Powered By Blogger

Minggu, 02 Januari 2011

makalah kerajaan sri baduga

Bab II
Pembahasan
Kehidupan Masyarakat Pada Zaman Kerajaan Sri Baduga

A. Biografi Sri Baduga
sri baduga adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram. Keterangan tentang Raja Sri
Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.
Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemashurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".
B. Kebijaksanaan dalam kehidupan sosial
Karya besar dari Sri Baduga Maharaja diabadikan dalam prasasti, baik yang dibuat atas perintahnya langsung, atau dibuat setelah ia meningal. Karya Sri Baduga Maharaja, tercatat dalam prasasti batu tulis Bogor yang berangka tahun 1455 saka. Angka tersebut menunjukan tahun 1533 masehi. Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun, dari tahun 1482 sampai 1521 Masehi.


Gambar 1 Prasasti Batu Peninggalan Kerajaan Sri Baduga
Kebijakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana). Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran

C. Kehidupan masyarakat pada zaman kerajaan sri baduga
Pola hidup masyarakat pada zaman kerjaan sri baduga adalah berladang. Komunitas peladang ini hidupnya cenderung berpindah-pindah atau nomaden. Masa tinggal mereka di suatu tempat disesuaikan dengan masa berladang yang relatif singkat, yang tak memerlukan teknik irigasi. Maka itu, mereka tak merasa perlu untuk membangun tempat tinggal untuk didiami selama-lamanya. Karenanya, hingga kini jarang sekali ditemukan bangunan-bangunan kuno peninggalan masa Sunda-Galuh (apalagi masa Salakanagara dan Tarumanagara) seperti biara atau candi. Mungkin satu-satunya “candi” yang bisa dibanggakan orang Sunda adalah Candi Cangkuang di Garut. Jangan heran pula, kenapa istana di Pakuan, yang dalam cerita-cerita pantun dan babad dilukiskan begitu megah, tak meninggalkan jejak-jejaknya. Tak seperti candi-candi di Sumatera dan Jawa yang terbuat dari batu bata dan batu-batu kali yang diukir dengan ornamen-ornamen yang sangat detail, istana Pakuan ini hanya terbuat dari tanah liat dan batu-batu yang dijejerkan. Tak ada relief-relief yang rumit di dalam istana maupun sekitar gerbang Pakuan.
Budaya bersawah memang kemudian dikenal pada masa Pajajaran. Namun, area persawahan pada masa itu pun hanya berada di wilayah yang berdekatan dengan kota Pakuan. Sedangkan masyarakat Sunda pada umumnya, di luar Pakuan, tetap bekerja sebagai peladang. Para petani menggarap sawah mereka untuk keperluan orang-orang di kota Pakuan semacam bangsawan, kawula istana, dan keluarga raja. Hasil sawah dan juga ladang lalu diperjualbelikan di pasar yang terletak di alun-alun depan gerbang Pakuan. Sistem persawahan baru dikenal luas oleh masyarakat Sunda ketika Singaperbangsa (keturunan Adipati Kertabumi yang diangkat Sultan Agung menjadi wedana) bersama Ki Wirasaba dari Banyumas menjaga perbatasan wilayah kekuasaan Mataram di sebelah barat Priangan.

Singaperbangsa juga Ki Wirasaba ditempatkan di Waringin Pitu dan Tanjungpura, Karawang, dan diberi tugas mengawasi 2.000 orang Jawa yang dibawa ke Karawang untuk mengolah sawah. Singaperbangsa diharuskan mengurus pengangkutan hasil panen sawah. Dengan demikian, orang Mataram-lah yang memperkenalkan tradisi sawah di Tatar Sunda.
Pada Prasasti Kabantenan kita mengetahui bahwa Sri Baduga membebaskan penduduk Jayagiri dan Sunda Sembawa dari empat macam pajak (dasa, calagra, kapas timbang, dan pare dondang). Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebelum Sri Baduga berkuasa, masyarakat Sunda telah lama dikenai kewajiban membayar pajak terhadap negara. Tak ada keterangan pasti, sejak kapan keharusan “membayar” pajak ini diberlakukan terhadap masyarakat Sunda. Yang jelas, dalam Pustaka Jawadwipa, pada masa Tarumanagara pada abad ke-5 rakyat sudah melakukan aktivitas karyabhakti, semacam gotong royong.

Sangat memungkinkan bila karyabhakti ini merupakan bentuk pengabdian rakyat terhadap raja-raja Tarumanagara. Rakyat melakukannya untuk kepentingan umum atas perintah penguasa. Dengan begitu, bisa jadi “gotong royong” ini sebenarnya pajak juga meski diwujudkan dalam bentuk tenaga, bukan berupa barang/komoditas pertanian. Bentuk kerja bakti ini kemudian berlanjut pada masa Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran, yang ditambah dengan pajak komoditas.

Naskah-naskah seperti Kropak 630 dan Kropak 406 sangat jelas menyebutkan adanya pajak tersebut. Kropak 630 menyebutkan pajak tersebut adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma. Kropak 406 memberitakan bahwa penduduk Kandang Wesi harus membawa “kapas sapuluh carangka” sebagai upeti ke Pakuan per tahunnya. Kapas, sebagai salah satu komoditas pertanian terpenting Sunda, ini dibebankan kepada penguasa setempat, tidak kepada tiap-tiap orang.
kehidupan masyarakat pada zaman kerjaan sri baduga
Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian dapat diperoleh informasi bahwa raja-raja Sunda memiliki wewenang untuk menyuruh rakyatnya “gotong royong” guna kepentingan kerajaan. Ini tak lain adalah bentuk pajak tenaga juga, yakni dalam bentuk dasa dan calagra. Rakyat diwajibkan untuk bekerja di ladang, sawah, serang besar (ladang milik kerajaan yang hasilnya dipersembahkan untuk upacara-upacara resmi), mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran (marigi), mengandangkan ternak, memasang ranjau tajam, membendung sebagian alur sungai untuk menangkap ikan (ngikis), menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring, serta kewajiban lainnya untuk kepentingan negara. Dan ketika mengerjakan perintah dari negara ini, rakyat “diharapkan” jangan marah-marah, jangan pura-pura mau, jangan resah, jangan uring-uringan; sebaliknya harus dikerjakan dengan senang hati, tanpa pamrih. Kropak 630 menyebutkan bahwa para petani yang melaksanakan pajak harus tunduk kepada wado atau wadwa (prajurit negara yang memimpin pelaksanaan calagara). Pajak dasa dan calagra ini di Majapahit dikenal sebagai walaghara, berarti “pasukan kerja bakti”.
Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut hingga zaman kolonial. Belanda, yang di negaranya tidak mengenal sistem ini, memanfaatkannya untuk kerja rodi. Oleh pemerintah Hindia Belanda, dasa disulap menjadi Heerendiensten (bekerja di tanah milik penguasa/pembesar). Calagara diubah menjadi Algemeenediensten (Dinas Umum) atau Campongdiesnten (Dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, dan keamanan. Jenis Heerendiensten dilakukan tanpa imbalan, sedangkan jenis Algemeenediensten dan Campongdiesnten dilakukan dengan imbalan dan makan. Preangerstelsel dan Cultuurstelsel sebagai sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga yang sudah berlaku sejak zaman Pajajaran.


Pada akhir abad ke-19 pajak tenaga berubah bentuk menjadi lakon gawe dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang mengabaikannya. Dari sinilah orang Sunda memiliki peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekadar untuk menghindari dendaan/hukuman). Bentuk dasa sebetulnya tetap berlangsung hingga kini dalam bentuk lain. Di desa ada kewajiban gebagan, yaitu bekerja di sawah bengkok, dan di tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
D. Peristiwa-peristiwa di masa pemerintahanya
Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

E. Peninggalan pada masa kerajaan sri baduga yang ada di kota bandung, dan bogor

gb : Batu Tulis

Kalimat prasasti berbunyi:
Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun ya nu nyusuk na pakwan diva anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida mokta dimguna tiga i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida mokta ka nusalarang, ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay nyiyan samida, nyiyanl sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi 00.
Artinya :
Semoga selamat, ini tanda peringatan (untuk) Prabu Ratu almarhum Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (Iagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kencana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam Saka 1455.

gb : batu lingga
Di komplek Prasasti juga dijumpai antara lain Batu Tapak (bekas telapak kaki Prabu Surawisesa), meja batu bekas tempat sesajen pada setiap perayaan, batu bekas sandaran tahta bagi raja yang dilantik, batu lingga dan lima buah tonggak batu yang merupakan punakawan (pengiring-penjaga-emban) dari batu lingga. Batu lingga ini adalah bekas tongkat pusaka kera¬jaan Pajajaran yang melambangkan kesuburan dan kekuatan. Sekitar 200 meter dari komplek Prasasti, yaitu di daerah Panaisan yang merupakan bekas alun-alun kerajaan Pa¬jajaran juga dapat ditemui 4 buah area batu.

gb : Telapak kaki Prabu Surawisesa
Keempat area tersebut adalah patung Purwakali, Gelak Nyawang, Kidang Pinanjung dan Layung Jambul yang kanan masing-masing adalah Mahaguru, pengawal, dan pengasuh Prabu Siliwangi. Sayangnya sekarang patung batu ini sudah tiada kepalanya. Dicuri orang yang tidak menghargai warisan budaya bangsa.

gb : patung Purwakali, Gelak Nyawang, Kidang Pinanjung & Layung Jambul
Kekuatan dan keagungan Prabu Siliwangi dipercaya bersemayam di dalam Batu Tulis sehingga memberikan perlindungan pada negara dari serangan musuh dan memberi kekuatan pada Raja yang memerintah. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan batin Prabu Siliwangi bersama para raja-raja terdahulu yang terus menaungi dan melindungi kerajaan dengan energi cinta dan kasih.
Sayangnya hal ini dianggap sebagai suatu pemahaman dalam bentuk fisik di zaman sekarang. Yang seharusnya Prasasti Batu Tulis merupakan warisan budaya dan sejarah bangsa, malah dibongkar dan digali-gali dengan alasan mencari harta karun yang tersimpan di bawah prasasti. Bahkan ada yang dengan sengaja ingin menguasai untuk suatu kepentingan kelompok tanpa mengerti sebab dan akibatnya. Ironis sekali hal ini dapat terjadi. Sebuah kenyataan bahwa anak bangsa tak bisa menghargai warisan leluhur bangsanya sendiri. Jika kita sadari bahwa tingginya nilai budaya suatu bangsa karena benar-benar menghargai sejarah dan budaya bangsa itu sendiri.
Padahal makna tersirat dari prasasti Batu tulis yang sebenarnya adalah merupakan ‘harta karun’ peninggalan Kerajaan Padjajaran yaitu sebuah ‘pengajaran luhur’ dari Prabu Siliwangi tentang sifat dan karakter : Silih Asih – Asah – Asuh. Saling mengasihi atau mencintai, saling mengasah dengan aktif berdiskusi bertukar pikir, dan saling mengasuh mengisi dalam kehidupan. Inilah yang seharusnya dipahami dan dilakukan sebagai anak bangsa yang sesungguhnya.






F. Sekilas tentang musium sri baduga
Wilayah Bandung merupakan Danau Purba. Hal ini bisa terlihat dari pegunungan yang mengelilingi kota Bandung. Sayang danau ini bocor pada daerah kapur yang berada di sekitar Padalarang. Danau purba yang kering tersebut menarik perhatian Belanda untuk mendirikan kota. Diletakkanlah sebuah patok yang nantinya membelah bandung menjadi dua (Utara dan Selatan). Patok tersebut saat ini menjadi Alun-alun Bandung.
Nah itulah sekelumit sejarah berdirinya Kota Bandung. Untuk lebih jelasnya, kalian dapat mengunjungi Museum Sri Baduga. Di dalam museum terdapat pemaparan mengenai Bandung (baca Jawa Barat) dari jaman purba, jaman kerajaan Hindu, Budha, Islam, penjajahan Belanda dan sejarah Budaya yang berkembang di sana. Museum ini terletak di jalan BKR (jalan tentara pejuang), tepat di depan Taman Tegallega. Jadi jika ingin tahu bandung secara menyeluruh, musti berkunjung nih ke sini.
Berikut laporan aku yang sempat menengok museum ini:

Pada pintu masuk, kita akan disambut dengan Prasasti Telapak Gajah. Prasasti ini dibuat pada masa kerajaan Taruma Negara. Tapak kaki tersebut katanya adalah tapak kaki kendaraan sang raja yaitu Punawarman. Pusat pemerintahan kerajaan Taruma Negara adalah di Bogor. Jadi tidak mengherankan kalau prasasti inipun ditemukan di Bogor.


Salah satu peninggalan prasejarah yaitu sarkofagus yang merupakan wadah mayat. Sarkofagus ini dilambangkan sebagai rahim ibu. Maksudnya adalah saat manusia mati maka akan kembali seperti saat dilahirkan. Yaitu terbaring di rahim sang ibu. Peninggalan-peninggalam purba banyak ditemukan disekitar gunung yang melingkari Kota Bandung. Seperti Dago Pakar dan Taman Sari. Ini menguatkan indikasi kalau Bandung dulunya adalah danau purba, dimana di pinggir danau ditemukan adanya kehidupan. Sangat logis.

Peninggalan pemerintahaan kerajaan Hindu di Jawa Barat. Terdapat beberapa patung Siwa dan Wisnu. Patung-patung ini ditemukan tersebar dibeberapa wilayah di Jawa Barat, seperti Tasikmalaya.

Kereta kerajaan Cirebon. Pada masa ini cirebon sudah dikuasai oleh kerajaan Islam. Keretanya gagah sekali lho.


Beberapa furniture khas Jawa Barat. Rasanya furniture ini peninggalan masa penjajahan Belanda. Sangat unik dan bahannya pun berkualitas. Terbukti sampai sekarang masih tahan. Tidak seperti furniture sekarang yang dipakai beberapa tahun saja sudah rusak.


Ini dia perlengkapan gamelan khas Jawa Barat. Rasanya kalau masalah gambelan hampir sama dengan Jawa dan Bali.









Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
 sri baduga adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya.
 Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
 Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai kesatria pemberani dan tangkas bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam).
 Kebijaksanaan dalam kehidupan social
 Karya besar dari Sri Baduga Maharaja diabadikan dalam prasasti, baik yang dibuat atas perintahnya langsung, atau dibuat setelah ia meningal. Karya Sri Baduga Maharaja, tercatat dalam prasasti batu tulis Bogor yang berangka tahun 1455 saka. Angka tersebut menunjukan tahun 1533 masehi. Sri Baduga Maharaja memerintah selama 39 tahun, dari tahun 1482 sampai 1521 Masehi.
 Kehidupan masyarakat pada zaman kerajaan sri baduga
 Pola hidup masyarakat pada zaman kerjaan sri baduga adalah berladang. Komunitas peladang ini hidupnya cenderung berpindah-pindah atau nomaden.


 Peninggalan pada masa kerajaan sri baduga yang ada di kota bandung, dan bogor
 Batu Tulis
 batu lingga
 patung Purwakali, Gelak Nyawang, Kidang Pinanjung & Layung Jambul
B. Saran
Karena keterbatasan kami dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, maka seyogyanya kepada pembaca untuk memperdalam pembahasan tentang kehidupan masyarakat pada zaman kerajaan sri baduga ini.





















Daftar Pustaka

 Andi, Muhammad `1998 “ penemuan di pelataran sunda” kansius : yogyakarta
 Iskandar, Yoseph. 2005. “Sejarah Jawa Barat”. Bandung: CV Geger Sunten
 Nuh, Muhammad 2010 Penjaga musium sri baduga
 Purna, anrdi 2003” Kehidupan pada masa kerajaan sunda” Pustaka setia Bandung
 Sukardja, Djadja. 2007. Situs Kawali “ Astana Gede”. Ciamis.
 Saleh Danasasmita. 1983. Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA DT II Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar