Powered By Blogger

Senin, 02 Desember 2013

makalah buat naik pangkat




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Lembaga pendidikan sebagai ujung tombak untuk mencerdaskan bangsa, sudah selayaknya untuk secara terus-menerus mengikuti perkembangan zaman, sehingga peserta didik mempunyai bekal yang cukup untuk bersaing dalam era global. Mulai dari managemen pendidikan, kurikulum, strategi, metode, ataupun evaluasi perlu untuk ditingkatkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai sesuai dengan kebutuhan siswa yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa lainnya.
Dari berbagai komponen yang terkait dengan lembaga pendidikan tesebut, guru mememang peranan penting dalam membimbing dan menghantarkan keberhasilan peserta didik. Karena langsung berhadapan dengan siswa di kelas. Maka sudah semestinya jika guru mempunyai kemampuan (kompetensi) tertentu yang disyaratkan agar dalam pelaksanaannya mengelola kelas bisa berjalan dengan baik. Indikator baik tersebut ditunjukkan dengan siswa menguasai materi pelajaran dan menjalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Hakikat mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dimasukkan ke dalam kurikulum adalah agar generasi muda Indonesia bukan hanya cerdas dan pandai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Proses pembelajaran di kelas bersifat dinamis, seperti yang telah dirumuskan dalam kurikulum sekolah. Proses pembelajaran di kelas menjadi hak sepenuhnya yang dimiliki guru untuk dipergunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa mengesampingkan prosedur yang berlaku dalam lembaganya.
Percepatan arus informasi dalam era globalisasi pada saat sekarang menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan dan strateginya agar sesuai dengan kebutuhan, dan tentunya tidak ketinggalan zaman (up to date) (Mulyasa, 2007: 2). Perubahan yang cepat tersebut menuntut kehidupan dinamis agar senantiasa dengan perkembangan zaman. Begitu pula dengan guru ketika berada di kelas, harus mengikuti setiap perkembangan informasi dan sains agar dapat menghubungkan hal-hal yang sesuai dengan materi pelajaran. Hal tersebut menjadi sebuah contoh konkrit bagi siswa dalam belajarnya.
Mengembangkan potensi yang dimiliki siswa secara maksimal, dengan pembelajaran yang mengarah pada peningkatan motivasi, kreatifitas, imajinasi, inovasi dan etos keilmuwan (Nata, 2003: 4). Siswa menjadi subyek pembelajaran untuk mengeksplorasi materi pelajaran dan mengeksploitasi skill yang dimilikinya.
Guru melakukan terobosan di dunia pendidikan yang dikehendaki dengan menemukan metode-metode baru dalam pendidikan dan pembelajaran (Dryden dan Vos, 2000: 83). Metode baru tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman dan karakteristik siswa. Sehingga pembelajaran menjadi relevan dan efektif.
Kompetensi atau kemampuan guru dalam mengelola kelas sehingga proses pembelajaran menjadi kondusif merupakan indikator kreatifitas dan efektifitas guru. Hal itu dapat dicapai jika guru dapat : memusatkan kepribadian dan kompetensinya dalam mengajar, menerapkan metode pembelajarannya, memusatkan pada proses dan produknya, dan memusatkan pada kompetensi yang relevan (Subandijah, 1996: 6). Guru sangat memerlukan aneka ragam pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam arti sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan sains dan teknologi (Syah, 2002: 1). Dinamisasi dalam banyak hal pada proses pembelajaran tersebut yang pada akhirnya tujuan pendidikan nasional dalam skala mikro maupun makro akan terwujud. Sehingga siswa mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan komptensi yang cukup pada masanya, dan tumbuh motivasi untuk selalu mengembangkannya dimasa yang akan datang.
Disinilah peranan penting guru dalam mengelola kelas yang diasuhnya. Menciptakan kelas menjadikan sebuah tempat belajar yang berkesan dan menyenangkan, sehingga siswa benar-benar memperoleh materi pelajaran dan dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal. Pemilihan metode yang tepat, bersifat dinamis sesuai dengan materi pelajaran dan selaras dengan perkembangan sains dan teknologi serta memahami karakteristik siswa mutlak dilakukan. Agar dalam proses belajarnya siswa merasa “fun” dan menguasai kompetensinya. Siswa tidak hanya dijadikan obyek pendidikan, akan tetapi lebih dari itu yaitu menjadi subyek yang aktif untuk mengembangkan kreatifitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran di kelas.
Menurut Prof. Suyanto guru seharusnya tahu sampai mana dia mengajar, apakah hanya sekedar untuk diingat dengan memberikan pengetahuan dan menerapkan pemahaman yang menghasilkan skill? Atau mengajar hingga merefleksi siswa dengan sasaran dapat mengubah sikap mereka. Sebab, pembelajaran tertinggi yang dapat diberikan adalah mengubah sikap siswa (Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian RI, 2010).
Dalam mengembangkan skill siswa dan merubah sikap perlu perhatian khusus dari guru, terutama guru pendidikan agama Islam dimana ia memberikan contoh dalam sikap dan tingkah laku guna mengaplikasikanya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk guru pendidikan agama Islam meningkatkan kompetensi dalam memberikan materi di dalam kelas yang tidak lain untuk merubah siswa serta meningkatkan etos kerjanya sebagai pendidik yang propesional.
Memperhatikan latar belakang di atas penulis tertarik untuk membuat makalah yang penulis beri judul  Kompetensi Guru Pendidikan Agama Dalam Menyampaikan Meteri Untuk Meningkatkan Etos Kerja di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong” (Makalah Ini disusun untuk  memenuhi syarat penysuaian ijasah S.I / Kenaikan tingkat dan Ujian Dinas tingkat II).
B.  Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya masalah penelitian ini, maka penulis perlu untuk memberi batasan terhadap permasalahan yang akan diteliti. Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka yang akan dibahas yaitu : Kompetensi Guru Pendidikan Agama Dalam Menyampaikan Meteri Untuk Meningkatkan Etos Kerja di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong.

C.  Perumusan Masalah
Untuk itu yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
  1. Bagaimana kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong?
  2. Bagaimana penyampaian materi guru pendidikan agama islam dalam meningkatkan etos kerja?
  3. Bagaimana relevansi kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri dalam meningkatkan etos kerja di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong?
D.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu :
1.      Untuk Mengetahui kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong
2.      Untuk Mengetahui penyampaian materi guru pendidikan agama islam dalam meningkatkan etos kerja
3.      Untuk Mengetahui relevansi kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri dalam meningkatkan etos kerja di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong



E.     Manfaat Penulisan
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
a)      Secara teoritik diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan IPI (Ilmu Pendidikan Islam) khususnya pendidikan agama Islam Di Sekolah Dasar..
b)      Secara metodik diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi perbaikan metode pembelajaran materi pendidikan agama Islam  di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong.















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kompetensi Guru
1.      Pengertian Kompetensi Guru
Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Kompetensi yang dimilki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam menagajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Artinya guru bukan saja harus pintar, tetapi juga harus pandai mentransfer ilmunya kepada peserta didik (Fathurrahman dan Sutikno, 2007: 44). Guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogis, personal, profesional, dan sosial.
Menurut Muhammad Surya yang dikutip Ramayulis (2005: 60) kompetensi guru agama sekurang-kurangnya ada empat, yaitu:
  1. Menguasai substansi materi pelajaran
  2. Menguasai metodologi mengajar
  3. Menguasai teknik evaluasi dengan baik
  4. Memahamai, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral dan kode etik profesi.

Pemerintah dalam kebijakan pendidikan nasional telah merumuskan kompetensi guru ada empat, hal tersebut tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial (Presiden Republik Indonesia, 2005).
a.      Kompetensi Pedagogik
Istilah pedagogik diterjemahkan dengan kata ilmu mendidik, dan yang dibahas adalah kemampuan dalam mengasuh dan membesarkan seorang anak (Nata : 142). Kompetensi pedagogik digunakan untuk merujuk pada keseluruhan konteks pembelajaran, belajar, dan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut (Wikipedia: 2011). Kompetensi pedagogik bertumpu pada kemungkinan pengembangan potensi dasar yang ada dalam tiap diri manusia sebagai makhluk individual, sosial dan moral (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1998/1999: 15).
Secara lebih sederhana terkait dengan guru, kompetensi pedagogik berarti kemampuan guru dalam mengelola kelas sedemikian rupa agar tujuan pendidikan dapat tercapai, yang didalamnya terdapat banyak hal cakupannya.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 dijelaskan tentang kompetensi pedagogik, meliputi :
  1. Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya
  2. Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran
  3. Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan (Kementerian Pendidikan Nasional, 2011)

b.      Kompetensi Kepribadian
Dalam lingkungan sekolah, khususnya ketika guru berada di kelas untuk melaksanakan proses pembelajaran, karakteristik kepribadian akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan peserta didik. Kepribadian guru yang baik akan menjadi teladan bagi anak didiknya, sehingga menjadi sosok yang memang sudah selayaknya menjadi contoh dan patut ditiru. Dengan kepribadian yang baik guru mempunyai wibawa untuk selalu dihormati dan dipatuhi oleh siswa. Penghormatan dan kepatuhan siswa tumbuh dari kewibawaan guru karena bisa mengayomi, melindungi, mengarahkan dan menjadi teladan bagi siswa. Tanpa harus melalui cara-cara yang bersifat menakutkan. Menurut Sukmadinata (2000: 192-193), kompetensi personal mencakup :
1)      Penampilan sikap yang positif terhadap tugas-tugas sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan.
2)      Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang semestinya dimiliki oleh guru.
3)      Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai suri teladan bagi para siswanya.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008, yang masuk kedalam kompetensi personal ini yaitu:
1)      Beriman dan bertakwa.
2)      Konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran.
3)      Berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
4)      Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, individualitas dan kebebasan memilih.
5)      Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat.
6)      Menampilkan kinerja berkualitas tinggi.
Guru dalam kesehariannya, terutama dalam proses pembelajaran harus sesuai perkataaan dengan perbuatan, bersikap merendahkan diri, dan tidak merasa malu dengan ucapan “tidak tahu” (Fahmi, 1979: 169). Konsistensi dalam berperilaku baik setiap hari merupakan bentuk pengejahwentahan untuk menjadi sosok yang patut menjadi teladan siswa-siswanya. Tidak merasa malu dengan ucapan “tidak tahu” ketika anak lebih tahu dulu ketimbang gurunya. Hal ini karena pada era globalisasi arus informasi bergerak dengan cepat, sehingga seringkali guru terlambat mendapatkan informasi yang baru dalam hal-hal tertentu dibandingkan siswanya.
Kompetensi personal atau kepribadian ini merupakan kemampuan guru menampilkan tentang pengetahuan agama, sosial, budaya dan estetika yang berbasis kinerja.
c.       Kompetensi Profesional
Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, akan tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional (Sukmadinata: 191). Guru profesional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan tinggi (profisiensi) sebagai sumber kehidupan (Syah: 230).
Dalam kaitannya profesionalisme guru, Nata (2003: 142-143) menyebutkan ada tiga ciri, yaitu :
1)      Guru yang profesional harus menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkan dengan baik, benar-benar seorang ahli dibidangnya. Guru selalu meningkatkan dan mengembangkan keilmuannya sesuai dengan perkembangan zaman.
2)      Guru yang profesional harus memiliki kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada siswa secara efektif dan efisien, dengan memiliki ilmu kependidikan.
3)      Guru yang profesional harus berpegang teguh kepada kode etik profesional sebagaimana disebutkan di atas. Kode etik di sini lebih menekankan pada perlunya memiliki akhlak mulia.
Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Mengerti tujuan proses pembelajaran terhadap materi yang diajarkan dan hasil yang akan didapat. Guru mengampu mata pelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikanya, atau dengan kata lain bekerja secara proporsional.
d.      Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan kerja (Sukmadinata: 192). Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, kepala sekolah, komite sekolah) di lingkungan sekolah (Kementerian Pendidikan Nasional: 2008).
Menurut Goleman (2007: 114), kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan terbentuk karena adanya kesadaran sosial yang bisa merasakan keadaan bathiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya. Hal tersebut meliputi :
1)      Empati dasar. Perasaan dengan orang lain; merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal.
2)      Penyelarasan. Mendengarkan dengan penuh reseptivitas; menyelaraskan diri pada seseorang.
3)      Ketepatan empatik. Memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain.
4)      Pengertian sosial. Mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja.
2.      Relevansi Kompetensi Guru dalam Pembelajaran PAI
Kunci keberhasilan tergantung pada diri guru dan siswa dalam mengembangkan kemampuan berupa keterampilan-keterampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepatan, kompleksitas, dan ketidakpastian, yang saling berhubungan satu sama lain (Rose dan Nicholl, 2002: 11). Guru menghargai dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didiknya masing-masing (Purwanto, 2003: 157).
Guru harus menguasai metode mengajar, menguasai materi yang akan diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang ada hubungannya dengan ilmu yang akan diajarkan kepada siswa. Juga mengetahui kondisi psikologis siswa dan psikologis pendidikan agar dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan siswa dan memberikan bimbingan sesuai dengan perkembangan siswa (Ramayulis: 52).
Guru sebelum mengelola interaksi proses pembelajaran di kelas, terlebih dahulu harus sudah menguasai bahan atau materi apa yang akan dibahas sekaligus bahan-bahan yang berkaitan untuk mendukung jalannya proses pembelajaran. Bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran di kelas (Fathurrahman dan Sutikno: 47). Dengan menguasai materi pelajaran, maka guru akan lebih mudah dalam pengelolaan kelas. Selain itu guru menjadi lebih mudah dalam memilih strategi belajarnya agar tujuan yang hendak dicapai dalam materi pelajaran tersebut berhasil terwujud.
Penguasaan bahan ajar yang berkaitan dengan materi pokoknya dari ilmu-ilmu lain seringkali sangat dibutuhkan dalam memberikan penjelesannya. Hal ini menjadi sebuah kebutuhan dimasa sekarang, dimana arus informasi begitu cepat untuk diketahui siswa.
Dengan menkorelasikan materi pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan ilmu lain akan menjadikan proses pembelajaran lebih bermakna dan semakin mudah dipahami siswa. Tidak sekedar mata pelajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi kalau ditinjau lebih kedalam, pemahaman tentang Islam sendiri juga beragam, sehingga tidak heran jika dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber pokok dalam Islam banyak sekali pendapat yang berbeda, bahkan tidak sedikit yang bertolak belakang.
Terhadap bahan dari ilmu lain yang ada hubungannya dengan materi pelajaran PAI, guru tidak harus tahu secara mendetail. Cukuplah gambaran umum sebagai penunjang untuk memahami materi pokoknya. Berikut beberapa contohnya :
  1. Dalam materi kelas 9 tentang Iman Kepada Hari Kiamat. Dalam praktiknya agar pembelajaran lebih bermakna dan mudah dipahami, guru sedikit banyak tahu tetang ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika, vulkanologi, demografi dll. Guru seharusnya juga tahu tentang gejala atau fenomena-fenomena alam yang menjadi pemberitaan media massa, baik tingkat lokal, regional maupun global.
  2. Materi tentang Iman Qadha dan Qadar. Agar pembelajaran bermakna maka dalam menyampaikan contoh konkrit tidak cukup sebatas mati, rizki, jodoh. Setidaknya guru juga tahu banyak contoh lain, yang jika ditinjau dari ilmu lain akan lebih memudahkan dalam pemahaman dan penerapannya, serta dapat meningkatkan keimanan siswa. Mulai dari ilmu bumi, kedokteran, sosial dan budaya, geografi, dan lain-lain.
  3. Pemahaman tentang mati suri. Pada acara Kick Andy yang disiarkan salah satu stasiun televisi, pernah menayangkan orang yang mati suri secara langsung. Orang yang mati suri melibatkan warga Muslim, dan agama yang lain. Akibat dari tayangan itu, muncul kegundahan dalam diri siswa dalam memahami konsep kematian. Karena dari empat orang yang “diuji coba” mati suri dengan latar belakang agama yang berbeda, ternyata pengalamannya berbeda-beda. Untuk menjelaskan hal tersebut, setidaknya guru perlu tahu sedikit ilmu kedokteran, anatomi, dan psikologi. Pada akhirnya muara dari penjelasan mati suri masuk ke dalam materi Qadha Qadar dan Kiamat Sughra. Tentunya dengan penjelasan yang mengglobal tersebut lebih memudahkan pemahaman siswa tentang ajaran Islam dari hasil tayangan di televisi.
Oleh karena itu, perlunya guru PAI senantiasa mengembangkan wawasan keilmuan yang berhubungan langsung dengan materi pelajaran, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dan dapat membantu pemahaman siswa. Kompetensi yang perlu dimiliki diantaranya yaitu guru memperhatikan “seni mengajar dan mendidik”, guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan yang diajarkan tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang psikologi anak, mengetahui tingkat kesiapan belajar mereka dan bakat intelektualnya.
B.  Etos Kerja
1.      Pengertian Etos Kerja
“Etos” dari sudut pandang bahasa berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang bermakna watak atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) makna lengkap “etos” adalah “karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang individu atau sekelompok manusia”. Dalam Webster’s News World Dictionary of the American Languange (1980) dikemukakan istilah “etos” berhubungan dengan “etika”, “etis”, yakni “kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok atau organisasi.” Sedangkan (Echols dan Shadily 1994;219) mengartikan “etos” sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia. Berdasarkan jiwa yang khas itulah berkembang pandangan seseorang individu atau kelompok (organisasi) tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk.
Etos kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) diartikan sebagai “semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok”.
Etos kerja yang jelas menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja ini yaitu meningkatnya kualitas kerja para guru sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam setiap semester maupun periode tahunan.
Berdasarkan batasan diatas, etos kerja guru dapat dijadikan sebagai suatu pokok pikiran utama dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu organisasi sekolah mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai. Dengan begitu bangsa Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lainnya dikawasan Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
Etos kerja guru yang tinggi akan banyak menentukan keberhasilan usaha dan proses pembelajaran di sekolah. Karena itu, masalah tersebut menarik untuk diperhatikan dan dianalisis dalam suatu organisasi sekolah yang didalamnya menyangkut berbagai keputusan termasuk keputusan para guru itu sendiri. Mengenai etos kerja ini, Soebagio Atmowirio (2000:232) mengemukakan bahwa “etos kerja merupakan pandangan dan sikap seseorang dalam menilai apa arti kerja sebagai bagian dari hidup dalam rangka meningkatkan kehidupannya”.
Selanjutnya Soebagio Admowirio (2000:233) secara lebih spesifik menjelaskan pengertian etos kerja sebagai berikut : “Etos kerja adalah landasan untuk meningkatkan prestasi kerja/kinerja setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Mengacu pada batasan tersebut, maka etos kerja guru dalam menjalankan tugasnya disekolah. Dalam hal ini etos kerja guru dipandang dari segi pelaksanaan tugas-tugas profesionalisme.                                               
2.      Langkah-langkah Pengembangan Etos Kerja Guru
Pengembangan etos kerja pada dasarnya merupakan suatu upaya  yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap guru, kepala sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk mengembangkan etos kerja guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar yang dilakukan oleh guru di sekolah. Secara umum  menurut Triguno (2002: 141-142) upaya yang harus ditempuh dalam pengembangan  etos kerja tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Peningkatan produktifitas melalui penumbuhan etos kerja.Tumbuhnya etos kerja akan memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi pribadi yang dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal.
b.      Sistim pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang memerlukan berbagai keahlian dan ketrampilan yang dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja.
c.       Dalam melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan sebaiknya nilai budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna mempertebal rasa harga diri dan nilai pendidikan sangat dibutuhkan dalam mengedepankan etos kerja para guru yang ada di lembaga pendidikan.
d.      Disiplin nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh sikap mental manusia yang produktif.
e.       Menggalakkan partisipasi masyarakat, meningkatkan dan mendorong agar terjadi perubahan dalam masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi masyarakat. Dampak dari etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga pendidikan formal tidak lain adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh yang positif terhadap masyarakat tentang cara dalam meningkatkan etos kerja yang diharapkan.
f.       Menumbuhkan motifasi kerja, dari sudut pandang pekerja, kerja berarti pengorbanan, baik itu pengorbanan waktu senggang atau kenikmatan hidup lainnya, semantara itu upah merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya itu. Bagi guru, dimensi seperti yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar dalam meningkatkan etos kerjanya.
Upaya-upaya pengembangan etos kerja diatas paling tidak harus terus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa dilakukan secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu peningkatan hasil dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya seperti ini perlu direalisasikan apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka membentuk sikap mental dan etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja guru ini karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia, khususnya dalam meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan usaha yang ditetapkan oleh setiap sekolah sebagai sebuah organisasi.
Suatu hal yang menarik jika dicermati secara serius, bahwa lembaga pendidikan sekarang ini sangat antusias untuk mengubah tatanan kerja yang kurang kondusif, menjadikan sekolah sebagai lembaga yang benar-benar kondusif dengan etos kerja anggota organisasinya yang ideal sebagaimana batasan yang dikemukakan diatas. Langkah-langkah seperti itu merupakan suatu upaya untuk meningkatkan etos kerja seorang guru sebagai pekerja pendidikan. Bagi guru, etos kerja bukan hal yang baru, sebab etos kerja sudah merupakan tuntutan profesionalisme seorang guru. Etos kerja yang tinggi sudah harus menjadi komitmen guru ketika dia harus mengabdikan dirinya dalam suatu kegiatan mengajar, mendidik dan memimpin, serta mengelolah anak didik di sekolah. Artinya bahwa etos kerja telah ada pada guru ketika dia telah diperhadapkan dengan jenis pekerjaan tersebut, hanya saja tingkat pengembangan etos kerja yang ada perlu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan.
Barometer sikap mental seorang guru dapat meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa besar pengorbanannya dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya (Triguno 2002:3). Lanjut Triguno, hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk menumbuhkan etos kerja sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja sesuai dengan aturan yang telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap inovatif dalam pekerjaannya. Untuk itulah dalam konteks lembaga sekolah, perlu adanya motifasi yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri guru untuk mengembangkan etos kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja merupakan bagian dari motivasi yang kuat dalam memberikan dorongan pemikiran dan kebijaksanaan yang tertuang dalam perencanaan dan program yang terpadu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi eksteren maupun interen organisasi.
Dari pembahasan tersebut di atas, menurut penulis setiap orang pasti punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot.
Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen (2010:24) memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja Profesional” yaitu:
1)     Etos pertama: Kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, guru sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahanan
2)     Etos kedua: Kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
3)     Etos ketiga: Kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat.
Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
4)     Etos keempat: Kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa percaya diri ketika berjumpa dengan temannya. “Perkenalkan, nama Saya Zakir Hubulo,S.Sos,M.Pd Guru Profesional Sosiologi sekaligus Waka Hubmas MA Yaspib Bitung.(Mantap To...)
5)     Etos kelima: Kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental.
6)     Etos keenam: Kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiaslah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang sangat rumit itu dengan kata sifat beautiful.
7)     Etos ketujuh: Kerja adalah kehormatan.
Serendah apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
8)     Etos kedelapan: Kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. “Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu  hanya untuk mencari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itukan waktu yang sangat lama.
Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.
Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya.



3.      Kualitas Hasil Kerja Guru
Pengertian kualitas hasil kerja disebut juga sebagai kinerja atau dalam bahasa Inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada istilah lain yang lebih menggambarkan pada “kualitas” atau “prestasi” dalam bahasa Inggris yaitu kata “achievement”. Tetapi karena kata tersebut berasal dari kata “to achieve” yang berarti “mencapai”, maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian” atau “apa yang dicapai”. (Ruky, 2001:15). Menurut  Hasibuan (1990), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa kualitas kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh dari sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada sekolah atau standar pencapaian hasil akhir dari guru-guru yang ada di sekolah dalam memnuhi kebutuhan dari peserta didik. Untuk meningkatkatkan kualitas hasil kerja tentunya dipengaruhi oleh faktor organisasional (sekolah) dan factor personal.
Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas pengawasan, beban kerja, nilai dan minat, serta kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga penting adalah kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat memperoleh kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya.
Sementara faktor personal meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait), senioritas, masa kerja, kemampuan ataupun keterampilan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan kepuasan hidup. Untuk faktor personal, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor status dan masa kerja. Pada umumnya, orang yang telah memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut dapat memberikannya kesempatan untuk memperoleh masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya untuk semakin menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar.
Di samping itu juga prestasi kerja seseorang tergantung juga dari  kesempatan, kapasitas, dan kemauan untuk melakukan prestasi. Kapasitas terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan, inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan, daya tahan, stamina, dan tingkat energi. Kemauan terdiri dari motivasi, kepuasan kerja, status pekerjaan, kecemasan, legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas karakteristik tugas, keterlibatan kerja, keterlibatan ego, citra diri, kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran, dan rasa keadilan. Sedangkan kesempatan meliputi alat, material, pasokan, kondisi kerja, tindakan rekan kerja, perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, prosedur organisasi, informasi, waktu, serta gaji yang didapatkan.






BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan

  1. Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut guru untuk memiliki kompetensi pedagogis, personal, profesional, dan sosial. Kompetensi guru menuntut pendidik untuk harus menguasai metode mengajar, menguasai materi yang akan diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang ada hubungannya dengan ilmu yang akan diajarkan kepada siswa. Mempunyai kepribadian yang baik untuk agar menjadi teladan bagi siswa. Menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab. Juga mengetahui kondisi psikologis siswa dan psikologis pendidikan agar dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan siswa dan memberikan bimbingan sesuai dengan perkembangan siswa.
  2. Penyampaian materi untuk meningkatkan etos kerja guru melitputi
a.       Kompetensi Pedagogik
b.      Kompetensi Kepribadian
c.       Kompetensi Proseional
3.      Perlunya guru PAI senantiasa mengembangkan wawasan keilmuan yang berhubungan langsung dengan materi pelajaran, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dan dapat membantu pemahaman siswa. Kompetensi yang perlu dimiliki diantaranya yaitu guru memperhatikan “seni mengajar dan mendidik”, guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan yang diajarkan tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang psikologi anak, mengetahui tingkat kesiapan belajar mereka dan bakat intelektualnya

B.  Saran-Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, terdapat beberapa catatan yang mungkin akan memiliki kegunaan dalam pengembangan implementasi metode demonstrasi sebagai berikut:
  1. Untuk institusi tempat penulis mengajar, perlu adanya bimbingan dari kepala sekolah dan guru senior agar kompetensi guru pendidikan agama dapat memberikan kontribusi yang besar bagi perubahan sikap dan tingkah laku siswa setiap hari.
  2. Untuk SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong Kabupaten Pandeglang, dengan adanya hasil penelitian ini, ada baiknya jika kompetensi yang dimiliki guru pendidikan agama Islam lebih di tingkatkan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar