pandangan tentang hakeket manusia, pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia, konsep diri (self concept), dan diri individu serta aktualisasi diri (Hanurawan,2006). Konsep pemikiran tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pandangan tentang hakekat manusia
2. Pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia
3. Implikasi Pendidikan Psikologi Humanis dalam Prose Pendidikan
Ragam Implikasi Humanisme
Terminologi ‘humanisme’ pada dasarnya mempunyai makna yang beragam, bahkan menjadi tema yang sering diperdebatkan. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bernauer dan Mahon sebagaiman dikutip oleh Leela Gandhi (1998: 27), bahwa ‘Kristianitas yang melakukan telaah atas agama Kristen, pengetahuan, anti pengetahuan, Marxisme, Eksistensialisme, Personalisme, Sosialisme nasional, dan Stalinisme, masing-masing menggunakan label humanisme pada suatu waktu.
Runtuhnya Epistemologi Rasional: Awal Krisis Dalam Humanisme
Menariknya, di tengah ‘hiruk pikuk’ filsafat Barat modern menancapkan pengaruhnya secara hegemonik melalui penerapan tradisi kefilsafatan humanism ke dalam setiap kultur maupun struktur masyarakat (lain), ternyata ia justru sedang dilanda sejumlah problem epistemologik yang mendasar. Artinya, di tengah pengaruh yang cukup kuat dari tipikal epistemologi rasional ke dalam ranah kognisi manusia, humanisme ternyata sedang dipertanyakan kemampuannya untuk memanusiakan manusia.
3.2 saran
Pada akhirnya yang bisa diungkapan untuk menjelaskan (dalam)humanisme adalah kenyataan terjadinya pengintegrasian terminologi‘humanisme’ ke dalam hampir sebagian besar aliran filsafat. Aliran-aliran besarfilsafat seolah-olah tampil sebagai satu-satunya yang representatif menggunakannama ‘humanisme’.Humanisme, yang semula begitu bersemangat untuk mengembalikan otoritas manusia dengan rasionalitasnya yang diberangus oleh dogma-dogma agama dan gereja; serta menjadikan manusia memiliki harkat dan martabat utamanya dengan mengedepankan pengembangan epistemologi rasionalnya; justru semakin ‘menyulitkan’ posisi manusia. Karena yang terjadi –dalam perkembangan selanjutnya- humanisme memberikan kontribusi cukup signifikan bagi hilangnya nilai-nilai kemanusiaan . Perang, penindasan bahkan penghisapan tenaga manusia oleh kapitalisme industrial melalui produksi-produksinya adalah cerminan dasar betapa humanisme telah gagal sebagai pejuang bagi pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan.













DAFTAR PUSTAKA
 Abidin, Zainal, 2001, Filsafat Manusia, Rosdakarya, Bandung
 Bagus, Lorens, 2000, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta
 Hegel, GWF, 1988, Phenomenology of Spirit, Oxford University Press, London
 Hidayat, Komaruddin, 1994, Postmodernisme dan Keangkuhan Epistemologi Rasional, dalam Sutoyo, dkk, (ed), Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Aditya Media, Yogyakarta
 Gandhy, Leela , 1998, Postcolonial Theory; A Critical Introduction, Allen &unwin, Sidney
 Levin, David Michel, 1988, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodernism Situation, Routledge, London
 Piliang, Yasraf Amir Piliang, 1999, Hiper-Realitas Kebudayaan, LKiS,
 Yogyakarta
 Sugiharto, I. Bambang, 1996, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat Kanisius,Yogyakarta
 Suseno, Frans Magnis, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta.
 Syariati, Ali, 1996, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif
 Muhammad, Pustaka Hidayah, Bandung
 Tim Penulis Rosda, 1999, Kamus Filsafat, Rosdakarya, Bandung


Kata Pengantar
Segala puji bagi allah tuhan semesta alam yang telah memberi seluruh makhluknya dari yang terkecil mulai yang terbesar, terutama nikmat sehat wal afiat ditambah lagi dengan nikmat islam. Syukur alhamdulilah kami ucapkan sebanyak-banyaknya kepada Allah karena berkat inayah dan pertolongannya kami dapat menyelesaikan tugas filsafat ilmu yang berjudul humanisme ini,
Salawat beserta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, dialah Nabi yang membawa umatnya dari jaman jahiliyah kejaman keemasan islam dengan penuh ilmu pengetahuan yang arif dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Secara garis besar makalah filsafat ilmu yang kami susun ini yang berkenaan dengan judul yang kami usung yaitu Filsafat Humanisme membahas tentang Pengertian Humanisme,Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme,Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik,Ragam Implikasi Humanisme,Runtuhnya Epistemologi Rasional: Awal Krisis Dalam Humanisme
Besar harapan saya agar makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pembahasan metafisika.
segala tegur sapa, berupa kritik dan saranya saya sangat mengharapkan dari pembaca untuk kemajuan kami dalam membuat makalah dimasa yang akan datang
Pandeglang 21 November 2010
Hormat Kami


Penyusun


















DAFTAR ISI
Penghantar…………………………………………………..…..…….. i
Daftar Isi………………………………………………………...……. ii

Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................ 1
1.2 Pembatasan Maslah .............................................................. 3
1.3 Rumusan Masalah................................................................. 4
1.4 Maksud dan Tujuan.............................................................. 4
1.5 Sistematika Penulisan........................................................... 5
1.6 Metodologi Penulisan .......................................................... 5

Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Humanisme......................................................... 6
2.2 Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme......................... 10
2.3 Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik................ 14
2.4 Ragam Implikasi Humanisme...................................................... 19
2.5 Runtuhnya Epistemologi Rasional: Awal Krisis Dalam
Humanisme........................................................................... 24
Bab III
Penutup
3.1 simpulan ........................................................................... 30
3.2 saran ................................................................................. 31
Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar