Powered By Blogger

Minggu, 02 Januari 2011

makalah filsafat ilmu tentang logika inferensi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan akar dari seluruh ilmu yang ada, dari hasil pemikiran-pemikiran filsafat itulah muncul teori-teori yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kelimuan dan teknologi di jagat raya ini.
Kita sudah begitu sering berfikir, rasa-rasanya berfikir begitu mudah. semenjak kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita sudah berdialog dengan diri kita sendiri, berdialog dengan orang lain, bicara, menulis, membaca suatu uraian, mengkaji suatu tulisan, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan mencoba menarik kesimpulan-kesimpulan dari hal-hal yang kita lihat dan kita dengar. Terus menerus seringkali hampir tidak kita sadari.
Namun bila kita selidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus dipraktekkan sungguh-sungguh ternyata bahwa berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak menyambung. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan pribadi atau kelompok/ golongan.
B. Pembatasan Maslah
Agar lebih fokos dan lebih efesien dalam pembahasan ini maka kami membatasi permasalahan ini menjadi bebrapa sub pokok pembahaan yang meliputi: Pengertian Logika,Sejarah Ringkas Logika,Logika Formal dan Logika Material,Positivistic Logic,Mathematical Logic,Postmodern Logic,Pragmatic Logic,Transendental Logic,Sejarah Perkembangan Logika,Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan.Logika inferensi
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan “Logika Inferensi” dapat dirumuskan, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian logika inferensi?
2. Bagaimana sejarah logika?
D. Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Ilmu sosial dasar, tapi juga bertujuan diantaranya untuk :

1. Untuk mengetahui pengertian logika inferensi
2. Untuk mengetahui sejarah logika
E. Metodologi Penulisan
dalam pembahasan filsafat ilmu ini saya menggunakan metode analisis deskriftif dari sumber-sumber yang saya peroleh
F. Sistematika Penulisan
makalah ini di buat 3 bab yang masing-msing bab di lengkapi sub-sub bab dengan sistemaitka sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
perusmusan masalahan, pembatasan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : pembahsan yang menguraikan tentang Pengertian Logika,Sejarah Ringkas Logika,Logika Formal dan Logika Material,Positivistic Logic,Mathematical Logic,Postmodern Logic,Pragmatic Logic,Transendental Logic,Sejarah Perkembangan Logika,Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan.Logika inferensi

Bab III : penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-
saran

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Logika
Logic (logika) berasal dari kata logos (Bhs. Yunani) yang artinya kata (word) atau apa yang diucapkan, kemudian berubah menjadi studi sistem preskriptif dari argumen dan penalaran (reasoning), yaitu sistem yang menjadi acuan bagaimana manusia harus berfikir. Logika dapat dikatakan sebagai bentuk penarikan kesimpulan, apakah sesuatu atau argumen itu absah (valid) atau sebagai pendapat yang keliru (fallacious).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, logika berarti; [1] pengetahuan tentang kaidah berfikir, [2] jalan fikiran yang masuk akal.[3] Inferensi berarti simpulan; yang disimpulkan.[4] Oleh karena demikian, logika inferensial dapat didefinisikan sebagai “berfikir dengan akal yang sehat untuk memperoleh kesimpulan”. Contohnya, ketika seseorang menghadapi sebuah persoalan yang memerlukan jalan keluar (pemecahan), lalu persoalan tersebut ia fikirkan dengan menggunakan akal yang sehat, kemudian dari hasil berfikir itu ia mendapatkan sebuah simpulan pemecahan dari persoalan tersebut.
M. Taib Thahir Abd. Muin mengemukakan bahwa ilmu manthiq (logika) menurut bahasa ialah bertutur benar. Adapun definisinya bermacam-macam, namun kesimpulannya sama, antara lain; [1] ilmu tentang undang-undang berfikir, [2] ilmu untuk mencari dalil, [3] ilmu untuk menggerakkan fikiran kepada jalan yang lurus dalam memperoleh suatu kebenaran, [4] ilmu yang membahas tentang undang-undang yang umum untuk fikiran, [5] alat yang merupakan undang-undang berfikir dan bila undang ini dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani manusia pasti dapat terhindar dari fikiran-fikiran yang salah.
B. Sejarah Ringkas Logika
W. Poespoprodjo dalam bukunya yang berjudul Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu, membagi sejarah logika, sebagai berikut:
1. Dunia Yunani Tua
Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340-265) disebutkan bahwa tokoh Stoa adalah yang pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian, akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara eksplisit. Gorgias (±483-375) dari Lionti (Sicilia), mempersoalkan masalah pikiran dan bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dapatkah ungkapan mengatakan secara tepat apa yang ditangkap pikiran?
Sokrates (470-399) dengan metodenya, mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dan peristiwa konkrit untuk kemudian dicari ciri umumnya. Plato, yang nama aslinya Aristokles, (428-347) mengumumkan metode Sokrates tersebut sehingga menjadi teori ide, yakni teori dinge an sich versi Plato. Sedangkan oleh Aristoteles, dikembangkan menjadi teori tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah bentuk “mulajadi” atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi hanya merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna yang disebut ectypa. Gagasan Plato ini banyak memberikan dasar terhadap perkembangan logika, lebih-lebih yang bertalian dengan ideogenesis dan penggunaan bahasa dalam pemikiran. Namun demikian, logikè epistèmè (logika ilmiyah) sesungguhnya baru dapat dikatan terwujud berkat karya Aristoteles.
Sesudah Aristoteles, Theoprastus mengembangkan teori logika Aristoteles, dan kaum Stoa mengembangkan teori logika dengan menggarap masalah bentuk argument disjungtif dan hipotesis serta beberapa segi masalah bahasa. Chrysippus yang Stoa mengembangkan logika proposisi dan mengajukan bentuk-bentuk berfikir yang sistematis.
Galenus, Alexander Aphrodisiens, dan Sextus Empiricus mengadakan sistematisasi logika dengan mengikuti cara geometri, yakni metode ilmu ukur. Galenus sangat berpengaruh karena tuntutannya yang sangat ketat aksiomatisasi logika. Karya utama Galenus berjudul Logika Ordini Geometrico Demonstrata. Tapi impian Galenus hanya terlaksana jauh kemudian. Yakni di akhir abad XVII melalui karya saceheri yang berjudul Logica Demonstrativa.
Kemudian muncullah zaman dekadensi logika. Salama ini logika mmengembang karena menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari betapa berseluk beluknya kegiatan berpikir yang langkahnya mesti dipertanggungjawabkan. Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka logika juga merosot. Tetapi beberapa karya pantas mendapat perhatian kita, yakni Eisagogen dari Porphyrios, kemudian komentar-komentar dari Boethius dan Fons Scientiae (Sumber Ilmu) karya Johannes Damascenus.
2. Logika Abad Pertengahan
Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan logika hanya berkisar pada karya Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermenias. Karya tersebut ditambah dengan karya Phorphyrios yang bernama Eisagogen dan traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian, masalah metode debat, silogisme kategoris hipotesis, yang biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat karya Aristoteles lainnya dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru. Logika lama dan logika baru kemudian disebut logika antik untuk membedakan diri dari logika terministis atau logika modern, disebut juga logika suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para filosof Arab. Di dalam logika ini di ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposisi untuk menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai symbol tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya Petrus Hispanus, William dari Ockham.
Thomas Aquinas dkk., mengusahakan sistimatisasi dan mengajukan komentar-komentar dalam usaha mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad XIII-XV berkembanglah logika seperti yang sudah disebutkan di atas, disebut logika modern. Tokohnya adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham, dan Raimon Lullus yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars Magna, yakni semacam Al-jabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Abad pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang sangat penting bagi perkembangan logika. Karya Boethius yang orisinal dibidang silogisme hipotesis, berpengaruh bagi perkembangan teori konsekwensi yang merupakan salah satu hasil terpenting bagi perkembangan logika di abad pertengahan. Kemudian dapat dicatat juga teori tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih kaya dari semiotika matematika di zaman ini. Selanjutnya diskusi tentang universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme, penggarapan logika modal, dan lain-lain penyempurnaan terknis.

3. Logika Dunia Modern
Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan tekanan-tekanan yang berbeda. Thomas Hobbes, (1632-1704) dalam karyanya Leviatham (1651) dan John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding (1690). Meskipun mengikuti tradisi aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya sangat dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistik dan menunjukkan tanda-tanda induktif berhadapan dengan dua bentuk metode pemikiran lainnya, yakni logika fisika induktif murni sebagaimana terpapar dalam karya Francis Bacon, Novum Organum (London, 1620) serta matematika deduktif murni sebagaimana terurai di dalam karya Rene Descartes, Discors The La Methode (1637).
Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang direncanakan Francis Bacon, didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati, penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.
4. Logika di India
Di Asia hanya India yang sudah mengembangkan logika secara formal sejak masa lalunya. Logika lahir dari Sri Gautama yang harus sering berdebat melawan golongan Hindu fanatic yang menyerang aliran kesusilaan yang diajarkannya. Dengan sistematis logika dipaparkannya dalam Nyaya-Sutra sehingga mencapai taraf perkembangan ilmu. Nyaya-Sutra mendapat komentar dari Prasastapada, yang kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikut Buddha lainnya.
Logika terus sebagai metode berdebat, dan mengundang banyak komentar dari orang-orang seperti Uddyotakara, Vacaspati Misra, Mazdab Nyaya, Kumarila Bhatta, Mazdab Mimamza Dharmakirti, seorang Buddhis Udayana, Bhagavata, dan lain-lain.
C. Logika Formal dan Logika Material
Setelah pengetahuan logika makin ramai dibicarakan orang maka logika artificialis dibedakan orang menjadi dua macam, yaitu logika formal dan logika material. Logika formal mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati, agar orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi (materi) kenyataan yang sebenarnya.
Logika material mempelajari sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan. Logika material inilah yang menjadi sumber yakni yang menimbulkan filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan (wetenschapsleer). Logika formal dinamakan orang juga logika minor, sedang logika material dinamakan sebagai logika mayor. Dan apa yang disebut dengan logika formal sekarang ini ialah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara berfikir untuk mencapai kebenaran.
D. Positivistic Logic
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang “makna yang dapat dibuktikan”, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang “makna yang dapat dibuktikan” seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
E. Mathematical Logic
Logika matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika dan matematika. Logika matematika mempelajari tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke dalam ruang lingkup matematika. Logika matematika juga memiliki kaitan erat dengan ilmu komputer dan logika filsafat. Lebih dari itu, logika matematika kadang dianggap sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia.
Logika matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian yang berbeda. Yang pertama adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam matematika dan penalaran matematika. Sedangkan yang kedua, sebaliknya, adalah aplikasi dari teknik-teknik matematika ke dalam representasi dan analisis logika formal. Bisa dikatakan bahwa logika matematika menyatukan kekuatan ekspresi dari logika formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal (formal proof system). Penggunaan matematika dalam hubungannya dengan logika dan filsafat dimulai pada zaman Yunani kuno.
Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para matematikawan barat di antaranya adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun 1700, percobaan-percobaan untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan memakai simbol-simbol dan aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz dan Lambert. Akan tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan mereka sangat sedikit dan jarang sekali ditemukan, yang karena itu tidak terlalu diketahui oleh publik.


F. Postmodern Logic
Istilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun 1939. Kendati sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois Lyotard, salah satu contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap karyanya yang berjudul The Post-Modern Condition sebagai kritikan atas karya The Grand Narrative yang dianggap sebagai dongeng khayalan hasil karya masa Modernitas.
Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berfikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak jelas akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernis. Satu mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme bahkan terjadi paradok, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari pendapat terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain: Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas, muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang kontradiktif tadi.
Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethics berpendapat, kata “post” dalam istilah tadi bukan berartikan “setelah” (masa berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesia-siaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka (insting, wahm) belaka. Asas pemikiran postmdernisme sebagaimana berbagai isme dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan berakhir pada empat pola pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme. Tidak terkecuali dengan postmodernisme.
G. Pragmatic Logic
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
H. Transendental Logic
Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman.

1) Bahasa Logika
Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Dan khusus alat komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa ilmiah, yaitu kalimat berita yang merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau pendapat-pendapat. Bahasa sangat penting juga dalam pembentukan penalaran ilmiah karena penalaran ilmiah mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan jelas. Bahasa secara umum dibedakan antara bahasa alami dan bahasa buatan. Bahasa alami ialah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya, dibedakan antara bahasa isyarat dan bahasa biasa. Bahasa buatan ialah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu, yang dibedakan antara bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah, dirumuskan bahasa buatan yang diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu.
Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan juga sebagai alat komunikasi manusia karena bahasa mempunyai 3 fungsi pokok, yakni fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis, dan fungsi simbolik dan logik. Khusus untuk logika dan juga untuk bahasa ilmiah yang harus diperhatikan adalah fungsi simbolik karena komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus logik terbebas dari unsur-unsur emotif.
Bahasa yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan atau kalimat deklaratif jika ditinjau berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pernyataan analitik dan pernyataan sintetik.
Pernyataan (statement) dalam logika ditinjau dari segi bentuk hubungan makna yang dikandungnya, pernyataan itu disamakan juga dengan proposisi. Proposisi atau pernyataan berdasarkan bentuk isinya dibedakan antara 3 macam, yakni proposisi tunggal, proposisi kategorik, dan proposisi majemuk.
Tiga macam proposisi atau pernyataan di atas yang sebagai dasar penalaran adalah proposisi kategorik untuk penalaran kategorik, dan proposisi majemuk untuk penalaran majemuk. Adapun proposisi tunggal atau proposisi simpel pengolahannya dapat masuk dalam penalaran kategorik dan dapat juga masuk dalam penalaran majemuk.
I. Sejarah Perkembangan Logika
Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian.
Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali akan alam pikiran Grik Tua.
Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.
Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan circle-Euler.
John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.
Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.
Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Dalam dunia islam logika berkembang yaitu pada zaman kejayaan islam. Islam ketika itu telah berkembang sampai ke Spanyol di barat dan ke timur mencapi perbatasan Cina. Zaman itu adalah zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan penterjemahan buku-buku Yunani kuno, Persia dan Sansekerta ke bahasa Arab di zaman Khalifah Al-Ma’un dari daulat Abbasyiah di Babdad dan Khalifah
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.
J. Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan
Dalam kontek ini bidan penalaran logika sudah banyak mendapat perhatian dari khalayak Indonesia. Hal ini mebuktiakn dari adanya berbagai buku logika yang terbigt dalam bahasa Indonesia, meskipun masih terbatas pada Logika tradisional. Berikut ini beberapa pengertian logika.
- Hasbullah Bakry. Logika adalah ilmu pengetahuan yang mengatur penitian hukum-hukum akal manusia sehingga menyebab pikirannya dapat mencapai kebenaran.
- N. Djirkara Logika adalah ilmu pengetahuan yng memandang hukum-hukum susunan atau bentuk pikiran manusia yang menyebabkan pikiran dapat mencapai kebenaran.
- Fudyartanda. Logika adlah ilmu yang mempelajari tentang kebenaran berpikir
- Nurul Huda. Logika adlah olmu yang mempelajari dan merumuskan kaidah-kaidah dan hukum-hukum sebagai pegangan untuk berpikir tepat dan praktis bagi mencapi kesimpulan yang valid dan pemecahan persoalan yang bijak sana.
- Ir. Poedjawijatna. Logika adalah Filsafat budi (manusia) yang mempelajari teknik berpikir untuk mengetahui bagaimana manusia berpikir denagn semestinya.
- A.B. Hutabarat. Logika adalah ilmu berpikir yang tepat, dan sekadar dapat menunjukkakan adanya kekeliruan dalam rantai proses pemikiran sehingga kekeliruan itu dapat dielakkan maka hakikat dari Logika dapt pula disebut tknik berfikir.
K. .Logika inferensi


Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik. menyimpulkan kasus dalam logika inferensi jauh sudah tersurat dan tersirat dalam al-quran yang menjelaskan Humen observesion, dengan menganalisis dan menyimpulkan dari apa yang sudah terjadi dari penomena alam dimana ayat itu berbunyi :
               
101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".

dalam ayat diatas kita diperintahkan oleh allah untnuk memperhatikan apa yang terdapat di alam jagat raya ini dan menyimpulkanya dengan akal fikiran yang kita punya, yang disebut dengan logika, logika inilah yang dapat mendefinisikan dan mengiktisarkan apa yang terdapat, terjadi, penyebab dan lain sebagainya di alam ini.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden.
Di lain pihak, menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.









BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari uraian pembahasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa dalam menghasilkan kesimpulan dari hasil pemikiran diperlukan metode, strategi dan pendekatan-pendakatan yang terkonstruk agar inferensinya lebih baik.
Berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak menyambung tidak menyekrup. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan pribadi atau kelompok / golongan.
Jadi jelasnya berfilsafat tidak hanya sekedar berfikir mendalam namun ada aturan-aturan atau prosedur yang harus dijadikan sebagai syarat agar dapat dikatakan berfilsafat.

B. Saran
Jadi jelasnya berfilsafat tidak hanya sekedar berfikir mendalam namun ada aturan-aturan atau prosedur yang harus dijadikan sebagai syarat agar dapat dikatakan berfilsafat. dan dalam penyusunan makalah ini saya sadari jauh dari kesempurnaan oleh karena itu seyogyanya bagi para pembaca untuk mendalami tentang logika inferensi ini,










DAFTAR PUSTAKA
 Alwi, Hasan, et al. 2005 M. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III; Cet. IV; Jakarta: Balai Pustaka,
 Bakhtiar, Amsal. 2004. "Filsafat Ilmu". Jakarta: Raja Grafindo Persada.
 Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat. Cet. IX; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1992 M.
 Ismaun, 2009” filsafat ilmu” Jakarta : Raja Grafindo Persada

 Mundiri, H. 2008. Logika. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
 Muin, M. Taib Thahir Abd. 1993 M “Ilmu Manthiq (Logika”). Cet. IV; Jakarta: Penerbit Wijaya
 Poespoprodjo, W. 1999. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika,
 Suriasumantri. Jujun, 2008 “ Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular” Jakarta : Sinar Harapan
 WP, Santika. Logika Digital. Bandung: Departemen Teknik Informatika Institut Teknologi Bandung, 2007 M.






Kata Pengantar

Segala puji bagi allah tuhan semesta alam yang telah memberi seluruh makhluknya dari yang terkecil mulai yang terbesar, terutama nikmat sehat wal afiat ditambah lagi dengan nikmat islam. Syukur alhamdulilah kami ucapkan sebanyak-banyaknya kepada Allah karena berkat inayah dan pertolongannya kami aya dapat menyelesaikan tugas filsafat ilmu yang berjudul logika inferensi ini,
Salawat beserta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, dialah Nabi yang membawa umatnya dari jaman jahiliyah kejaman keemasan islam dengan penuh ilmu pengetahuan yang arif dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Secara garis besar makalah filsafat ilmu yang saya susun ini yang berkenaan dengan judul yang saya usung yaitu Logika Inferensi membahas tentang Pengertian Logika,Sejarah Ringkas Logika,Logika Formal dan Logika Material,Positivistic Logic,Mathematical Logic,Postmodern Logic,Pragmatic Logic,Transendental Logic,Sejarah Perkembangan Logika,Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan.Logika inferensi

Besar harapan saya agar makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pembahasan metafisika.
segala tegur sapa, berupa kritik dan saranya saya sangat mengharapkan dari pembaca untuk kemajuan saya dalam membuat makalah dimasa yang akan datang


Pandeglang 15 November 2010
Hormat saya



Penyusun

DAFTAR ISI
Penghantar…………………………………………………..…..…….. i
Daftar Isi………………………………………………………...……. ii

Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Pembatasan Maslah .............................................................. 3
C. Rumusan Masalah................................................................. 4
D. Maksud dan Tujuan.............................................................. 4
E. Sistematika Penulisan........................................................... 5
F. Metodologi Penulisan .......................................................... 5


Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Logika.......................................................... 4
B. Sejarah Ringkas Logika............................................. 5
C. Logika Formal dan Logika Material............................ 10
D. Positivistic Logic...................................................... 11
E. Mathematical Logic................................................... 13
F. Postmodern Logic..................................................... 14
G. Pragmatic Logic....................................................... 16
H. Transendental Logic.................................................. 17
I. Sejarah Perkembangan Logika.................................... 19
J. Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan....................... 22
K. .Logika inferensi………………………………………. 24


Bab III
Penutup

A. Simpulan .......................................................................... 26
B. Saran................................................................................. 27


Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar