STAISMAN
blog saya yang saya buat ini, di tujukan kepada mahasiswa yang kebingungan mencari bahan untuk pembuatan makalah, oleh karenanya, melihat dari fakta yang ada maka saya berinisyatif untuk membuat blog yang isinya makalah-makalah yang saya kumpulkan dari semester 3 sampai selesai saya kuliah, dan bagi anda yang berkunjung ke blog saya ini saya ucapkan terima kasih banyak. semoga apa yang saya buat ini dapat membantu anda dan bermanfaat amin
Senin, 02 Desember 2013
makalah buat naik pangkat
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan sebagai ujung tombak untuk
mencerdaskan bangsa, sudah selayaknya untuk secara terus-menerus mengikuti
perkembangan zaman, sehingga peserta didik mempunyai bekal yang cukup untuk
bersaing dalam era global. Mulai dari managemen pendidikan, kurikulum,
strategi, metode, ataupun evaluasi perlu untuk ditingkatkan agar tujuan
pendidikan dapat tercapai sesuai dengan kebutuhan siswa yang memiliki
karakteristik yang berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa lainnya.
Dari berbagai komponen yang terkait dengan lembaga
pendidikan tesebut, guru mememang peranan penting dalam membimbing dan
menghantarkan keberhasilan peserta didik. Karena langsung berhadapan dengan
siswa di kelas. Maka sudah semestinya jika guru mempunyai kemampuan
(kompetensi) tertentu yang disyaratkan agar dalam pelaksanaannya mengelola
kelas bisa berjalan dengan baik. Indikator baik tersebut ditunjukkan dengan
siswa menguasai materi pelajaran dan menjalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Hakikat mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam dimasukkan ke dalam kurikulum adalah agar generasi muda
Indonesia bukan hanya cerdas dan pandai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,
tetapi juga menjadi manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Proses
pembelajaran di kelas bersifat dinamis, seperti yang telah dirumuskan dalam
kurikulum sekolah. Proses pembelajaran di kelas menjadi hak sepenuhnya yang
dimiliki guru untuk dipergunakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tanpa
mengesampingkan prosedur yang berlaku dalam lembaganya.
Percepatan
arus informasi dalam era globalisasi pada saat sekarang menuntut semua bidang
kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan dan strateginya agar sesuai
dengan kebutuhan, dan tentunya tidak ketinggalan zaman (up to date)
(Mulyasa, 2007: 2). Perubahan yang cepat tersebut menuntut kehidupan dinamis
agar senantiasa dengan perkembangan zaman. Begitu pula dengan guru ketika
berada di kelas, harus mengikuti setiap perkembangan informasi dan sains agar
dapat menghubungkan hal-hal yang sesuai dengan materi pelajaran. Hal tersebut
menjadi sebuah contoh konkrit bagi siswa dalam belajarnya.
Mengembangkan
potensi yang dimiliki siswa secara maksimal, dengan pembelajaran yang mengarah
pada peningkatan motivasi, kreatifitas, imajinasi, inovasi dan etos keilmuwan
(Nata, 2003: 4). Siswa menjadi subyek pembelajaran untuk mengeksplorasi materi
pelajaran dan mengeksploitasi skill yang dimilikinya.
Guru
melakukan terobosan di dunia pendidikan yang dikehendaki dengan menemukan
metode-metode baru dalam pendidikan dan pembelajaran (Dryden dan Vos, 2000:
83). Metode baru tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman dan
karakteristik siswa. Sehingga pembelajaran menjadi relevan dan efektif.
Kompetensi
atau kemampuan guru dalam mengelola kelas sehingga proses pembelajaran menjadi
kondusif merupakan indikator kreatifitas dan efektifitas guru. Hal itu dapat
dicapai jika guru dapat : memusatkan kepribadian dan kompetensinya dalam
mengajar, menerapkan metode pembelajarannya, memusatkan pada proses dan
produknya, dan memusatkan pada kompetensi yang relevan (Subandijah, 1996: 6).
Guru sangat memerlukan aneka ragam pengetahuan dan keterampilan yang memadai
dalam arti sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan sains dan teknologi (Syah,
2002: 1). Dinamisasi dalam banyak hal pada proses pembelajaran tersebut yang
pada akhirnya tujuan pendidikan nasional dalam skala mikro maupun makro akan
terwujud. Sehingga siswa mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan komptensi yang
cukup pada masanya, dan tumbuh motivasi untuk selalu mengembangkannya dimasa
yang akan datang.
Disinilah
peranan penting guru dalam mengelola kelas yang diasuhnya. Menciptakan kelas
menjadikan sebuah tempat belajar yang berkesan dan menyenangkan, sehingga siswa
benar-benar memperoleh materi pelajaran dan dapat mengembangkan potensi yang
ada dalam dirinya secara maksimal. Pemilihan metode yang tepat, bersifat dinamis
sesuai dengan materi pelajaran dan selaras dengan perkembangan sains dan
teknologi serta memahami karakteristik siswa mutlak dilakukan. Agar dalam
proses belajarnya siswa merasa “fun” dan menguasai kompetensinya.
Siswa tidak hanya dijadikan obyek pendidikan, akan tetapi lebih dari itu yaitu
menjadi subyek yang aktif untuk mengembangkan kreatifitas dan kemampuannya
dalam proses pembelajaran di kelas.
Menurut
Prof. Suyanto guru seharusnya tahu sampai mana dia mengajar, apakah hanya
sekedar untuk diingat dengan memberikan pengetahuan dan menerapkan pemahaman
yang menghasilkan skill? Atau mengajar hingga merefleksi siswa dengan sasaran
dapat mengubah sikap mereka. Sebab, pembelajaran tertinggi yang dapat diberikan
adalah mengubah sikap siswa (Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
RI, 2010).
Dalam mengembangkan skill siswa dan
merubah sikap perlu perhatian khusus dari guru, terutama guru pendidikan agama
Islam dimana ia memberikan contoh dalam sikap dan tingkah laku guna
mengaplikasikanya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dipandang perlu
untuk guru pendidikan agama Islam meningkatkan kompetensi dalam memberikan
materi di dalam kelas yang tidak lain untuk merubah siswa serta meningkatkan
etos kerjanya sebagai pendidik yang propesional.
Memperhatikan
latar belakang di atas penulis tertarik untuk membuat makalah yang penulis beri
judul Kompetensi Guru Pendidikan Agama Dalam Menyampaikan Meteri Untuk
Meningkatkan Etos Kerja di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong” (Makalah Ini disusun untuk memenuhi syarat penysuaian ijasah S.I /
Kenaikan tingkat dan Ujian Dinas tingkat II).
B.
Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya masalah
penelitian ini, maka penulis perlu untuk memberi batasan terhadap permasalahan
yang akan diteliti. Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka yang akan
dibahas yaitu : Kompetensi Guru
Pendidikan Agama Dalam Menyampaikan Meteri Untuk Meningkatkan Etos Kerja di SD
Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong.
C.
Perumusan Masalah
Untuk
itu yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Bagaimana kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong?
- Bagaimana penyampaian materi guru pendidikan agama islam dalam meningkatkan etos kerja?
- Bagaimana relevansi kompetensi guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri dalam meningkatkan etos kerja di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong?
D.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini
yaitu :
1.
Untuk Mengetahui kompetensi
guru pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri di SD Negeri Pasir Karag
1 Kecamatan Keroncong
2.
Untuk Mengetahui penyampaian
materi guru pendidikan agama islam dalam meningkatkan etos kerja
3.
Untuk Mengetahui relevansi kompetensi guru
pendidikan agama Islam dalam menyampaikan meteri dalam meningkatkan etos kerja
di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong
E. Manfaat Penulisan
Sedangkan
manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
a)
Secara teoritik diharapkan dapat memberikan
konstribusi bagi pengembangan IPI (Ilmu Pendidikan Islam) khususnya pendidikan
agama Islam Di Sekolah Dasar..
b)
Secara metodik diharapkan dapat memberikan konstribusi
bagi perbaikan metode pembelajaran materi pendidikan agama Islam di SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan
Keroncong.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kompetensi Guru
1.
Pengertian Kompetensi Guru
Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang
guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Kompetensi yang dimilki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam
menagajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam penguasaan pengetahuan dan
profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Artinya guru bukan saja
harus pintar, tetapi juga harus pandai mentransfer ilmunya kepada peserta didik
(Fathurrahman dan Sutikno, 2007: 44). Guru dituntut untuk memiliki kompetensi
pedagogis, personal, profesional, dan sosial.
Menurut Muhammad Surya yang
dikutip Ramayulis (2005: 60) kompetensi guru agama sekurang-kurangnya ada
empat, yaitu:
- Menguasai substansi materi pelajaran
- Menguasai metodologi mengajar
- Menguasai teknik evaluasi dengan baik
- Memahamai, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai moral dan kode etik profesi.
Pemerintah dalam kebijakan
pendidikan nasional telah merumuskan kompetensi guru ada empat, hal tersebut
tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian,
profesional, dan sosial (Presiden Republik Indonesia, 2005).
a.
Kompetensi
Pedagogik
Istilah pedagogik
diterjemahkan dengan kata ilmu mendidik, dan yang dibahas adalah kemampuan
dalam mengasuh dan membesarkan seorang anak (Nata : 142). Kompetensi pedagogik digunakan untuk merujuk
pada keseluruhan konteks pembelajaran, belajar, dan berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan hal tersebut (Wikipedia: 2011). Kompetensi pedagogik
bertumpu pada kemungkinan pengembangan potensi dasar yang ada dalam tiap diri
manusia sebagai makhluk individual, sosial dan moral (Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1998/1999: 15).
Secara lebih sederhana
terkait dengan guru, kompetensi pedagogik berarti kemampuan guru dalam
mengelola kelas sedemikian rupa agar tujuan pendidikan dapat tercapai, yang
didalamnya terdapat banyak hal cakupannya.
Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 dijelaskan tentang kompetensi
pedagogik, meliputi :
- Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya
- Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran
- Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan (Kementerian Pendidikan Nasional, 2011)
b.
Kompetensi
Kepribadian
Dalam lingkungan sekolah,
khususnya ketika guru berada di kelas untuk melaksanakan proses pembelajaran,
karakteristik kepribadian akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan peserta
didik. Kepribadian guru yang baik akan menjadi teladan bagi anak didiknya,
sehingga menjadi sosok yang memang sudah selayaknya menjadi contoh dan patut
ditiru. Dengan kepribadian yang baik guru mempunyai wibawa untuk selalu
dihormati dan dipatuhi oleh siswa. Penghormatan dan kepatuhan siswa tumbuh dari
kewibawaan guru karena bisa mengayomi, melindungi, mengarahkan dan menjadi
teladan bagi siswa. Tanpa harus melalui cara-cara yang bersifat menakutkan. Menurut Sukmadinata (2000:
192-193), kompetensi personal mencakup :
1) Penampilan
sikap yang positif terhadap tugas-tugas sebagai guru, dan terhadap keseluruhan
situasi pendidikan.
2) Pemahaman,
penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang semestinya dimiliki oleh guru.
3) Penampilan
upaya untuk menjadikan dirinya sebagai suri teladan bagi para siswanya.
Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008, yang masuk kedalam kompetensi personal
ini yaitu:
1) Beriman
dan bertakwa.
2) Konsisten
dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran.
3) Berakhlak
mulia dan berbudi pekerti luhur.
4) Menghargai
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian, individualitas dan kebebasan
memilih.
5) Menunjukkan
integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat.
6) Menampilkan
kinerja berkualitas tinggi.
Guru dalam kesehariannya,
terutama dalam proses pembelajaran harus sesuai perkataaan dengan perbuatan,
bersikap merendahkan diri, dan tidak merasa malu dengan ucapan “tidak tahu”
(Fahmi, 1979: 169). Konsistensi dalam berperilaku baik setiap hari merupakan
bentuk pengejahwentahan untuk menjadi sosok yang patut menjadi teladan
siswa-siswanya. Tidak merasa malu dengan ucapan “tidak tahu” ketika anak lebih
tahu dulu ketimbang gurunya. Hal ini karena pada era globalisasi arus informasi
bergerak dengan cepat, sehingga seringkali guru terlambat mendapatkan informasi
yang baru dalam hal-hal tertentu dibandingkan siswanya.
Kompetensi personal atau kepribadian ini merupakan kemampuan
guru menampilkan tentang pengetahuan agama, sosial, budaya dan estetika yang
berbasis kinerja.
c.
Kompetensi
Profesional
Sebagai pendidik profesional,
guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional, akan tetapi
juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional (Sukmadinata: 191).
Guru profesional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan dengan kemampuan
tinggi (profisiensi) sebagai sumber kehidupan (Syah: 230).
Dalam kaitannya
profesionalisme guru, Nata (2003: 142-143) menyebutkan ada tiga ciri, yaitu :
1) Guru
yang profesional harus menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkan
dengan baik, benar-benar seorang ahli dibidangnya. Guru selalu meningkatkan dan
mengembangkan keilmuannya sesuai dengan perkembangan zaman.
2) Guru
yang profesional harus memiliki kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu
yang dimilikinya kepada siswa secara efektif dan efisien, dengan memiliki ilmu
kependidikan.
3) Guru
yang profesional harus berpegang teguh kepada kode etik profesional sebagaimana
disebutkan di atas. Kode etik di sini lebih menekankan pada perlunya memiliki
akhlak mulia.
Kompetensi profesional
merupakan kemampuan guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam. Mengerti tujuan proses pembelajaran terhadap materi yang diajarkan
dan hasil yang akan didapat. Guru mengampu mata pelajaran yang sesuai dengan
kompetensi yang dimilikanya, atau dengan kata lain bekerja secara proporsional.
d.
Kompetensi
Sosial
Kompetensi sosial yaitu
kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan kerja
(Sukmadinata: 192). Memahami dasar, tujuan, organisasi, dan peran pihak-pihak
lain (guru, wali kelas, kepala sekolah, komite sekolah) di lingkungan sekolah
(Kementerian Pendidikan Nasional: 2008).
Menurut Goleman (2007: 114),
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan terbentuk karena adanya kesadaran
sosial yang bisa merasakan keadaan bathiniah orang lain sampai memahami
perasaan dan pikirannya. Hal tersebut meliputi :
1) Empati
dasar. Perasaan dengan orang lain; merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal.
2) Penyelarasan.
Mendengarkan dengan penuh reseptivitas; menyelaraskan diri pada seseorang.
3) Ketepatan
empatik. Memahami pikiran, perasaan dan maksud orang lain.
4) Pengertian
sosial. Mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja.
2.
Relevansi
Kompetensi
Guru dalam Pembelajaran PAI
Kunci keberhasilan tergantung
pada diri guru dan siswa dalam mengembangkan kemampuan berupa
keterampilan-keterampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepatan,
kompleksitas, dan ketidakpastian, yang saling berhubungan satu sama lain (Rose
dan Nicholl, 2002: 11). Guru menghargai dan memperhatikan perbedaan dan
kebutuhan anak didiknya masing-masing (Purwanto, 2003: 157).
Guru harus menguasai metode
mengajar, menguasai materi yang akan diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang ada
hubungannya dengan ilmu yang akan diajarkan kepada siswa. Juga mengetahui
kondisi psikologis siswa dan psikologis pendidikan agar dapat menempatkan dirinya
dalam kehidupan siswa dan memberikan bimbingan sesuai dengan perkembangan siswa
(Ramayulis: 52).
Guru sebelum mengelola
interaksi proses pembelajaran di kelas, terlebih dahulu harus sudah menguasai
bahan atau materi apa yang akan dibahas sekaligus bahan-bahan yang berkaitan
untuk mendukung jalannya proses pembelajaran. Bahan pelajaran adalah substansi
yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran di kelas (Fathurrahman dan
Sutikno: 47). Dengan menguasai materi pelajaran, maka guru akan lebih mudah dalam pengelolaan kelas.
Selain itu guru menjadi lebih mudah dalam memilih strategi belajarnya agar
tujuan yang hendak dicapai dalam materi pelajaran tersebut berhasil terwujud.
Penguasaan bahan ajar yang
berkaitan dengan materi pokoknya dari ilmu-ilmu lain seringkali sangat
dibutuhkan dalam memberikan penjelesannya. Hal ini menjadi sebuah kebutuhan
dimasa sekarang, dimana arus informasi begitu cepat untuk diketahui siswa.
Dengan menkorelasikan materi
pelajaran Pendidikan Agama Islam dengan ilmu lain akan menjadikan proses
pembelajaran lebih bermakna dan semakin mudah dipahami siswa. Tidak sekedar
mata pelajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi kalau ditinjau lebih kedalam,
pemahaman tentang Islam sendiri juga beragam, sehingga tidak heran jika dalam
memahami Al-Qur’an
dan Hadis sebagai sumber pokok dalam Islam banyak sekali pendapat yang berbeda,
bahkan tidak sedikit yang bertolak belakang.
Terhadap bahan dari ilmu lain
yang ada hubungannya dengan materi pelajaran PAI, guru tidak harus tahu secara
mendetail. Cukuplah gambaran umum sebagai penunjang untuk memahami materi
pokoknya. Berikut beberapa contohnya :
- Dalam materi kelas 9 tentang Iman Kepada Hari Kiamat. Dalam praktiknya agar pembelajaran lebih bermakna dan mudah dipahami, guru sedikit banyak tahu tetang ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia, matematika, vulkanologi, demografi dll. Guru seharusnya juga tahu tentang gejala atau fenomena-fenomena alam yang menjadi pemberitaan media massa, baik tingkat lokal, regional maupun global.
- Materi tentang Iman Qadha dan Qadar. Agar pembelajaran bermakna maka dalam menyampaikan contoh konkrit tidak cukup sebatas mati, rizki, jodoh. Setidaknya guru juga tahu banyak contoh lain, yang jika ditinjau dari ilmu lain akan lebih memudahkan dalam pemahaman dan penerapannya, serta dapat meningkatkan keimanan siswa. Mulai dari ilmu bumi, kedokteran, sosial dan budaya, geografi, dan lain-lain.
- Pemahaman tentang mati suri. Pada acara Kick Andy yang disiarkan salah satu stasiun televisi, pernah menayangkan orang yang mati suri secara langsung. Orang yang mati suri melibatkan warga Muslim, dan agama yang lain. Akibat dari tayangan itu, muncul kegundahan dalam diri siswa dalam memahami konsep kematian. Karena dari empat orang yang “diuji coba” mati suri dengan latar belakang agama yang berbeda, ternyata pengalamannya berbeda-beda. Untuk menjelaskan hal tersebut, setidaknya guru perlu tahu sedikit ilmu kedokteran, anatomi, dan psikologi. Pada akhirnya muara dari penjelasan mati suri masuk ke dalam materi Qadha Qadar dan Kiamat Sughra. Tentunya dengan penjelasan yang mengglobal tersebut lebih memudahkan pemahaman siswa tentang ajaran Islam dari hasil tayangan di televisi.
Oleh karena itu, perlunya
guru PAI senantiasa mengembangkan wawasan keilmuan yang berhubungan langsung
dengan materi pelajaran, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dan dapat membantu
pemahaman siswa. Kompetensi yang perlu dimiliki diantaranya yaitu guru
memperhatikan “seni mengajar dan mendidik”, guru tidak cukup hanya memiliki
pengetahuan yang diajarkan tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang
psikologi anak, mengetahui tingkat kesiapan belajar mereka dan bakat
intelektualnya.
B.
Etos Kerja
1.
Pengertian Etos Kerja
“Etos” dari sudut pandang
bahasa berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang bermakna watak atau karakter.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) makna lengkap “etos” adalah
“karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat
khusus tentang individu atau sekelompok manusia”. Dalam Webster’s News World
Dictionary of the American Languange (1980) dikemukakan istilah “etos”
berhubungan dengan “etika”, “etis”, yakni “kualitas esensial seseorang atau
suatu kelompok atau organisasi.” Sedangkan (Echols dan Shadily 1994;219)
mengartikan “etos” sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia. Berdasarkan jiwa
yang khas itulah berkembang pandangan seseorang individu atau kelompok
(organisasi) tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk.
Etos kerja dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1993:271) diartikan sebagai “semangat kerja yang menjadi ciri
khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok”.
Etos kerja yang jelas
menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai sikap kehendak yang
dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja ini yaitu
meningkatnya kualitas kerja para guru sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan dalam setiap semester maupun periode tahunan.
Berdasarkan batasan diatas,
etos kerja guru dapat dijadikan sebagai suatu pokok pikiran utama dalam dunia
pendidikan yang ada di Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu organisasi
sekolah mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses
pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian,
upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai. Dengan begitu bangsa
Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lainnya
dikawasan Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
Etos kerja guru yang tinggi
akan banyak menentukan keberhasilan usaha dan proses pembelajaran di sekolah.
Karena itu, masalah tersebut menarik untuk diperhatikan dan dianalisis dalam
suatu organisasi sekolah yang didalamnya menyangkut berbagai keputusan termasuk
keputusan para guru itu sendiri. Mengenai etos kerja ini, Soebagio Atmowirio
(2000:232) mengemukakan bahwa “etos kerja merupakan pandangan dan sikap
seseorang dalam menilai apa arti kerja sebagai bagian dari hidup dalam rangka
meningkatkan kehidupannya”.
Selanjutnya Soebagio
Admowirio (2000:233) secara lebih spesifik menjelaskan pengertian etos kerja
sebagai berikut : “Etos kerja adalah landasan untuk meningkatkan prestasi
kerja/kinerja setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Mengacu pada batasan
tersebut, maka etos kerja guru dalam menjalankan tugasnya disekolah. Dalam hal
ini etos kerja guru dipandang dari segi
pelaksanaan tugas-tugas profesionalisme.
2.
Langkah-langkah Pengembangan
Etos Kerja Guru
Pengembangan etos kerja pada
dasarnya merupakan suatu upaya yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap
guru, kepala sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk mengembangkan etos
kerja guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar yang dilakukan oleh
guru di sekolah. Secara umum menurut Triguno (2002: 141-142) upaya yang
harus ditempuh dalam pengembangan etos kerja tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Peningkatan
produktifitas melalui penumbuhan etos kerja.Tumbuhnya etos kerja akan
memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi pribadi yang
dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal.
b. Sistim
pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang memerlukan
berbagai keahlian dan ketrampilan yang dapat meningkatkan kreativitas,
produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja.
c. Dalam
melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan
sebaiknya nilai budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna mempertebal
rasa harga diri dan nilai pendidikan sangat dibutuhkan dalam mengedepankan etos
kerja para guru yang ada di lembaga pendidikan.
d. Disiplin
nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh sikap mental
manusia yang produktif.
e. Menggalakkan
partisipasi masyarakat, meningkatkan dan mendorong agar terjadi perubahan dalam
masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi masyarakat. Dampak dari
etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga pendidikan formal tidak lain
adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh yang positif terhadap
masyarakat tentang cara dalam meningkatkan etos kerja yang diharapkan.
f. Menumbuhkan
motifasi kerja, dari sudut pandang pekerja, kerja berarti pengorbanan, baik itu
pengorbanan waktu senggang atau kenikmatan hidup lainnya, semantara itu upah
merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya itu. Bagi guru, dimensi seperti
yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar dalam meningkatkan
etos kerjanya.
Upaya-upaya pengembangan etos
kerja diatas paling tidak harus terus dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa dilakukan
secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu
peningkatan hasil dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya
seperti ini perlu direalisasikan apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati
tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka membentuk sikap mental dan
etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja guru ini
karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia,
khususnya dalam meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan
usaha yang ditetapkan oleh setiap sekolah sebagai sebuah organisasi.
Suatu hal yang menarik jika
dicermati secara serius, bahwa lembaga pendidikan sekarang ini sangat antusias
untuk mengubah tatanan kerja yang kurang kondusif, menjadikan sekolah sebagai
lembaga yang benar-benar kondusif dengan etos kerja anggota organisasinya yang
ideal sebagaimana batasan yang dikemukakan diatas. Langkah-langkah seperti itu
merupakan suatu upaya untuk meningkatkan etos kerja seorang guru sebagai
pekerja pendidikan. Bagi guru, etos kerja bukan hal yang baru, sebab etos kerja
sudah merupakan tuntutan profesionalisme seorang guru. Etos kerja yang tinggi
sudah harus menjadi komitmen guru ketika dia harus mengabdikan dirinya dalam
suatu kegiatan mengajar, mendidik dan memimpin, serta mengelolah anak didik di
sekolah. Artinya bahwa etos kerja telah ada pada guru ketika dia telah
diperhadapkan dengan jenis pekerjaan tersebut, hanya saja tingkat pengembangan
etos kerja yang ada perlu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan.
Barometer sikap mental
seorang guru dapat meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa
besar pengorbanannya dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan
tugasnya (Triguno 2002:3). Lanjut Triguno, hal tersebut dapat dilihat dari
sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk menumbuhkan etos kerja
sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja sesuai dengan aturan
yang telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap inovatif dalam
pekerjaannya. Untuk itulah dalam konteks lembaga sekolah, perlu adanya motifasi
yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri guru untuk mengembangkan etos
kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja merupakan bagian dari motivasi yang
kuat dalam memberikan dorongan pemikiran dan kebijaksanaan yang tertuang dalam
perencanaan dan program yang terpadu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
eksteren maupun interen organisasi.
Dari pembahasan tersebut di
atas, menurut penulis setiap orang pasti punya masalah dengan semangat kerja?
Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem
serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah mengalami
gairah kerjanya melorot.
Cara terbaik untuk
mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi
kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen
(2010:24) memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan
Etos Kerja Profesional” yaitu:
1) Etos
pertama: Kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah
pengusaha, pegawai kantor, guru sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat
dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup
oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun. Bakat dan kecerdasan yang
memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda
kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja
kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan
wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri.
Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja
ogah-ogahanan
2) Etos
kedua: Kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita,
pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga
mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari
negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa
bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam
berbagai bentuknya.
3) Etos
ketiga: Kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita,
perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk
membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang
sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya.
Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran
kepada masyarakat.
Jika pekerjaan atau profesi
disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my
best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang
baik mutunya.
4) Etos
keempat: Kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah
dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang
membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan
potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh
lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.
Secara alami, aktualisasi
diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya,
seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa percaya diri ketika berjumpa dengan
temannya. “Perkenalkan, nama Saya Zakir Hubulo,S.Sos,M.Pd Guru Profesional
Sosiologi sekaligus Waka Hubmas MA Yaspib Bitung.(Mantap To...)
5) Etos
kelima: Kerja itu ibadah.
Tak
peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan
ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara
ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah
kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat tiang
menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang
tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang
berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah
membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang
tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah
berubah menjadi motivasi transendental.
6) Etos
keenam: Kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita,
bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita
bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward
V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia
keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia
bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiaslah yang membuat
saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi,
sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun
menyebut rumus-rumus fisika yang sangat rumit itu dengan kata sifat beautiful.
7) Etos
ketujuh: Kerja adalah kehormatan.
Serendah apa pun pekerjaan
kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik,
maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil
contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap
bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas.
Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum.
Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
8) Etos
kedelapan: Kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita,
pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai
pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang
lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi
kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti
menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah
daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu
menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang
memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah
warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah
yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama
sekali tidak ia kenal.
Menurut Jansen, kedelapan
etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia
menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. “Asalkan
pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu hanya untuk
mencari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi. Kerja bukan hanya untuk
mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu
30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke
haribaan Tuhan. Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk
apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itukan waktu yang sangat lama.
Ada dua aturan sederhana
supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang
sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai
kegiatan yang menyenangkan.
Jika aturan pertama tidak
bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan.
Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan
benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala
kekurangannya.
3.
Kualitas Hasil Kerja Guru
Pengertian kualitas hasil
kerja disebut juga sebagai kinerja atau dalam bahasa Inggris disebut dengan
performance. Pada prinsipnya, ada istilah lain yang lebih menggambarkan pada
“kualitas” atau “prestasi” dalam bahasa Inggris yaitu kata “achievement”.
Tetapi karena kata tersebut berasal dari kata “to achieve” yang berarti
“mencapai”, maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian”
atau “apa yang dicapai”. (Ruky, 2001:15). Menurut Hasibuan (1990),
prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas
kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu.
Dari definisi diatas dapat
dipahami bahwa kualitas kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh
dari sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada sekolah atau standar pencapaian
hasil akhir dari guru-guru yang ada di sekolah dalam memnuhi kebutuhan dari
peserta didik. Untuk meningkatkatkan kualitas hasil kerja tentunya dipengaruhi
oleh faktor organisasional (sekolah) dan factor personal.
Faktor organisasional meliputi
sistem imbal jasa, kualitas pengawasan, beban kerja, nilai dan minat, serta
kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional
tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana
faktor tersebut akan diberikan dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi.
Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga penting adalah kualitas
pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat memperoleh
kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya.
Sementara faktor personal
meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait), senioritas, masa kerja,
kemampuan ataupun keterampilan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan
kepuasan hidup. Untuk faktor personal, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi
prestasi kerja adalah faktor status dan masa kerja. Pada umumnya, orang yang
telah memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya telah menunjukkan
prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut dapat memberikannya
kesempatan untuk memperoleh masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya
untuk semakin menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar.
Di samping itu juga prestasi
kerja seseorang tergantung juga dari kesempatan, kapasitas, dan kemauan
untuk melakukan prestasi. Kapasitas terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan,
inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan, daya tahan, stamina, dan
tingkat energi. Kemauan terdiri dari motivasi, kepuasan kerja, status
pekerjaan, kecemasan, legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas
karakteristik tugas, keterlibatan kerja, keterlibatan ego, citra diri,
kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran, dan rasa keadilan.
Sedangkan kesempatan meliputi alat, material, pasokan, kondisi kerja, tindakan
rekan kerja, perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, prosedur
organisasi, informasi, waktu, serta gaji yang didapatkan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
- Kompetensi guru merupakan kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut guru untuk memiliki kompetensi pedagogis, personal, profesional, dan sosial. Kompetensi guru menuntut pendidik untuk harus menguasai metode mengajar, menguasai materi yang akan diajarkan dan ilmu-ilmu lain yang ada hubungannya dengan ilmu yang akan diajarkan kepada siswa. Mempunyai kepribadian yang baik untuk agar menjadi teladan bagi siswa. Menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab. Juga mengetahui kondisi psikologis siswa dan psikologis pendidikan agar dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan siswa dan memberikan bimbingan sesuai dengan perkembangan siswa.
- Penyampaian materi untuk meningkatkan etos kerja guru melitputi
a.
Kompetensi
Pedagogik
b.
Kompetensi
Kepribadian
c.
Kompetensi
Proseional
3.
Perlunya guru PAI senantiasa mengembangkan
wawasan keilmuan yang berhubungan langsung dengan materi pelajaran, dan hal-hal
lainnya yang berkaitan dan dapat membantu pemahaman siswa. Kompetensi yang
perlu dimiliki diantaranya yaitu guru memperhatikan “seni mengajar dan
mendidik”, guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan yang diajarkan tetapi
juga harus memiliki pengetahuan tentang psikologi anak, mengetahui tingkat
kesiapan belajar mereka dan bakat intelektualnya
B. Saran-Saran
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilaksanakan, terdapat beberapa catatan yang
mungkin akan memiliki kegunaan dalam pengembangan implementasi metode
demonstrasi sebagai berikut:
- Untuk institusi tempat penulis mengajar, perlu adanya bimbingan dari kepala sekolah dan guru senior agar kompetensi guru pendidikan agama dapat memberikan kontribusi yang besar bagi perubahan sikap dan tingkah laku siswa setiap hari.
- Untuk SD Negeri Pasir Karag 1 Kecamatan Keroncong Kabupaten Pandeglang, dengan adanya hasil penelitian ini, ada baiknya jika kompetensi yang dimiliki guru pendidikan agama Islam lebih di tingkatkan lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)