BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Salah satu hal yang sejak dulu menjadi permasalahan dalam masyarakat dan membutuhkan perhatian khusus adalah penyalahgunaan obat-obatan. Pada awalnya penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang terbatas pada dunia kedokteran namun belakangan terjadi penyimpangan fungsi dan penggunaannya tidak lagi terbatas pada dunia kedokteran (Budiarta 2000). Penggunaan berbagai macam jenis obat dan zat adiktif atau yang biasa disebut narkoba dewasa ini cukup meningkat terutama di kalangan generasi muda. Morfin dan obat-obat sejenis yang semula dipergunakan sebagai obat penawar rasa sakit, sejak lama sudah mulai disalahgunakan. Orang-orang sehat pun tidak sedikit yang mengkonsumsi obat-obatan ini. Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang diakui banyak kalangan menjadi ancaman yang berbahaya bagi bangsa Indonesia. Sianipar (2004) mengatakan bahwa berdasarkan survey nasional penyalahgunaan narkoba yang dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap 13.710 responden yang terdiri dari pelajar SLTP, SLTA dan mahasiswa pada tahun 2003 diperoleh data bahwa dalam setahun terakhir terdapat 3,9% responden yang menyalahgunakan narkoba. Penelitian tersebut juga menunjukan semakin dininya usia penyalahgunaan narkoba, dengan usia termuda adalah 7 tahun. Ditambah pula oleh Sianipar bahwa jenis narkoba yang sering digunakan adalah inhalan, sementara itu pada usia 8 tahun ada yang sudah menggunakan ganja dan pada usia 10 tahun telah menggunakan narkoba dengan jenis yang bervariasi, yaitu pil penenang, ganja dan morphin.
Motivasi dan penyebab mengapa orang mengkonsumsi obat-obatan tersebut dapat bermacam-macam antara lain sebagai tindakan pemberontakan karena adanya penolakan oleh lingkungan seperti adanya perasaan minder, latar belakang dari keluarga yang berantakan, patah hati, atau hal-hal lain. Penyebab lain adalah sebagai tindakan untuk mengurangi stres dan depresi, sekedar mencoba untuk mendapatkan perasaan nyaman dan menyenangkan, sebagai tindakan agar diterima dalam lingkungan tertentu dan adanya rasa gengsi atau sebagai tindakan untuk lari dari realita kehidupan. Banyak kejadian dimana remaja menggunakan narkoba hanya untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain, contohnya ketika seorang anak sedang mengalami konflik, anak membutuhkan kehadiran serta perlindungan dari orangtuanya namun ketika anak tidak pernah mendapatkan penyelesaian dari orangtua maka dirinya mencari penyelesaian dari lingkungan dan teman-temannya. Hal tersebut hanyalah manifestasi dari kebutuhan mereka akan penghargaan dan pengakuan dari orangtua mereka sendiri (Staf iqeq 1998). Disamping itu, alasan utama seseorang mencoba obat-obatan adalah karena rasa ingin tahu mereka terhadap efek yang menyenangkan dari narkoba dan keinginan untuk mengikuti bujukan orang lain terutama dari lingkungan pergaulan mereka (McInthosh 2002).
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama (Wartono, dkk 1999). Penggunaan narkotika secara berlebihan dapat mengakibatkan dampak yang berbahaya, baik terhadap individu maupun terhadap masyarakat. Narkotika itu sendiri merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Budiarta 2000).
Pemakaian dan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan yang tidak sesuai aturan, dapat menimbulkan beberapa dampak negatif baik bagi pemakai itu sendiri maupun bagi lingkungan di sekitar pemakai. Menurut Wartono, dkk (1999), dampak yang ditimbulkan antara lain dapat berupa gangguan konsentrasi dan penurunan daya ingat bagi pemakai, sedangkan dampak sosialnya dapat menimbulkan kerusuhan di lingkungan keluarga yang menyebabkan hubungan pemakai dengan orangtua menjadi renggang, serta menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan seperti pencurian atau penodongan. Disamping itu, penggunaan narkotika yang terlalu banyak atau overdosis akan dapat menyebabkan kematian karena dosis yang digunakan makin lama makin bertambah banyak sedangkan daya tahan tubuh makin lama makin berkurang. Dikarenakan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan narkoba secara bebas dan tidak sesuai aturan, maka diperlukan perhatian khusus untuk menanggulangi masalah ini. Banyak cara dilakukan untuk menanggulangi masalah ini baik secara preventif maupun represif. Menurut Budiarta (2000), upaya preventif merupakan pencegahan yang dilakukan agar seseorang jangan sampai terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan narkoba. Sedangkan upaya represif artinya usaha penanggulangan dan pemulihan pengguna narkoba yang mengalami ketergantungan. Budiarta menambahkan bahwa usaha-usaha represif dapat dilakukan dengan mendirikan panti-panti rehabilitasi maupun Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Di dalam RSKO atau panti Rehabilitasi itulah nantinya dilaksanakan program-program pemulihan bagi pengguna narkoba. Menurut Wresniwiro (1999), rehabilitasi merupakan usaha untuk menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan obat terlarang, sehingga diharapkan para korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja serta belajar dengan layak.
Di dalam proses pemulihan, disamping faktor-faktor dari luar seperti mengikuti program-program pemulihan di panti rehabilitasi, ada faktor lain yang tampaknya juga penting, yaitu faktor dari dalam. Salah satu faktor yang berasal dari dalam adalah adanya keinginan individu untuk berhenti menggunakan narkoba serta memiliki keyakinan bahwa dirinya akan mampu melepaskan diri dari pengaruh narkoba tersebut. Kesadaran yang dimiliki seseorang bahwa mereka telah kecanduan dapat memakan banyak waktu dari beberapa minggu hingga beberapa bulan atau bahkan tahunan dan tergantung pada obat yang digunakan dan kemampuan para pecandu untuk mengatasi kebiasaannya tersebut (McIntosh 2002). Banyak orang yang mengalami masalah dengan obat-obatan tetap terperosok dalam tahap perenungan untuk merubah kebiasaan mereka. Perenungan tersebut tetap tidak berkembang karena mereka merasa tidak mampu untuk lepas dari obat-obatan dan bahkan mereka tidak berusaha untuk berhenti (Broad & Hall dalam Bandura 1995).
Oleh karena itu, adanya keyakinan dari dalam diri individu bahwa dirinya mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan obat-obatan ini merupakan faktor yang dianggap penting dalam proses pemulihan. Istilah keyakinan ini disebut dengan self-efficacy. Self-Efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang mampu menghadapi situasi tertentu. Self-efficacy tersebut mempengaruhi persepsi, motivasi dan tindakannya dalam berbagai cara (Zimbardo dan Gerrig 1999). Schwarzer (dalam Zimbardo dan Gerrig 1999) mengatakan bahwa self-efficacy mempengaruhi seberapa banyak usaha yang digunakan dan berapa lama seseorang dapat bertahan dalam mengatasi situasi kehidupan yang sulit. Disamping itu Kaplan, dkk (1993) menyebutkan self-efficacy ini sebagai sebuah konsep yang bermanfaat untuk memahami dan memprediksi tingkah laku. Menurut Bandura (dalam www.altavista.com/self-efficacy 2002), eseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan membangun lebih banyak kemampuan-kemampuan melalui usaha-usaha mereka secara terus-menerus, sedangkan self-efficacy yang rendah akan menghambat dan memperlambat perkembangan dari kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan seseorang. Bandura juga mengatakan bahwa individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung percaya bahwa segala sesuatu sangat sulit dibandingkan keadaan yang sesungguhnya sedangkan orang yang memiliki perasaan self-efficacy yang kuat akan mengembangkan perhatian dan usahanya terhadap tuntutan situasi dan dipacu oleh adanya rintangan sehingga seseorang akan berusaha lebih keras. Begitu pula halnya pada individu yang sedang menjalani rehabilitasi atau biasa disebut dengan residen. Menurut penulis, tingginya self-efficacy yang dimiliki oleh residen memungkinkan dirinya memiliki motivasi untuk melakukan tindakan dan usaha untuk berhenti sehingga pemulihannya akan semakin cepat dan nantinya akan berhasil, sebaliknya semakin rendah self-efficacy yang dimiliki maka seseorang kurang memiliki dorongan yang kuat dalam dirinya untuk berubah dan orang tersebut enggan untuk berusaha melakukan tindakan-tindakan untuk melepaskan diri dari pengaruh narkoba sehingga pemulihannya pun akan terhambat dan semakin lama.
Dari uraian diatas maka permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara self-efficacy dengan pemulihan pada pengguna narkoba?
Dari latar belakang tersebut maka peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh komunikasi keluarga terhadap kenakalan remaja di surabaya”.
II. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diambil suatu perumusan masalah pokok yaitu “Seberapa besarkah Pengaruh komunikasi keluarga terhadap kenakalan remaja di surabaya?”.
III. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui apakah dengan adanya komunikasi yang sering terhadap keluarga dapat mempengaruhi tingkat kenakalan remaja di surabaya
2. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis
Sebagai pembanding antara pengetahuan teoristis yang penulis dapatkan dengan kenyataan yang ada, sehingga penulis memperoleh kesempatan yang baik dalam memahami sikap dan berfikir, kritis untuk mengembangkan pengetahuan teoritis
b. Manfaat Praktis
Dapat memberikan tambahan wawasan bagi semua pihak khususnya bagi para orang tua terhadap pentingnya komunikasi kepada remaja
IV. KERANGKA TEORI
Menurut Onong Uchjana Effendy, Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris “communication” berasal dari bahasa latin “communicatio”, yang berarti sama, sama disini, adalah sama makna.( Onong Uchjana Effendy,1992:4)
Berlangsungnya komunikasi menyebabkan terjadinya hubungan antara penyampai pesan dengan penerima pesan. Menurut Bimo Walgito (1990:42-43) Baik tidaknya hubungn sosial seseorang sebenarnya dapat dilihat dari segi, yaitu:
1. Segi Frekwensi Hubungan
Adalah sering tidaknya seseorang mengadakan hubungna/kontak sosial dengan orang lain. Makin sering seseorang mengadakan hubungan dengan orang lain, makin baik hubungan sosialnya.
2. Segi Intensitas Hubungan
Yaitu mendalam atau tidaknya seseorang dalam mengadakan hubungan/kontak sosialnnya.
3. Segi Popularitas Hubungan
Yaitu banyak atau sedikitnya teman dlam hubungan sosial.
Agar bisa menerima hubungan yang baik, komunikator sebagai penyampai pesan dengan baik, yang kemudian diterima, dimengerti dan selanjutnya ditanggapi oleh komunikan. Tanggapan/reaksi dari komunikan ini penting, karena merupakan umpan balik (feed back) yang menunjukan bagaimana pesan itu diterima oleh komunikan.
Beberapa pakar komunikasi mengemukakan bahwa pengaruh komunikasi tidak semata-mata merupakan respons langsung dan berdiri sendiri dari penerima (khalayak), melainkan melalui langkah-langkah yang agak rumit dan panjang dengan melibatkan orang lain yang terpercaya dan diasumsikan dapat mempengaruhi keputusan penerima komunikasi.
Dalam keluarga, hubungan antara anggotanya didasarkan atas persamaan cinta kasih yang murni dan tidak ada maksud untuk menguntungkan diri pribadi dan merugikan orang lain.
Orangtua (ayah dan ibu) memegang peranan dalam pembinaan kesejahteraan keluarga bersama secara fisik, materi, dan spiritua , serta meningkatkan kedudukan keluarga dalam masyarakat. Peran keluarga atau orangtua dalam perkembangan kedewasaan remaja untuk tumbuh normal dalam melakukan peran sertanya bermasyarakat. Kurangnya kontrol sosial keluarga pada anak yang menginjak dewasa (remaja) akan menyebabkan kesulitan seorang remaja dalam menemukan identitas sesungghunya (identity diffusion atau role-confusion). Hal tersebut jika tidak disikapi dengan bijak akan membawa dampak negatif pada perilaku remaja.
Keluarga merupakan lembaga tertua yang terjadi karena ikatan perkawinan. Adanya ayah, ibu dan anak, serta unsur-unsur kasih sayang dan tanggung jawab diantara anggotanya. Sekalipun hanya sedikit anggota keluarga tersebut, namun mereka sudah merupakan masyarakat yang mengandung sifat hidup bersama, berbentuk kesatuan yang harmonis baik hidup kejiwaan maupun lahirnya (Alex Sobur,1985)
Sebagai suatu sistem, keluarga juga merupakan bagian dari masyarakat yang terkecil dimana keluarga berhubungan dengan masyarakat atau lingkungannya. Keluarga sebagai suatu sistem berarti dalam keluarga terdapat unsur-unsur atau individu-individu yang saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Ini menunjukkan bahwa diantara anggota-anggota tersebut ada interaksi. Dan ada ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Adanya interaksi yang baik antara ayah, ibu, dan anak akan mendukung keberhasilan komunikasi, komunikasi yang efektif ini juga harus didukung oleh adanya keterbukaan dan rasa saling percaya diantara anggota keluarga yang terlibat dalam aktifitas komunikasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang baik diantara anggota keluarga sangat mendukung dalam pencapaian komunikasi yang efektif.
4.1 Komunikasi Dan Proses Komunikasi
“ Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunkan bahasa sebagai alat penyalurnya”. (Effendy, 2000:28)
Lebih lanjut Effendy (2000:28) mengatakan dalam “bahasa” komunikasi, pernyataan dinamakan pessan (message), orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator (communicator), sedangkan orang yang menerima pernyataan diberi nama komunikan (communicate). Untuk tegasnya, komunikasi berarti prose penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Jika di analisis pesan komunikasi terdiri dari 2 aspek, yaitu :
1). Isi pesan (The Content Of The Message)
2). Lambang (symbol)
Untuk lebih jelasnya, maka kita kategorikan proses komunikasi dengan peninjauan dari 2 prospektif, yaitu :
1). Prose komunikasi dalam prespektif psikologis
Konkretnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, sedangkan lambang adalah bahas. “Walter Lippman menyebut isi pesan itu ‘Picture in our head’ “, sedangkan Walter Hagemam menamakanya “ das be wust seini halte”. Prose “Mengemas” atau membungkus pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator dalam bahasa komunikasi dinamakan encoding. Hasil encoding berupa pesan yang kemudian di transmisikan/dioperkan/dikirimkan kepada komunikan. Proses dalam diri komunikan disebut decoding yang seolah-olah membuka kemasan/bungkus pesan yang diterima dari komunikator tadi. Isi bungkusan tadi adalah pikiran komunikator. Apabila komunikan mengerti isi pesan/pikiran komunikator, maka terjadilah komunikasi.
2). Proses komunikasi dalam perspektif mekanistik
Dapat diklasifikasikan menjadi proses komunikasi secara :
a). Primer (Primary Process)
Adalah proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai media/saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasi-situasi komunikasi tertentu, lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yaitu gerak anggota tubuh, gambar, warna, dll.
b). Sekunder (Secondary Process)
Adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau saran sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Komunikasi dalam proses secara sekunder ini semakin lama semakin efektif dan efisien karena didukung oleh teknik komunikasi yang semakin canggih yang bisa mencapai tempat yang jauh dan banyak jumlahnya, misalnya radio, telepon, satelit komunikasi, dsb. (Effendy, 2000:31-32)
Didalam melakukan komunikasi secara efektif itu tidaklah mudah. Bahkan beberapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkin seseorang melakukan komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada juag banyak hambatan yang bisa merusak komunikasi. Berikut ini adalah beberapa hal yang merupakan hambatan komunikasi :
1). Gangguan (Noise)
Menurut sifatnya dapat diklasifikasikan sebagai :
- Gangguan Mekanik (Mechanical Noise)
Adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik.
- Gangguan Semantik (Semantic Noise)
Gangguan semantik ini bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertianya menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring kedalam pasan melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator, akan lebih bnayak gangguan semantik dalam pesannya. Gangguan semantik terjadi dalam salah pengertian.
Semantik adalah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata. Lambang kata yang sama mempunyai pengertian yang berbeda untuk ornag-ornag yang berlainan.
2). Kepentingan (Interest)
Kepntingan akan membuat seseorang selektif dalam menggapi atau menghayati suatu pesan. Kepentingan bukan hanya mempengaruhi perhatian kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita akan merupakan sifat reaktif terhadap segala perangsangg yang tidak bersesuaian atau bertentangan dengan suatu kepentingan.
3). Motivasi Terpendam
Motivasi terpendam ini akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan kekurangannya keinginan, kebutuhan dan kekurangan seseorang berbeda dengan orang lainnya, dari waktu ke waktu dan dri tempat ke tempat, sehingga karenanya motivasi itu berbeda dalam intensitasnya. Demikian pula intensitas tanggapan seseorang terhadap suatu komunikasi.
Semakain sesuai komunikasi dengan motivasi seseorang semakin besar kemungkinan komunikasi itu dapat diterima dengan baik oleh pihak yang bersangkutan. Sebaliknya komunikan akan mengabaikan suatu komunikasi yang tidak sesuai dengan motivasinya.
4). Prasangka
Merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi. Oleh karena orang yang mempunyai prasangka selalu bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar prasangka tanpa menggunakan pikiran yang rasional. Emosi seringkali membutakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata bagaimanapun, sehingga seseorang tidak akan dapat berpikir secara obyektif. (Effendy, 2000:45-49)
4.2 Tatanan Komunikasi
Secara umum tatanan komunikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu komunikasi pribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Berikut penjelasan dari masing-masing bagian tersebut
1. Komunikasi Pribadi
Komunikasi pribadi (personal Communication) adalah komunikasi seputar diri seseorang, baik dalam fungsinya sebagai komikator maupun sebagai komunikan. Tatanan komunikasi (setting of communication) ini terdiri dari dua jenis, yaitu
a. Komunikasi intrapribadi
Komunikasi intrapribadi adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seorang. Orang itu berperan sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Ia berbicara kepada diri sendiri, dia berdialog dengan dirinya sendiri. Dia bertanya dengan dirinya sendiri dan dijawab oleh dirinya sendiri.
Memang tidak salah kalau komunikasi intrapribadi disebut melamun tetapi jika melamun biasa mengenai segal hal misalnya melamun jadi orang kaya, melamun kawin lagi, dan lain sebagainya, komunikasi intrapribadi berbicara dengan diri sendiri dan bertanya-jawab dengan diri sendiri dalam rangka berkomunikasi dengan orang lain, dan orang lain ini bisa satu orang, sekolompok orang, atau masyarakat keseluruhan. Jadi sebelum berkomunikasi dengan orang lain, dengan lain perkataan sebelum melakukan komunikasi sosial seseorang melakukan komunikasi intrapribadi dahulu.
b. Komunikasi antar pribadi (interpersonal communication)
Komunikasi antar pribadi didefinisikan oleh Joseph A. Devita dalam bukunya (Devito,194) sebagai :
“ Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika”
Berdasarkan definisi Devito itu, komunikasi antarpribadi dapat berlangsung antara dua orang yang memang sedang berdua-duan sperti suami istri yang sedang bercakap-cakap, atau dua orang dalam suatu pertemuan, misalnya antara penyaji makalah dengan salah seorang pesarta suatu seminar.
Pentingnya situasi komunikasi antarpribadi ialah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik daripada secara monologis. Monolog menunjukkan suatu bentuk komunikasi di mana seorang berbicara, yang lain mendengarkan, jadi tidak terdapat interaksi. Yang aktif hanya komunikator saja, sedangkan komunikan bersikap pasif. Situasi komunikasi seperti ini terjadi misalnya ketika seorang ayah memberikan nasihat pada anaknya yang nakal, seorang istri cerewet yang tengah memarahi suami sabar yang memang melakukan kesalahan, sorang instruktur yang memberikan petunjuk tentang pengoperasian mesi, dan sebagainya.
2. Komunikasi Kelompok
Sebagaimana halnya seputar bidang komunikasi, tantanan komunikasi, metode komunikasi, teknik komunikasi, dan lain sebagainya, para pakar komunikasi, tidak mempunyai pendapat yang sama, demikian pula mengenai komunikasi kelompok.
Komunikasi kelompok berarti komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu sedikit berarti kelompok itu kecil, jika jumlahnya banya yang berarti kelompoknya besar. Dengan demikian komunikasi kelompok dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Komunikasi Kelompok Kecil
Komunikasi kelompok kecil adalah komunikasi yang :
- ditujukan kepada kognisi komunikan
- prosesnya berlangsu secara dialogis
Dalam komunikasi kelompok kecil komunikator menunjukkan pesanya dalam benak atau pikiran komunian, misalnya kuliah, ceramah, diskusi, seminar, rapat, dan lain-lain. Dalam situasi komunikasi seperti itu logika berperan penting, komunikan akan dapat menilai logis tidaknya uraian komunikator
Ciri kedua dari komunikasi kelompok kecil adalah bahwa prosesnya berlangsung secara dialogis, tidak linier, melainkan sirkular. Umpan balik terjadi secara verbal. Komunikan dapat menaggapi uraian komunikator, bisa bertanya jika tidak mengerti, dapat menyangga bila tidak setuju, dan lain sebagainya.
b. Komunikasi kelompok besar
Sebagai kebalikan dari komunikasi kelompok kecil, komunikasi kelompok besar adalah komunikasi yang :
- ditujukan kepada efeksi komunikan
- prosesnya berlangsung secara linier
Pesan yang disampaikan oleh kominikator dalam situasi komunikan kelompok besar, ditujukan kepada efeksi komunikan, kepada hatinya atau kepada perasaanya. Contoh untuk komunikasi kelompok besar adalah misalnya rapat raksasa di sebuah lapangan. Jika komunikan pada komunikasi kelompok kecil umumnya bersifat homogen ( antara lain sekelompok orang yang asma jenis kelaminya, sama pendidikannya, sama status sosialnya), maka komunikan pada komunikasi kelompok besar umumnya bersifat heterogen
3. Komunikasi massa
Yang dimaksud dengan komunikasi masa ( mass communication) disini ialah komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan digedung-gedung bioskop.
Lazimnya media massa modern menunjukkan seluruh sistem di mana pesan-pesan diproduksikan, dipilih, disiarkan diterima dan ditanggapi.
Melakukan kegiatan komunikasi massa jauh lebih sukar daripada komunikasi antarpribadi. Seorang komunikator yang menyampaikan pesan kepada ribuan pribadi yang berbeda paa saat yang sama, tidak akan bisa menyesuaikan harapannya untuk memperoleh tanggapan mereka secara pribadi. Suatu pendekatan yang bisa meregangkan kelompok lainya. Seorang komunikator melalui media massa yang mahir adalah seseorang yang berhasil menemukan metode yang tepat untuk menyiarkan pesanya guna membina empathy dengan jumlah terbanyak diantara komunikannya.
4.3 Komunikasi Non Vebal
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya: bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing, dan sebainya). Namun juga melalui perilaku nonverbal ini “ bukan apa yang dikatakan”, “melainkan bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dpaat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan perilaku nonverbalnya, yang mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Ricahard E. Porter dalam Mulyana (2003:308) komunikasi non verbal mencakup semua rangasangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.
Jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan suatu misal kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain.
William Condon dalam Mulyana (2004:310) memberikan tanggapan bahwa bahasa nonverbal sebangun dengan bahasa verbalnya. Artinya, pada dasarnya suatu kelompok yang pun bahasa verbal khas juga dilengkapi dengan bahasa nonverbal khas yang sejajar dengan bahasa verbal tersebut.
Beliau menganalisi ucapan dan gerakan tubuh secara terperinci, dengan menggunakan kamera film berkecepatan tinggi yang dilengkapi suara. Condon menduga bahwa tidak ada isyarat, bahkan tidak ada kedipan mata, yang bersifat acak. Setiap gerakan sinkron dengan ucapan. Salah satu cara untuk mengetahui sinkronya gerakan dan ucapan itu adalah dengan memperhatikan film atau telenovela asing yang telah disulisuara., yang melukiskan banyak adegan janggal, karena bahasa kedua yang digunakan tidak sinkron dengan gerkan yang hanya sinkron dengan bahasa aslinya”.
Perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi, Paul Ekman dalam Mulyana (2004:314) menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seprti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :
1. Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “ saya tidak sungguh – sungguh”
2. Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan
3. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.
4. Penyesuaian. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan respon yang tidak disadari yang merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.
5. Effect display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.
Dengan demikian kita biasanya lebih mempercayai pesan nonverbal, yang menunjukkan pesan sebenarnya, karena pesan nonverbal itu lebih sulit daripada pesan verbal. Kita dapat mengendalikan sedikit perilaku nonverbal; namun kebanyakan perilaku nonverbal di luar kesadaran kita. Kita dapat memutuskan dengan siapa dan kapan berbicara serta topik-topik apa yang akan kita bicarakan, tetapi sulit mengendalikan ekspresi waja senang, malu, ngambek, cuek; anggukan atau gelengan kepala; kaki yang mengetuk-ngetuk lantai; dan sebagainya
4.4 Definisi Keluarga
Secara hukum keluarga adalah sekelompok orang yang terikat oleh darah, perkawinan atau adopsi. “ Namun dalam sebuah survei nasional yang melibatkan 1.200 oran gdewasa yang dipilih secara acak, hanya 22 persen yang merasa puas dengan definisi itu. Hampir 75 persen menyukai definisi “ sekolompok orang yang saling mencintai dan saling mempedulikan” ( seligman dalam Stewart dan Sylvia, 1996:215).
Salah saatu definisi keluarga yang luas dan berguna adalah : “ jaringan orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama; yang terikat oleh perkawinan, darah, atau komitmen, legal atau tidak; yang menganggap diri mereka sebagai keluarga; dan yang berbagai pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan” (Galvin dan Brommel dalam Stewart dan Sylvia, 1996:215)
4.5 Komunikasi dalam keluarga
Keluarga adalah unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembnagan anak. Sedang lingkungan sekitar dan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekita memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan kepribadian anak (Kartini Kartono, 1992:57)
Hal ini disebabkan karena keluargalah merupakan lingkungan pertama yang berhubungan dengan kegiatan individu sejak lahir sampai dewasa. Dalam rentang kehidupan individu, keluarga mempunyai peranan penting terhadap seluruh aspek kepribadiannya (Praktikto, 1982:40)
Komunikasi yang terjadi antara anggota yang satu dengan yang lain berbeda, tergantung pada kepekaan tiap-tiap keluarga dan hubungan diantara anggota keluarga tersebut. Kualitas komunikasi mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan hubungan interpersonal yang positif diantara anggota keluarga. Dengan kata lain, komunikasi dalam keluarga akan berjalan baik apabila didukung oleh hubungan baik diantara anggota keluarga tersebut. Komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu orang atau satu kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Proses pengaruh tersebut merupakan suatu proses yang bersifat psikologis yang pada gilirannya membentuk proses sosial.
Pada hakikatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara seseorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusi berhubung prosesnya yang dialogis (Liliweri, 1997:50)
Untuk mengubah sebuah perilaku komunikasi yang terjadi haruslah bersifat terbuka dari dua arah. Masing-masing pihak haruslah ada keterbukaan antara satu dengan yang lain sehingga terjadi saling pengertian diantara keduanya.
Menurut Praktiko (1982:45) menyatakan bahwa keterbukaan dalam sebuah proses komunikasi antara anak dan orang tua merupakan hal terpenting untuk menciptakan salaing pengertian diantara keduanya.
Tingkat keterbukaan dalam sebuah proses komunikasi tergantung dari seberapa dekat orang tua terhadap anak sehingga anak merasa aman ketika ia mencurahkan isi hatinya secara menyeluruh kepada orang tua seperti halnya dikatakan oleh Mark and Miller (1994:60) bahwa kedekatan (proximity) antara anak dan kedua orang tua merupakan hal yang mutlak untuk dapat mengetahui apa yang menjadi keinginan dan pengukapan perasaan diri anak secara menyeluruh dalam sebuah proses komunikasi. hal ini menjadikan anak lebih dihargai dan merasa diperhatikan sehingga anak pun akan membuka diri terhadap apa yang dinasehatkan orang tua kepadanya.
Adapun Bochner dan Eisenberg, Galvin dan Brommel dalam Stewart dan Sylvia (1996:217) menyatakan diantara banyak teori yang digunakan oleh para ahli untuk menjelaskan keluarga, dua variabel yang penting adalah kohesi (kepaduan) dan adaptasi. Kedua dimensi ini mempengaruhi dan dipengaruhi komunikasi.
Kohesi merujuk kepada seberapa dekat keterkaitan anggota-anggota keluarga. Pada suatu titik ekstrem ada keluarga-keluarga memiliki sedikit otonomi atau sedikit kesempatan untuk mencapai kebutuhan dan tujuan pribadi. Keluarga-keluarga demikian memiliki sedikit pembatas. Anggota-anggota keluaraga berbagai segala sesuatu. Tingkat emosional dan fisik mereka cenderung tinggi. Mereka punya sedikit privacy, karena setiap anggota mengetahui urusan anggota lainnya. Galvin dan Brommel dalam Stewart dan Sylvia (1996:217)
Dalam keluarga-keluarga yang tingkat kepaduannya sangat rendah, sebaliknya, anggota-anggota keluarga secara fisik dan emosional terpisah, tidak terlibat, jadi ada sedikit saja hubungan diantara mereka. Sedikit saja kegiatan yang mereka lakukan bersama: kegiatan keluarga menempati prioritas yang rendah, dan setiap anggota tampaknya punya jadwal kegiatan masing-masing. Ketika menulis tentang bagaimana teknologi modern mengikis kehidupan kontemper, seorang psikog melukiskan pola ini ketika menyinggung “Hubungan gelombang mikro” (Microwave relationship) dalam kehidupan keluarga pada saat rumah menjadi kurang berfungsi sebagai tempat berteduh keluarga (Gergen dalam Stewart dan Sylvia, 1996:217)
Suatu dimensi lainnya yang penting dalam komunikasi keluarga adalah adaptasi terhadap perubahan : Meskipun ahli-ahli teori terdahulu memandang keluarga sebagai suatu sistem yang tetap seimbang dan tetap, jelas bahwa sister-sister keluarga berubah. Terkadang secara tiba-tiba (Bochner dan Eisenberg dalam Stewart dan slyvia, 1996:218)
Ada keluarga-keluarga yang sulit menyesuaikan diri mereka dengan setiap perubahan yang terjadi. Keluarga-keluarga demikian dianggap kaku; mereka hidup dengan aturan-aturan yang tidak luwes Satir dan Stewart dan Sylvia (1996:218) menulis bahwa dalam suatu sistem yang tertutup aturan-aturan tidak manusiawi. Kebanyakan keluarga berada diantara kedua titik eksterm ini dan punya kemampuan beradaptasi yang bervariasi terhadap perubahan. Meskipun semua keluarga mengalami tekanan, cara keluarga menangani tekanan itulah yang menentukan.
4.6 Masa remaja dan perkembangannya
Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golonangan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Remaja ada diantara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fisik maupun psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mereka masih tergolongan kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar disekolah atau perguruan tinggi. Bila mereka bekerja mereka melakukan pekerjaan sambilan dan belum mempunyai pekerjaan yang tetap.
Ausubel (1965) menyebut status orang dewasa sebagai status primer, artinya status itu diperoleh berdasarkan kemampuan dan usaha sendiri. Status anak adalah status diperoleh (derived), artinya tergantung daripada apa yang diberikan oleh orang tua (dan masyarakat). Remaja ada dalam status interim sebagai akibat daripada posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu padanya. Status interim berhubungan dengaan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas). Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari remaja mampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju masyarakat makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab ini.
Dalam publikasinya Havighurst (1976) mengemukakan sejumlah tugas-tugas perkembangan, berasal dari data penelitian-penelitian lintas-budaya. Bagi usia 12-18 tahun tugas perkembangan adalah :
1. Perkembangan aspek-aspek biologis
2. Menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri
3. Mendapatkan emansipasional dari orang tua dan/atau orang dewasa lainnya.
4. Mendapatkan pandangan hidup sendiri
5. Merealisasikan suatu identitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.
Dalam perkembangan sosial remaja dapat dilihat adanya dua macam gerak; pertama yaitu memisahkan diri dari orang tua dan yang lainya adalah menuju kearah teman-teman sebaya. Dua macam arah gerak ini tidak merupakan dua hal yang berurutan meskipun yang satu dapat terkait pada yang lain.
Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari milieu orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya, Erikson menamakan proses tersebut sebagai proses mencari identitas ego. Sudah barang tentu pembentukan identitas, yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap; merupakan aspek yang penting dalam perkembangan berdiri sendiri.
Menurut Marcia (1980) berpendapat bahwa perkembangan identitas itu terjadi selain dari mencari secara aktif (eksplorasi) juga tergantung daripada adanya “Commitments”. Dalam proses perkembangan identitas maka seseorang dapat berada dalam status yang berbeda-beda. Marcia membedakan antara menemukan identitas sesudah mengadakan eksplorasi yang disebut “achievement”; kemudian status “moratorium” yang menggambarkan remaja masih sedang sibuk-sibuknya mencari identitas; status “foreclosure” yaitu menemukan identitas tanpa mengalami krisis atau eksplorasi terlebih dahulu, dan keadaan tanpa bisa menemukan identitas sesungghunya (identity diffusion atau role-confusion).
4.7 Remaja dalam masyarkat
Hubungan seseorang dengan masyarakatnya menjadi semakin penting pada masa remaja. Khususnya dalam proses emansipasi perlu ada tinjauan bagaimana hubungan remaja dengan masyarakat.
Dalam mendidik remaja perlu diarahkan kepada hal-hal yang baik untuk menjaga keselarasan antara individu dan masyarakat. Jadi apa yang baik untuk menjaga kelestarian “social order”. Hal ini sering menimbulkan bahan konflik karena remaja mempunyai ideal dan cita-cita sendiri yang tidak ditemukan dalam masyarakat. Remaja mengalami pertentangan antara apa yang diidam-idamkan dengan kenyataan yang ada.
Pertentangan antara remaja dan masyarakat ini menurut Mollenhauer ada 6 macam yaitu :
1. Pertentangan antara integrasi dan partisipasi kritis.
Supaya masyarakat bisa berfungsi dengan baik, maka semua warganya perlu memikul tanggung jawab bersama dan para remaja perlu dipersiapkan untuk hal tersebut. Namun sebaliknya banyak diketemukan hambatan dan rintangan bagi remaja untuk bisa ikut berpartisipasi secara kritis dalam berbagai institusi seperti keluarga, sekolah, serta kehidupan usaha. Sebagian besar remaja telah mengambil sikap komformistis sehingga lebih menyesuaikan diri dengan pola masyarakat daripada dengan cita-cita sendiri.
2. Pertentangan antara kesempatan dan usaha kearah peningkatan status sosial
Cita-cita mengenai adanya kesempatan yang sama bagi semua orang ( warga masyarakat) sangat disetujui oleh masyarakat namun banyak gejala ditemukan bahwa seseorang sulit meningkatkan status sosial bila ia terlanjur masuk suatu kelompok sosial, yaitu misalnya anak seorang buruh akan tetap berada dalam kelompok buruh tadi. Anak seorang buruh juga akan menjadi buruh.
Di indonesia terdapat keadaan yang agak lain. Berhubung mobilitas orang meningkat maka banyak anak dari kelompok sosial ekonomi lebih rendah dapat keluar dari kelompoknya tersebut dengan cara menuntut pendidikan yang lebih tinggi dan akhirnya dapat menempatkan dirinya dalam status sosial yang lebih baik.
3. Pertentangan antara sugesti mengenai kehidupann yang serba enak dengan kenyataan yang ada : masih tergantung orang tua.
Ideal perkembangan seseorang adalah mencapai aktualisasi diri atau perwujudan diri. Remaja masih diliputi penuh cita-cita akan kehidupan yang lebih bebas, mandiri lepas dari ikatan rumah dan lingkungannya. Kenyataannya adalah bahwa remaja masih terikat akan sejarah hidupnya, masih juga meniti jalan yang sudah “ditentukan“ baginya oleh pendidikan dan lingkungannya. Dalam waktu luang remaja sering melamunkan kehidupan yang lebih menyenangkan, misalnya membeli barang-barang yang disenangi.
4. Pertentangan antara perhatian mengenai faktor ekonomi dan pembentukan kepribadian
Pertentangan yang terjadi disini adalah pertentangan yang sungguh-sungguh; numerus fixus dan pengstrukturan kembali sistem pengajaran yang bersifat ilmiah. Makin banyak remaja yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi sebagai akibat situasi hidup yang lebih baik.
Dalam keseluruhan pendidikan makin nampak bahwa kebutuhan ekonomi makin menguasai pembentukan kepribadian anak. Tetapi disamping itu nampak pula bahwa pendidikan seringkali bertujuan untuk membuat anak politis dewasa dan mencapai emansipasi yang kurang ada hubungannya dengan keadaan orde ekonomi yang ada.
5. Pertentangan antara fungsi politis dalam pembentukan kepribadian dengan sifat sebenarnya yang tidak politis
Pengertian pembentukan kepribadian yang berasal dari pemikiran neo-humanisme, semula tidak berhubungan dengan pengetahuan dasar umum yang begi dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat yang maju. Pembentukan kepribadian berarti perkembangan sifat-sifat kemanusiaan lepas dari pekerjaan yang dimiliki seseorang. Dalam makna semula maka hal itu juga berarti keikutsertaan orang dalam kejadian yang ada dalam masyarakatnya. Dalam kasus ini mungkin hal itu berarti kesadaran bermasyarakat.
6. Pertentangan antara tuntutan rasional dengan kenyataan yang irrasional.
Remaja sering diberi pengertian bahwa sikap yang rasional sangat dibutuhkan dalam masyarakat maju. Tetapi kenyataan yang ada sangat bertentangan. Rasionalisasi berarti bahwa semua yang terjadi harus bisa dikontrol, dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu, proses demokratis yang ada dalam masyarakat yang telah maju tidak bisa terlaksana dengan baik dengan dalih tidak ada penilai-penilai yang ckup mampu atau demi efisiensi pengambilan keputusan (Selactik, Wolters, 1974).
4.8 Kenakalan Remaja
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan lingkungan sekitar dan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Karena itu baik-buruknya struktur keluarga dan masyarakat sekitar memberikan pengaruh baik atau buruknya pertumbuhan anak.
Menurut Kartini Kartono (2003) Delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tentangga terdekat, ditambah dengan nafsu primitif dan agresivitas yang tidak terkendalikan.
Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga jelas memainkan peranan paling besar dalam membentuk kepribadian remaja delinkuen. Misalnya, rumah tangga yang berantakan disababkan oleh kematian ayah atau ibu, perceraian diantara bapak dan ibu, hidup terpisah, poligami, keluarga yang diliputi konflik keras, semua itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan delinkuensi remaja, sebabnya antara lain :
a. Anak kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan
orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.
b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.
c. Akan-anak tidak pernah mendapat latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Meraka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang baik.
Sebagai akibat ketiga bentuk pengabaian diatas, anak menjadi bingung, risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam, benci sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga,yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan atau kriminal.
Fakta menunjukkan bahwa tingkah-laku delinkuen tidak hanya terbatas pada strata sosial bawah dan strata ekonomi rendah saja; akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan keluarga berantakan.
4.9 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2000:39), “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan permasalahan, karena sifatnya sementara maka perlu dibuktikan kebenarannya melalui data empirik yang terkumpul.” Hipotesis dalam penelitian ini merupakan suatu pernyataan mengenai hubungan antara dua variabel yang masih harus di uji kebenarannya berdasarkan data yang terkumpul.
Berdasarkan uraian dan permasalahan diatas maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
“Diduga ada pengaruh yang signifikan antara komunikasi keluarga terhadap kenakalan remaja di surabaya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar